Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » In Memoriam Zulfa Usman
Seorang Aktivis Yang Kesepian

In Memoriam Zulfa Usman
Seorang Aktivis Yang Kesepian

Posted by Media Bawean on Selasa, 04 Oktober 2011

Media Bawean, 4 Oktober 2011

Oleh : Baharuddin


Zulfa Usman begitu ‘belia’ untuk ukuran suatu jabatan sebagai Wakil Sekretaris NU (Nahdlatul Ulama) Cabang Bawean pada saat itu di tahun 1979 karena usianya yang baru 21 tahun. Tapi saya yang mengajaknya untuk bergabung di ormas Islam terbesar di Bawean (bahkan di Indonesia), takpeduli. Dan semua Kiyai NU tidak mempermasalahkan. Sekitar 20 tahun (berarti 4 periode) Zulfa – begitu saya biasa menyapanya – menjadi Pengurus Cabang NU Bawean. Ketika saya ditunjuk sebagai Wakil Ketua, Zulfa mengganti posisi saya sebagai Sekretaris.

Sebagai orang yang pernah mengajar dia ketika di SMP dan SMA Umar Mas’ud Sangkapura, saya tahu persis tentang kemampuannya. Maka, dimanapun saya berada selalu – tidak hanya di NU -- saya ajak untuk bersama. Ketika Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa (LPMD) yang saya pimpin mendapat proyek dari NOVIB Belanda (1982), saya tunjuk dia sebagai Sekretaris. Saya juga yang meninta dia aktif di Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Nusa Indah Sangkapura, yang akhirnya menjadi Ketua beberapa periode. Masih banyak lembaga lain yang dia terjuni, seperti Yayasan Pendidikan Islam Umar Mas’ud (Sekretaris), Bawean Serambi Madinah, Kerukunan Toghelen Bawean (KTB), PGRI Kecamatan Sangkapura, Yayasan Pendidikan dan Sosial Darul Fikri. Dia juga pernah menjadi ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPPNU) Cabang Bawean. Dikampungnya – Sawahlaut, desa Sawahmulya kecamatan Sangkapura – dia mendirkan perpustakaan yang diberi nama “Tunas Bangsa”

Sejatinya, Zulfa adalah seorang pendidik. Dia pernah bertahun-tahun menjadi guru di sejumlah sekolah : SMP dan SMA UMMA, SMP Negeri, Madrasah Aliyah Hasan Jufri dan kini sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIHA) Bawean. Zulfa adalah seorang Pegawai Negeri.

Di tahun 80 an, pemerintahan Orde Baru masih saja repressif. Kegiatan masyarakat dan organisasi massa dan organisasi massa keagamaan diawasi dengan ketat. Dalam keadaan yang demikian, NU lah yang paling terkena dampaknya. Mengadakan pengajian harus minta izin kepada kepolisian dengan tembusan kepada Departemen Agama, Komando Rayon Militer, Camat dan Kepala Desa. Jika penceramahnya dari luar Bawean, maka permohonan harus dilayangkan kepada sejumlah pejabat terkait tingkat kabupaten, sedangkan jika dari luar propinsi, maka permohonan izin harus lewat Polda (Jawa Timur). Pelaksanaan pengajian harus direkam dan rekamannya harus diserahkan kepada pihak yang berwajib. Setiap menjelang Pemilihan Umum, keadaan semakin gawat karena pemerintah dengan kaki tangannya yang tersebar sampai kelapisan akar rumput tidak jarang melakukan intimidasi dalam berbagai bentuknya kepada mereka yang tidak sejalan dengan kehendak pemerintah. Sekali lagi, warga NU menjadi sasaran tembak.

Dalam masa-masa segenting itu, banyak warga NU yang tiarap terutama pengurusnya yang bekerja sebagai pegawai negeri. Hanya sedikit diantara mereka yang berani tegak dan tetap menjalankan roda organisasi agar NU tetap eksis. Nah, diantara yang sedikit itu, Zulfa termasuk di dalamnya. 

Ketika pemerintahan Orde Baru yang resressiv itu tumbang, lalu diganti pemerintahan Orde Reformasi dan pos-pos penting pemerintahan kabupaten Gresik dipegang oleh kader-kader NU, Zulfa dipercaya menjabat kepala Dinas Pendidikan kecamatan Sangkapura. Inilah awal dari suatu kecemburuan dan kebencian sebagian teman sejawatnya. Pada Konperensi Cabang NU Bawean yang diadakan di Kepuhteluk, Zulfa benar-benar tidak dimarjinalkan. Setiap usul yang disampaikan oleh KH. Zakariya sebagai anggota formatur agar Zulfa dimasukkan dalam kepengurusan Cabang NU Bawean, selalu dotolak oleh formatur yang lain.

Sebelumnya, dia disingkirkan dari jabatan Sekretaris Yayasan Pendidikan Umar Mas’ud, suatu yayasan tertua di Bawean yang didirikan oleh mertuanya almmarhum R.Hamim Nahrawi.

Agenda berikutnya jabatan Zulfa sebagai Kepala Dinas Pendidikan kecamatan Sangkapura mulai dirong-rong. Sejumlah surat kaleng dilayangkan ke sejumlah pihak dari orang-orang yang tidak suka. Dan berhasil. Zulfa harus lengser. Lalu dia dimutasi kejabatan baru : Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Perhubungan kecamatan Sangkapura, suatu jabatan yang sama sekali diluar kompetensinya, suatu jabatan yang hanya menjadi olok-olok bagi oarang yang membencinya, suatu jabatan yang tidak jelas kerjanya, suatu jabatan yang sama sekali tanpa sarana dan prasarana, bahkan stempel pun tidak punya. 

Cukup ? Ternyata tidak. Seperti rumor yang berkembang bahwa :’Dia akan dihabisi sampai ke kucing-kucingnya’, dalam suatu rapat anggota Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKPRI) Nusa Indah kecamatan Sangkapura, jabatan dia di KPRI pun benar-benar dihabisi secara total.

Kenapa begitu dahsyat serangan itu datang secara bertubi-tubi, massif dan sistemis?. Boleh jadi gaya kepemimpinannya yang tidak pas bagi yang lain. Boleh jadi karena pendapat-pendapatnya kurang dapat di nalar. Boleh jadi karena – di awal era reformasi – dia mulai mempelajari dan tertarik dengan pemikiran Hizbut Tahrir tentang penegakan Hilafah yang dianggap berhadapan dengan arus utama masyarakat Bawean yang Nahdliyyin, walau secara struktural tidak masuk didalamnya.Boleh jadi karena dianggap lancang lantaran dia mendirikan SDIT Al Huda, sedangkan dia masih menjabat sebagai Sekretaris Yayasan Pendidikan Islam Umar Mas’ud yang mengelola sejumlah sekolah dengan ‘label’ Umar Mas’ud.

Dari komulasi tersebut diatas, lalu membuncah menjadi arus besar, yang tidak menghendaki Zulfa tetap exsist. Rumah aktifitas nya di Yayasan Darul Fikri yang didirikan oleh KH. Zakariya dan KH. Ali Dlafir – yang merupakan rumah terakhir satu-satunya di luar dinas – juga tak luput dari serangan. Dikatakan bahwa SDIT Al Huda sebagai sarang HTI, sekolah tanpa izin, dan sebagainya. Dalam menghadapi tuduhan semacam itu dia tetap diam. Suatu ketika dia pernah mengeluh kepada penulis :’Bagaimana mungkin mereka tega mengatakan demikian, padahal izin Bupati tercantum jelas di papan nama. Guru-guru nya banyak berasal dari pesantren: Sidogiri, pesantren Situbondo, dan pesantren Mambaussholihin. Buku pelajaran agamanya mengambil dari Sekolah Dasar Khadijah Surabaya, sekolah milik NU yang dipimpin oleh Khafifah Indah Parawansa, Ketua Umum PP Muslimat. Istigasah kerap dilakukan di sekolah tersebut. Juga tahlil dan yasinan, suatu tradisi yang lekat dengan NU.

Sebenarnya masih ada jabatan dia yang lain, yakni sebagai Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Bawean Serambi Madinah (BSM). Yang kedua, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Karukunan Toghellen Bawean (KTB). Tapi dia jarang sekali hadir dalam rapat-rapat BSM dan KTB tersebut. Ketika saya tanya dia menjawab :’Saya hawatir kehadiran saya tidak akan menguntungkan bagi BSM dan KTB”. Dia sadar betul bahwa dia masih menjadi sasaran tembak.

Dia memang benar-benar terkucil. Hari-harinya lebih banyak di SDIT Al Huda, membina guru dan menertibkan administrasi sekolah.

Zulfa amat mencintai kampung halamannya : Bawean. Dia berambisi agar masyarakat Bawean mempunyai pembangkit listrik dan kapal sendiri. Dia yakin bisa, asalkan warga Bawean bersatu. Untuk mewujudkan gagasannya itu, dia mengundang pejabat Pembangkit listrik Jawa Bali (PJB) untuk mempresentasikan kemungkinan pembangkit listrik dengan batu bara dihadapan masyarakat. Bahkan dia telah melobi perwakilan lembaga keuangan yang berpusat di Hongkong yang berkantor di Graha Pangeran jl. Ahmad Yani Surabaya. Lembaga keuangan tersebut sanggup membiayai berapapun dana yang dibutuhkan asalkan ada buyer, dan supplier. Tapi gagasan tersebut tidak terwujud karena sulitnya menyatukan warga Bawean. Lalu dia naik turun gunung bersama Sudirman, penggiat lingkungan untuk mencari sumber air yang dapat dijadiakan pembangkit listrik. Di Batulentang desa Telukjati kecamatan Tambak, dia dan temannya mampu membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang menerangi kampung tersebut sampai saat ini.

Kenapa masyarakat Bawean harus punya pembangkit listrik dan kapal sendiri ?.Menurut pemikirannya, untuk memajukan Bawean, harus banyak uang beredar, sementara selama ini justru lebih banyak uang yang keluar. Dari sektor listrik dan transportasi laut saja setiap bulannya milyaran rupiah uang yang melayang ke luar bawean. Suatu pemikiran sederhana tapi rasional, namun tidak mendapat dukungan.

Sebagai ungkapan akan cintanya kepada Bawean, dia banyak menulis buku tentang Bawean, antara lain “Cerita dari Pulau Puteri”. Dia menyusun buku pelajaran Bahasa Bawean untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, .Juga menyusun Kamus Bahasa Bawean, tapi sayang belum rampung karena keburu maut menjemputnya. Dalam suatu seminar Zulfa mengusulkan agar Bawean dijadikan sebagai Kecamatan Khusus. Untuk itu perlu payung hukum dalam bentuk Peraturan Bupati. Tapi – lagi-lagi – sayang. Tidak ada yang mendukung, justru kemarahan dari pejabat lokal (kecamatan) yang didapat. Padahal, dua tahun kemudian, Khusnul Khuluk, Sekretaris Daerah Kabupaten Gresik justru berpendapat agar Bawean diberi status Daerah Otorita. 

Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah yang lalu, Zulfa secara terang-terangan berkampanye untuk pasangan Sambari-Qosim. Ketika saya nasihati bahwa pegawai negeri tidak boeh jadi partisan, dia menjawab :”Yang lain pun banyak yang begitu”. Ketika pasangan itu menang, terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Gresik, Zulfa diangkat sebagai Kepala UPTD Diknas, suatu jabatan yang pernah dia jabat.

Beberapa bulan terakhir ini kesehatannya mulai merosot. Tapi dia tidak peduli, sampai akhirnya ditemukan kanker di ususnya. Dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan pembedahan atau kemo terapi. Zulfa menolak, karena lebih menyukai pengobatan secara herbal di salah satu rumah sakit di Malang. Menurut Lies, istrinya, selama dia hidup dengan Zulfa, setiap sakit tidak pernah merintih atau mengaduh, termasuk ketika kanker ganas itu menggrogoti tubuhnya. Dia lebih suka rasa sakit itu diwujudkan dalam bentuk menggenggam kedua tangannya erat-erat, padahal keringat sedang membasahi tubuhnya. Di suatu malam, ketika di rawat di rumah sakit, Lies terbangun. Zulfa sedang tertatih-tatih merangkak menaiki tempat tidur. Tangan kanannya membawa botol cairan sedangkan jarum infus masih menempel di tangannya. Dia baru kembali dari kamar mandi. “Kak Zulfa, mengapa tidak membangunkan saya?”. “Kamu tentu amat lelah,Lies, saya tidak ingin mengganggu istirahatmu”, katanya dengan suara parau. Setiap tidur dia selalu menghadap ke tembok, hanya lantaran supaya tidak diketahui istrinya ketika dia menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin kurus, tapi dia tetap optimis untuk hidup lebih panjang.

Jumat, 30 September 2011, kanker itu semakin mendera tubuhnya, tapi Zulfa masih tetap sadar. Dia berkata kepada Lies dengan suara lirih agar tetap melanjutkan kuliahnya, menjaga kedua putera-puterinya dengan baik. Nilta kelas 3 SD dan Nabil masih di TK. Dia mengingatkan kepada Lies bahwa kedua anaknya itu telah diasuransikan untuk biaya pendidikannya kelak. Jika Allah memperpanjang umurnya dia ingin sekali merawat anak-anak yatim. Tidak henti-hentinya Zulfa meminta kepada istrinya itu untuk selalu bersabar. Dan Lies juga tidak henti-hentinya memberi semangat bahwa : “ Dengan izin Allah pasti sembuh”. Sehabis waktu Asar, nafasnya semakin tersengal, lafal Allah, tidak henti-hentinya dia sebut, sampai akhirnya pukul 17.30 menjelang magrib di hari itu, Allah menjemputnya dihadapan istri tercinta dengan senyum tersungging. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.

Saat itu juga jenazah di bawa ke Gresik untuk disemayamkan di rumahnya dibilangan Randu Agung. Banyak pentakziah yang datang, terutama para keluarga, pejabat kabupaten, handai taulan, dan tentu saja warga Baweaan di Gresik dan sekitarnya. Setelah dimandikan, Zulfa di kafani dengan kain ihram pemberian sahabatnya, pak Qosim, Wakil Bupati Gesik. Sebelum jenazah di bawa ketempat peristirahatan yang terakhir, Wakil Bupati Gresik itu memberikan sambutan bahwa : “Pak Zulfa adalah sahabat saya, dia pekerja keras, ulet dan jujur dan pendiam”. “Dia selalu meminta kepada saya untuk dikembalikan kepada jabatannya semula sebagai guru” tambahnya. “Dia pantas disebut Haji, karena sdah ada niat, dan sudah ‘berpkaian ihram’ imbuhnya.

Pukul 01.00 WIB, Jenazahnya dimasukkan ke liang lahat, diiringi isak tangis dari orang-orang terdekatnya. Selamat jalan sahabat. Selamat tidur panjang. Semoga damai di sisi Nya. Amin.

Baharuddin
Wakil Ketua Umum KTB
Mantan Wakil Ketua NU Cabang Bawean

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean