Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Prostitusi Dalam Tinjauan
Hukum Pidana Positif Indonesia

Prostitusi Dalam Tinjauan
Hukum Pidana Positif Indonesia

Posted by Media Bawean on Sabtu, 18 Februari 2012

Oleh: A. Fuad Usfa

1. Pengantar
Inti daripada tulisan ini adalah suatu tinjauan yuridis dari aspek hukum pidana materiil.

2. Pendahuluan
Kata prostitusi berasal dari kata latin 'prostitution (em)', kemudian diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi 'prostitution', dan menjadi prostitusi dalam bahasa Indonesia. Dalam 'Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris', oleh John M. Echols dan Hassan Shadili prostitusi diartikan 'pelacuran, persundalan, ketuna-susilaan', sedang dalam Webster Universal Dictionary diartikan 'promiscuous intercourse practised by women for gain', dan dalam tulisan 'Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia', oleh Syamsudin, diartikan bahwa menurut isthlah prostitusi diartikan sebagai pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya. (http://s2hukum.blogspot.com/2009/12/tinjauan-sosiologi-hukum-terhadap.html). Bisalah di artikan pula sebagai hubungan seksual dengan siapa saja oleh wanita sebagai suatu yang biasa dilakukannya untuk memperoleh keuntungan yang biasanya dengan cara pembayaran uang.

Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial, dan dilakukan oleh manusia sejak masa yang tak terhingga.

3. Prostitusi Dalam KUHP
Dalam merespon prostitusi ini hukum diberbagai Negara berbeda-beda, ada yang mengkategorikan sebagai delik (tindak pidana), ada pula yang bersikap diam dengan beberapa pengecualian, Indonesia termasuk yang bersikapn diam dengan pengecualian.

Pangkal hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai apa yang disebut sebagai hukum pidana umum. Di samping itu terdapat pula hukum pidana khusus sebagaimana yang tersebar di berbagai perundang-ungan lainnya.

Berkaitan dengan prostitusi KUHP mengaturnya dalam dua pasal, yaitu pasal 296 dan pasal 506. Pasal 296 menyatakan 'barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadkannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah'. Sedangkan pasal 506 menyatakan 'barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Dari situlah kita dapat tahu bahwa hukum pidana kita hanya mengkategorikan prostitusi sebagai suatu delik terhadap pihak perantaranya. Dengan realitas seperti itu aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian hanya mempunyai ruang gerak untuk melakukan tindakan hukum terhadap perantara, bilamana terdapat perantara, untuk menyingkap hal itu Kepolisian harus proaktif dengan menggunakan personilnya untuk melakukan penyelidikan melalui tugas-tugas intelejen yang telah merupakan lembaga tersendiri di bagian tubuh POLRI.


4. Prostitusi Dalam Hukum Pidana Khusus
Ketentuan lain yang mungkin dapat digunakan dalam menjerat praktek prostitusi adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, tent`ng Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana. Adapun yang dikategorikan anak adalah mereka yang berumur di bawah delapan belas tahun. Berkaitan dengan anak ini dalam pasal 287 KUHP terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa 'barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepetutnya harus diduga bahwa umurnya lima belas tahun, atau kalau tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Namun dengan keluarnya antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 serta Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, maka batas umur dalam pasal 287 KUHP harus ditafsir dengan didasarkan pada undang-undang yang baru, yaitu di bawah umur delapan belas tahun, penafsiran semacam ini masuk dalam kategori penafsiran sistematik.

Manakala kita menilik Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, dari judulnya saja sudah dapat tahu, bahwa undang-undang ini mengacu pada pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, yang di dalamnya termasuk juga dalam hal prostitusi. Membicarakan undang-undang ini tentu memerlukan bahasan yang panjang, namun demikian dapatlah kita coba menarik pangkal kontensnya saja.

Apa yang dimaksud dengan perdagangan orang dalam undang-undang tersebut?. Perdagangan orang menurut ketentuan undang-undang tersebut adalah 'tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi. Ketentuan sanksinya beragam, yaitu penjara berkisar minimum tiga tahun hingga seumur hidup dan denda berkisar minimum Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) hingga Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), tergantung pada kategori tindakannya.

Untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana perdagangan orang haruslah memenuhi unsure-unsur: setiap orang, yang melakukan: perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang lain tersebut.Selanjutnya perbuatan tersebut di atas harus mempunyai tujuan untuk mengeksploitasi (perhatiikan ketentuan pasal 2 ayat1) atau mengakibatkan tereksploitasi (perhatikan ketentuan pasal 2 ayat 2). Adapun yang dimaksud dengan eksploitasi, berdasar tafsir autentik adalah ‘tindakan dengan atau taanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa pebudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maaupun immaterial (lihat ketentuan pasal 1 point 7). Sedang khusus untuk aktifitas seksual menggunakan istilah eksploitasi seksual yang ditafsir secara autentik sebagai ‘segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendaapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan (lihat ketentuan pasal 1 point 8).
Perlu dipahaami bahwa kedudukan perempuan sebagai yang ‘melakukan’ prostitusi dalam ketentuan undang-undang ini adalah sebagai korban.

Bagaimana manakala unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi?. Manakala demikian adanya, maka perbuatan atau peristiwa/tindak itu tidak termasuk dalam kategori sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.

5. Kedudukaan Hukum Pidana Adat
Bagaimana kemungkinan diberlakukannya hukum pidana adat?. Untuk membahas hal ini juga memerlukan bahasan panjang, dan juga harus melibatkan berbagai teori serta penafsir`n, (--berkenaan dengan konteks keBaweanan penulis sudah pernah menulis dari pendekatan sosiologi hukum atau bisa juga disebut sosio-yuridis http://www.bawean.net/2008/11/hukum-pidana-di-masyarakat-desa-suatu.html. ). Dalam bahasan ini hanya penulis utarakan pontnya saja. Pendekatan hukum pidana adat bisa saja dilakukan dan diberlakukan sepanjang tidak melakukan penambahan delik baru, artinya ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP masih tetap berlaku secara konsisten, dan manakala dipaksakan juga maka harus melalui proses peradilan. Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan melalui pendekatan sosio-yuridis, namun langkah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat manakala pihak yang bersangkutan melakukan penolakan, tentu yang penulis maksudkan manakala tidak mungkin terpenuhinya unsur-unsur sebagaimana yang terdapat dalam berbagai ketentuan perundangan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean