Media Bawean, 13 Maret 2011
Ditulis oleh : WARDI AZZAURY*
Jukung kecil dengan layar setinggi tiga meter pergi ke laut satu jam pulang ke rumah sudah membawa setidak-tidaknya satu ekor ikan tongkol sebesar lengan. Demikianlah cerita orang tua dulu tentang keadaan laut pulau Bawean. Cerita ini bukan hayalan karena kenyataannya memang demikian. Tapi inga,t itu terjadi sekitar tiga puluh tahun yang lalu, saat pulau Bawean masih bersih dan keadaan lautnya belum terkontaminasi limbah dari darat. Namun sekarang sungguh berbeda. Untuk mendapatkan seekor ikan
tongkol para nelayan Bawean tak lagi cukup berputar-putar disekitar pamecatan. Mereka harus pergi jauh, jauh sekali. Jika ke barat mereka hampir berada di perairan Karimun Jawa, jika ke timur mereka sudah berputar di sekitar Masalembu serta jika ke utara sudah memasuki wilayah Banjarmasin di Kalimantan. Karena jauhnya jarak itu para nelayan Bawean hampir dipastikan berangkat dari rumah selepas adzan subuh dan pulang ke rumah selepas orang sholat isyak. Pertanyaan yang seharusnya kita pikirkan adalah, kenapa bisa begitu?
Ikan, sebagaimana binatang lainnya mengarungi hidup ini dengan hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang. Jika tak kuat maka ianya akan kalah, dan jika kalah, kalau tak pergi jauh terpaksa ia akan musnah.
Jika melihat dari kenyataan bahwa kebanyakan nelayan Bawean mencari ikan masih dengan cara tradisional, yaitu memakai payang atau pancing, maka hampir mustahil ikan musnah karena tertangkap para nelayan, apalagi menurut teori ikan berkembang biak bukan dengan cara satu dua ekor, tapi dengan jumlah ribuan hingga jutaan. Yang lebih memungkinkan ikan menghilang dari perairan Bawean karena wilayah ini sudah terkena limbah. Masalahnya, kebanyakan kita langsung mengartikan limbah dengan limbah industry yang mana benda ini di Bawean tak pernah kita temui. Orang tak pernah berpikir bahwa pupuk pestisida dari sawah dan kebun tak kalah berbahayanya buat kehidupan biodata laut. Bekas pestisida yang tersiram air hujan akan mengalir ke laut. Di pinggir laut ia akan meracuni biodata kecil semacam plankton atau membunuh coral reef, padahal keduanya ini adalah hal paling penting dalam kehidupan ikan. Plankton adalah makanan ikan sedang terumbu karang adalah rumah mereka. Jika di Bawean rumah ikan sudah rusak dan makanannya tak ada lagi, bagaimana mungkin ikan akan tetap tinggal di sana? Yang pasti ikan akan pergi. Mereka tidak ada bukan karena habis tertangkap tapi karena rumah tempat tinggalnya dan makannnya dihabisi. Belum lagi jika para ikan masih berpikir bonus yang diberikan orang-orang Bawean yaitu sampah-sampah rumah tangga seperti plastic dan botol yang berserakan di pantai Bawean.
Bagaimana Mengatasinya?
Jika penulis mengusulkan jangan memakai pupuk, mungkin penulis akan langsung dicomplain oleh para petani dan pengusaha pupuk, namun jika pemakaian pupuk kimia diganti dengan pupuk alam, bukankah itu sudah sebuah masukan? Namun cara lainnya masih bisa kita lakukan. Kita, orang Bawean harus punya komitmen dan berjanji dalam diri sendiri untuk tidak membuat kotor dan penuh limbah lautan kita. Kita berhenti membuang sampah plastic ke laut. Kita berhenti mengambil batu-batu karang di laut dan kita juga berhenti mengambil pasir di kokop, karena apa yang biasa kita ambil itu, yaitu batu karang dan pasir di kokop adalah tempat tinggal mereka. Penulis beri contoh, di Kepuhteluk, sekitar lima belas tahun yang lalu masih sering penulis lihat tetangga mencari nener saat air pasang, tapi sekarang? Tak akan ada lagi orang mencari nener karena anak ikan bandeng ini sudah tak ada. ketidakadaan mereka karena kokop dan batu-batu yang merupakan tempat tinggal mereka sudah tidak ada. Ini nyata tapi kita kadang tak memikirkannya.
Pantai yang bersih, disamping bisa dipakai sebagai tempat bermain kita juga bisa jadi tempat ikan kecil saat air pasang. Jika banyak ikan kecil disitu semisal nener, maka hampir bisa dipastikan ikan yang lebih besar sedikit juga akan berkeliaran di sekitar situ yang pada akhirnya ikan berukuran tanggung semacam tatongkol juga akan berkeliaran disitu. Itulah kenapa dulu ikan tongkol bisa dipancing disekitar pamecatan. Jadi, jika nelayan Bawean tak ingin pergi jauh jauh lagi mencari ikan tongkol hingga ke masalembo atau Karimun Jawa, maka masyarakat Bawean harus merubah kebiasaan cueknya terhadap lingkungan laut. Hampir semua masyarakat Bawean tergantung pada laut. Dengan lautnya juga Bawean lebih dikenal masyarakat dari daerah lain. Sekaranglah mari kita bersama menjaga kebersihan laut kita. Siapa tahu, jika kita bisa memulainya dari sekarang dalam waktu sepuluh tahun akan datang, Nelayan Bawean, tetangga kita bisa memancing ikan tongkol di sekitar pamecatan lagi, yaitu tak lagi membuang-buang uang buat membeli solar dan meninggalkan anak istrinya seharian berpanas-panas di tengah lautan.
*Penulis adalah pelaut asal Bawean dan tinggal di Kampung Pacinan Desa Kepuhteluk Tambak.
Posting Komentar