Media Bawean, 27 November 2011
Oleh : Ali Asyhar
Aku bertemu anak laki-laki berumur enam tahun di Tanzania, namanya Rogati. Normalnya anak laki-laki seumur itu bersekolah di sekolah dasar. Tetapi ia sangat kecil dan hampir tak bisa berdiri, berjalan, atau berbicara. Yang bisa ia lakukan adalah merangkak di tanah yang dingin. Itulah akibat kelaparan. Ketika seorang anak tidak mendapat makanan, bukan hanya tubuh yang berhenti tumbuh tapi juga otak, karena otak memerlukan gizi. Saat itu aku tak tahu bahwa kelaparan bisa begitu mengerikan.
Ketika Rogati menatapku ia cepat-cepat merangkak ke-arahku, menggali segenggam tanah dengan jari-jarinya yang kecil lalu mengulurkan tangannya padaku sambil berkata “giyon”. Kupikir ini adalah kata dalam bahasa Swahili, tetapi perwakilan UNICEF yang bersamaku mengatakan bahwa kata itu tidak memiliki arti. Aku diberitahu bahwa kerusakan otak Rogati tidak bisa disembuhkan. Orang mungkin mengira Afrika negara yang panas tetapi disini, di dekat gunung Kilimanjaro yang tingginya 5.750 diatas permukaan laut, udara sangatlah dingin. Yang bisa aku lakukan hanyalah menggenggam tangannya dan berusaha menghangatkannya. Rogati seakan memandang tepat ke hatiku dengan matanya yang besar. Ia terus mengulangi “ giyon, giyon”. Hanya itu yang bisa ia katakan.
Diatas adalah sepenggal kisah dari Kuroyanagi. Perempuan Jepang yang menjadi Duta kemanusiaan UNICEF sejak tahun 1984 sampai 1997. Ia mencatat ada 180 juta anak meninggal di dunia dalam setahun karena kekurangan gizi,penyakit menular atau perang saudara. Anak-anak yang selalu mempercayai orang dewasa itu tak pernah mengeluh meski sejatinya hatinya menangis.
Kejadian di Tanzania tidak mustahil juga sedang terjadi di Indonesia meski dengan tingkat keparahan yang berbeda. Bila kita melihat film “ Lasykar Pelangi” maka kita bisa memotret betapa masih banyak anak-anak yang menjadi korban kemiskinan. Kemiskinan yang ter-struktur atau dengan bahasa lain sengaja dipelihara. Betapa jahatnya pemerintah yang cuek dengan amanahnya saat ia dengan sadar mengusulkan anggaran 250 juta setahun untuk pengadaan empat seragam dinas anggota dewan padahal seragam tahun lalu juga belum dipakai. Betapa lalimnya penguasa yang menutup mata dan hatinya dengan semaunya sendiri meng-anggarkan presensi DPR sampai 4 milyard padahal sebenarnya cukup 400 juta saja. Mereka lebih mengutamakan kemewahan diri dan keluarganya daripada menengok kemiskinan warganya yang jauh di pelosok desa. Paradigma penguasa belum berubah. Mereka selalu mengatakan bahwa kemiskinan dan kebodohan adalah kesalahan masyarakat sendiri. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah mereka dimiskinkan dan dibodohkan secara hegemonic.
Di Bawean sangat banyak anak-anak yang berwajah sendu karena kemiskinan orang tuanya. Cobalah sekali-kali meluangkan waktu bercengkrama dengan anak-anak yang berada jauh di lereng-lereng gunung. Betapa mereka kehilangan sentuhan kasih sayang dari orang tua dan gurunya. Ia hidup dengan neneknya yang sudah renta. Perempuan tua yang sepanjang hidupnya berada dalam kemiskinan dan tidak tahu harus berbuat apa untuk cucunya. Sementara sang guru terlanjur bermental raja yang harus dituruti semua keinginannya. Ia duduk manis dengan seragam kebesarannya sambil berharap ada yang memijat dan mengipasinya.
Guru sejatinya adalah profesi paling mulia. Kemuliaan seorang guru bisa didapatkan bila ia total mewakafkan dirinya untuk kebaikan anak didiknya. Tugas guru bukan hanya mengajar di ruangan 7 x 8 meter tetapi ia juga harus menunjukkan kepada anak didiknya tentang realita kehidupan sesungguhnya. Anak didik harus tahu pentingnya kelestarian hutan dan tahu cara melestarikannya. Anak didik harus menyatu dengan kehidupan masyarakatnya bukan sebaliknya. Tercerabut dari akar social yang lokalistik dan melayang-melayang tidak menentu.
Ah….sangat banyak tugas-tuga kenabian yang harus diemban seorang guru. Kelaparan maha dahsyat di Tanzania dan kawasan Afrika yang lain pada awalnya disebabkan kelalaian guru yang memisahkan sekolahan dengan masyarakat sekitar. Tanzania yang sangat subur dan berhutan lebat lambat laun mengering karena hutannya digunduli warga. Warga berambisi meluaskan lahan garapannya tanpa menyadari bahaya penggundulan hutan. Celakanya para guru juga cuek karena merasa bukan tugasnya. Akibatnya suhu udara mengering dan hujan menjauh. Kekeringan yang menahun akan menghancurkan kehidupan manusia.
Akhirnya, dengan semangat hari PGRI yang ke 66 semoga paradigma guru Indonesia semakin membaik. Tidak ada lagi gedung runtuh karena tidak dirawat. Tidak dijumpai lagi guru yang seragam dinasnya lengkap minta ampun sementara gedung sekolahnya kumuh luar biasa.
*Ali Asyhar, Dosen STAIHA Bawean dan
Mahasiswa Doctoral di Pasca Sarjana IAIN Surabaya