Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » AMAEN
“Pencarian Asmara Para Pemuda”

AMAEN
“Pencarian Asmara Para Pemuda”

Posted by Media Bawean on Kamis, 09 Februari 2012

Media Bawean, 9 Februari 2012

Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012
Kategori Umum

Nama Penulis : Muhyiddin El-Febiens
Nama Pena : Aidi Seven*
Penulis adalah Mahasiswa di Jogjakarta.
Alamat Asal : Pulau Bawean

Suara samar burung hantu di malam hari akan menyisakan rindu bagi para pemuda desa. Kala cahaya lampu melarikan diri dan gelap mulai menampakkan diri, bulu roma tanpa terkendali langsung tegak berdiri. Raungan anjing hutan sesekali terdengar lirih. Para orang tua bermitos bahwa ketika anjing menggaung, anjing itu katanya sedang melihat setan atau jin. Jadi, suara seram itulah yang selalu mengiringi saat kami menyusuri hutan-hutan rimba dalam perjalanan menemui sang permaisuri malam yang sedang menunggu sebagaimana kodratnya.

Suasana pedesaan tentu sangat berbeda dengan suasana kota yang penuh dengan lampu kerlap-kerlip yang demikian indah. Namun, di desa lah semua kedamaian ada. Para petuah bilang, jika kamu ingin menemukan kedamain, maka hidup lah di desa. dan jika kamu menginginkan tantangan hidup, maka pergilah merantau ke kota. 

Namun, hidup di desa harus siap menanggung resikonya untuk tidak menemukan produk-produk modernisme yang berbentuk eletronik karena disana tidak semua rumah teraliri aliran listrik. Bahkan kebanyakan rumah-rumah mereka masih memakai lampu templek. sehingga para pemuda tidak bisa banyak melakukan aktifitas. Aktifitas yang dilakukan hanyalah mengaji di langgar-langgar (1) dan menghihibur diri secara tak jelas. Aktifitas itu pun terhenti hanya sampai jam sepuluh malam. Karena memang hanya sampai jam sepuluh lah listrik di desa bisa hidup dengan mesin Diesel. Dan itu pun bukan layanan dari pemerintah, namun dari salah satu orang kaya di desa. Negara masih tak kuasa untuk menyentuh kebutuhan-kebutuhan rakyat kecil seperti kami. Mereka lebih suka bersafari di gedung-gedung dan enggan merakyat..

Malam itu, dengan suasana gelap gulita kami pulang dari Langgar. Lalu, seperti biasa kami janjian ditempat biasa. Yaitu markas para pemuda untuk menghibur diri. Markas tersebut adalah tempat singgah kami setelah dipupuk dengan ajaran agama di langgar. Agama memang telah menuntun kami dalam menjalani kehidupan ini. Dogma agama yang diajarkan oleh ustadz-ustadz langgar telah membuat kami candu. Dengan ajaran agama, kami telah merasa diselamatkan. Tidak hanya itu, selain agama itu candu, rupanya agama itu Syahdu kawan.

Meski ajaran SAFINA (Sharraf Fiqih Nahwu) selalu diajarkan setiap malam di Langgar. Kami sampai saat itu belum merasakan apa manfaatnya. Tapi guru-guru kami selalu bilang, kamu akan merasakan manfaatnya kelak ketika kamu mempunyai kesadaran untuk mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh. maka, semenjak itu di Desa selalu rame dengan suara tashrifan yang di baca oleh santri-santri. Fa’ala Yaf’ulu Fa’lan wa maf’alan Fahua Fa’ilun Wadzaka Maf’ulun….Ila Akhirihi. 

Saat itu, kita berkumpul di markas, perbincangan pun terus mengalir bagai air. walau hanya difasilitasi oleh lampu templek, Air itu semakin deras. 

“Cah (2)…sudah lama kita kita tidak amaen (3). Ayo kita amaen malam ini” ditengah perbincangan Adi tiba-tiba bersuara.
“Amaen…? amaen apa di?” Acing menanggapinya dengan serius
ya amaen ke gunung lah….masak gak cerdas-cerdas juga kau cing….makanya klo goblok tu jangan dipelihara, kambing tu dipelihara biar gemuk hahaha” jawab Adi diringi gelak tawa yang lain.

“AMAEN” begitulah istilah pertama yang keluar dari bibir tebal Adi, yang mempunyai nama lengkap Syamsul Hadi. ceritanyanya, dipanggil Adi karena dia selalu maksa pada teman-temannya untuk dipanggil adi saja. Biar mirip orang kota katanya. Padahal ibunya saja sering memanggil dia dengan nama si Encul asluhu Syamsul. 

Pemuda yang satu ini memang ahli dalam membual. Bukan karena bibirnya yang besar, tapi karena begitu lah mungkin nasibnya, jadi sudah terbiasa dengan mempermainkan kata-kata. Akhirnya istilah “amaen” pun keluar juga dari mulut si adi atau si encul. 

“iya yah….kita sudah lama sekali tidak pergi ke gunung. Jikalau begitu, marilah kita berangkat malam ini cah….let’s go” acing menanggapi dengan girang setelah tahu maksud dari adi tadi.

Kamudian, sekitar jam 10.30 WIB mereka sepakat berangkat malam itu juga. Perjalanan dari desa ke daerah pegunungan akan mereka tempuh sekitar satu jam an. Karena masing-masing dari mereka menggunakan sepeda ontel tua. Sehingga butuh waktu cukup lama. Berbeda seandainya mereka punya motor. Mereka bisa menempuh hanya dengan setengah jam saja. Lalu, mereka berdua berdandan di rumah masing-masing. Sedangkan aku ditinggal sendirian, yang dari tadi hanya bisa diam dan mengikuti apa yang mereka berdua rencanakan untuk malam ini. Meski diam dari tadi, aku berharap agar nantinya juga bisa menemukan jodoh di TKP. Dan aku pun balik ke rumah untuk mempercakap diri juga.

Di rumah, kemudian kusemprotkan minyak wangi nyong-nyong milik ayahnku. Harumnya pun langsung menyengat. Masih ingat di pikiranku, minyak wangi ini sudah diberi do’a-do’a oleh kiai dari banyuwangi setahun yang lalu. Jadi, sangat ampuh sekali untuk menggait seorang wanita. Selain itu, wangian-wangian memang sudah mempunyai pengaruh besar untuk menggait hati seorang wanita. Oleh karena itu, Aku pun selalu memakai wangi-wangian ketika mau berangkat Amaen.

Amaen itu sebenarnya telah membudaya di daerah kami, bahwa pemuda-pemuda akan mencari jodohnya di daerah pegunungan dengan cara-cara yang sangat menarik dan unik. Bayangkan saja, setelah kami sampai di pegunungan, maka para orang tua gadis akan mempersilahkan kami untuk memacari anak-anaknya. Dan mereka akan bangga jika anak perawannya didatangi oleh kami, beberapa anak muda yang bergaya kota. 

Setelah kami bertiga sampai di TKP, mereka pun langsung berpencar untuk bertamu ke rumah perawan yang tak pernah kami kenal satu pun sebelumnya. Tapi sang perawan pastilah sudah mengerti bahwa kami sedang mencarinya dan ingin memacarinya.

Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Aku masih duduk termenung di sebuah masjid yang sudah tak berpenghuni. aku pun galau karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kedua temanku sudah pergi, sedangkan aku tidak tahu sama sekali bagaimana caranya Amaen. Bagaimana aku bisa bergerak jika aku tidak pernah menyentuh seorang wanita pun. Selama 19 tahun hidupku hanya dipenuhi dengan hafal-hafalan tashrifan di Langgar. Jadi, aku memang benar-benar buta dalam BAB yang satu ini.

Namun, meski ditinggal sendiri, aku sangat menikmati pemandangan malam ini. lampu senter sudah mulai banyak menyala, orang-orang banyak yang bisik-bisik di beberapa rumah yang mempunyai aset perempuan. Entah apa yang mereka perbincangkan aku tak paham. Mungkin mereka sedang proses berasmara ria. Selamat bergembira kawan-kawan. Aku disini cukup bahagia telah terlanjur mengantarmu. Gumamku sedikit kesal sama teman-temanku yang sedang asyik-asyikkan bersama gadis pegunungan. Tapi, meski begitu sebagai teman aku berdo’a mudah-mudahan mereka tidak melakukan perbuatan yang dilarang itu.

Meski kini aku sendiri, ada untungnya juga aku tidak terjun ke lapangan langsung, karena kemaren memang sempat mendengar dari seorang teman yang habis datang dari amaen. Bahwa Kepala Kampung di pegunungan ini sudah mengeluarkan peraturan baru. Yaitu untuk tidak mengunjungi seorang wanita di malam hari lagi. Dan jika sampai 3 kali peringatan tersebut tidak dihiraukan. Maka akan dinikahkan dengan si cewek yang didatanginya melalui cara penangkapan secara massal oleh warga sekampung. Dan setelah pihak orang tua para pemuda datang dan sanggup untuk menikahkannya, maka mereka akan melepaskan kembali. Dan lucunya, terkadang kalau hanya ketahuan amaen satu kali, mereka akan mendenda kami hanya dengan 1-3 Sak semen. kata bapak kepala kampung, lumayan untuk memperbaiki jalan kampung.

Dunia amaen sebenarnya adalah warisan nenek moyang kami yang diwariskan turun temurun sampai ke generasi sekarang. Tempat amaen umumnya di lakukan di dapur atau di depan, dengan masuk pintu atau jendela, tentunya sudah suka sama suka. Amaen terbatas hanya ciuman dan berpelukan saja, tanpa melakukan hubungan yang sampai diluar batas. Dan jika kebablasan, tanggung saja sediri di Neraka besok. Dan masyarakat akan memberikan hukuman sosial pada mereka yang melanggar peraturan tersebut.

Dan apakah ini budaya baik atau tidak? Kita akan memulainya dengan menyadarkan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya.

Namun, sempat terbersit juga dalam pikiran, mengapa hal semacam ini tidak pernah kutahu? Apakah aku kurang nakal untuk mengetahui hal semcam itu sejak dulu? begitulah asumsiku sampai saat ini. Dan mudah-mudahan ada orang yang bisa meluruskan tentang keadaanku tersebut. Dengan rasa sesal, seharusnya aku bisa “nakal” sejak dulu agar bisa berjumpa dengan jalan yang benar atau pun jalan yang salah. Namun, aku tegaskan bahwa aku tak ingin terjebak diantara keduanya. Aku harus pilih itu.

*Laskar Bawean yang Bejad’s (Belajar Jadi Diri Sendiri) di Yogyakarta.


1. Tempat mengaji, biasanya ada di Desa-desa
2. Asluhu Kancah, biasa digunakan untuk memanggil teman.
3. Tradisi para pemuda dalam mencari jodoh. Biasanya ke daerah pegunungan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean