Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bawean Dalam Kemunafikan

Bawean Dalam Kemunafikan

Posted by Media Bawean on Senin, 16 Juli 2012

Media Bawean, 16 Juli 2012

Oleh : Hassan Luthfi

Setiap daerah memiliki budaya dan tradisi yang berbeda-beda, demikian halnya dengan budaya di Pulau Bawean. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Berbeda dengan ajaran agama, budaya cenderung bisa dimodifikasi sedemikian rupa seiring perkembangan zaman. Namun belakangan ini kita sering disuguhkan oleh budaya-budaya yang dicampur baurkan dengan agama, sehingga makna dan nilai-nilai substansi dalam ajaran agama telah terkontaminasi oleh pengaruh budaya.

Fanatisme yang berlebihan pada suatu golongan dalam agama Islam di Bawean telah membuat pengultuskan terhadap seorang pemimpin atau seseorang yang ditokohkan. Akibatnya, apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin atau tokoh masyarakat yang dikultuskan, selalu menjadi panutan dan dianggap pembenaran tanpa perlu harus dikaji. Fanatisme yang berlebihan juga telah membuat setiap individu semakin ego hingga tak mau berfikir rasional. Menerima setiap budaya secara emosional, sekalipun hal itu bertentangan dengan logika dan bahkan ajaran Islam. Generasi muda terpelajar yang harusnya kritis dan lebih faham dibanding masyarakat awam, tentang mana itu ajaran agama ataukah sekedar budaya pada kenyataannya juga tersandera pada fanatisme golongan dan turut membutakan akal dan hati nuraninya.

Ketika ajaran agama semakin tersudut oleh pengaruh budaya, maka semakin banyak membentuk individu-individu yang bermental munafik. Salah satu contoh konkrit baru-baru ini seperti pada saat program penyaluran RASKIN (beras miskin), BLT (bantuan langsung tunai), dan sebagainya. Banyak keluarga bersedia terdaftar sebagai keluarga miskin, tetapi gaya hidupnya berselera gengsi tinggi (a gengsi-gensien). Mendapat jatah beras miskin namun sanggup mengadakan kenduri (a salamettan) mengundang dan memberi makan ratusan orang. Mon ngangkak molot tak mau kalah dengan para Muzakki bahkan sampai rela berhutang.

Secara logika saja bisa dilihat mereka itu bukan orang miskin dan tak berhak memperoleh jatah BLT atau RASKIN , namun hanya mentalnya yang miskin. Kalaupun benar termasuk keluarga fakir miskin, dari sudut pandang agama apakah ada anjuran bagi keluarga fakir miskin untuk mengundang dan memberi makan ratusan orang? Bila tidak tergolong keluarga miskin, bukankah dilarang memakan jatah harta orang miskin dan anak yatim?

Kriteria atau kategori keluarga miskin yang tidak transparan, menyebabkan kerancuan pada penetapan keluarga miskin di Bawean dibandingkan dengan daerah lain. Keluarga miskin di Bawean memang ada tapi mungkin tidak sebesar seperti apa yang di ungkap oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Peningkatan jumlah 1898 Kepala Keluarga (KK) di kecamatan Sangkapura dan 1329 KK di kecamatam Tambak terasa sangat mencengankan karena sebelumnya tidak pernah tersiar adanya kasus busung lapar ataupun ada pengemis di pulau Bawean. Malah sebaliknya yang terdengar setiap tahun semakin banyak orang yang berangkat menunaikan ibadah haji dan umrah. Hal ini menandakan perekonomian masyarakat di Bawean mengalami peningkatan.

Menjadi suatu hal yang ganjil apabila angka kemiskinan di Bawean dikatakan bertambah ribuan orang. Realitas sesungguhnya adalah banyaknya orang-orang bermental dan berjiwa miskin yang meningkat tajam. Ditunjang oleh oknum-oknum yang ikut memanipulasi data, hingga menyebabkan data BPS menjadi kurang autentik. Tujuannya tidak lain untuk mengeruk keuntungan dari program RASKIN dan kepentingan terselubung partai politik yang berkuasa untuk memikat hati konstituen dengan cara memunafikkan rakyat menjelang kampanye pemilu.

Kemunafikan dan keambiguan ini menjadi pemandangan umum dalam kehidupan masyarakat di Bawean belakangan ini. Ajaran agama hanya sekedar lipstik pemanis bibir akibat pengaruh budaya yang begitu dominan. Orang-orang yang mengerti ilmu agama dan generasi muda yang berpendidikan tinggi, kalah oleh orang-orang tak berilmu tapi berduit. Keadaan ini tak ubahnya seperti kehidupan kaum Paganis (penganut Hindu, Budha dan kepercayaan animisme dinamisme). Sama-sama mengangungkan benda, kalau mereka mengagungkan pohon dan berhala sedangkan kita tunduk pada duit orang kaya dan budaya-budaya hasil kreasi orang kaya yang bertentangan dengan agama.

Tanpa disadari atau mungkin sengaja dibiarkan, semakin banyak budaya masyarakat Bawean yang ambivalen dengan ajaran agama Islam. Bukan berarti semua budaya harus dimusnahkan, budaya sebagai ciri khas suatu daerah tetap perlu dilestarikan dengan catatan pengembangan budaya tidak menciderai ajaran agama. Agama sebagai monitoring dan filter bagi manusia dalam berprilaku sudah sewajarnya berada di atas budaya agar tidak timbul benih-benih kemunafikan dalam kehidupan masyarakat.

Kemunafikan akan membelenggu hidup dalam derita panjang. Saat ego menguasai jiwa, tanah seolah tak terasa dipijak, memandang dengan gelap mata dan hati mengeras. Keegoisan tidak memberikan ruang sedikitpun kepada rasa tulus dan kasih sayang untuk berlabuh. Maka bagi anda yang merasa cinta Bawean, singkirkanlah keegoisan, ungkapkaplah kebenaran sekalipun itu pahit diawalnya. Bila hanya berdiam diri, akankah kita semua terus hidup dalam kemunafikan.

Hassan Luthfi sebagai Alumni Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Sangkapura.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean