Media Bawean, 8 September 2012
Gus Ali Asyhar*
Buah mangga ( kalau jatuh) tidak akan jauh dari pohonnya. Pepatah ini memberikan arti bahwa seorang anak akan seperti orang tuanya dalam banyak hal. Postur tubuh dan betuk mukanya, sifat dan karakternya, tutur bahasa dan keramahannya serta kualitas keilmuan dan kewibawaannya. Namun untuk yang terakhir ini perlu dianalisa lebih dalam.
Tentang bentuk fisik sepertinya otomatis. Seorang ayah dan ibu yang tinggi maka biasanya anaknya juga tinggi. Jika ayah ibunya berkulit halus maka biasanya anaknya juga berkulit halus. Begitu juga rambut dan bentuk muka umumnya menyamai ayah atau ibunya. Tesa ini diperkuat dengan fakta adanya etnis. Sebuah etnis tertentu terbentuk dari sekumpulan orang yang sama fisiknya secara turun temurun. Cara bertutur kata dan keramahan juga bisa dibentuk. Al-kisah : Muslim bin Umran adalah seorang ayah yang santun. Ia memiliki seorang istri yang hitam namun bagus perangainya. Hasilnya, kedua anaknya menjelma menjadi remaja yang halus perangainya dan lembut tutur katanya.
Adapun ilmu bukanlah warisan yang bisa diturunkan mendadak. Ilmu harus disampaikan secara berkala sebagaimana lazimnya. Banyak terjadi seorang ayah yang cendekiawan tetapi anaknya tidak. Umar bin Khathab adalah contoh seorang ayah yang tegas, berani dan sangat adil. Namun putra putri beliau tidak ada yang menyamai apalagi melebihinya. Putranya yang bernama Abdullah bin Umar bahkan menjauhi politik. Ia tergolong sahabat yang diam disaat terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah.
Bila kita menilik sejarah betapa kita terkagum kagum dengan kecerdasan Imam Abu Hanifah. Namun kita tidak mendapati kehebatan yang sama dalam diri keturunannya. Begitu juga Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan yang lainnya. Justru kebesaran ilmu itu diwarisi oleh murid-muridnya. Penerus Imam Abu Hanifah adalah muridnya yang bernama Imam Yusuf, penerus Imam Malik adalah muridnya yaitu Imam Syafi’I dan penerus Imam Syafi’i adalah muridnya yakni Imam Ahmad.
Dalam pentas sejarah nasional kita mengenal Soekarno, Moh.Natsir, Buya Hamka, Gus Dur, Amien Rais dan sebagainya. Namun keriuhan ketokohan mereka menjadi sepi zonder penerus dari keturunannya. Kalaupun orang menoleh itu karena luberan dari charisma bapaknya. Di Pemilu 2004 Pernah salah seorang keturunan Bung Karno meniru gaya dan pakaian sang Proklamator. Bahkan sampai tongkat (kecil) komandonya. Mungkin dalam benaknya ia akan mendapat berkah politik dari kekaguman orang kepada BK, namun yang terjadi satupun tak ada yang menoleh.
Ilmu memang harus dicari. Tetasan keringat dan air mata adalah teman setia. Andai saja engkau adalah putranya Gajah Mada yang hebat itu, maka engkau bukanlah siapa-siapa. Ketinggian ilmu, keberanian, kecemerlangan ide dan pengalaman hidup Gajah Mada ia peroleh dengan keringat dan air mata. Bukan warisan yang jatuh dari ayahnya. Gajah Mada adalah Gajah Mada dan ayahnya adalah ayahnya. Gajah Mada adalah Gajah Mada dan anaknya adalah anaknya. Maka sebagai putra Gajah Mada maka engkau harus melalui proses yang sama bila ingin menyamai kehebatannya.
Ironis. Banyak putra-putrinya tokoh masyarakat, pegiat lingkungan hidup dan tokoh agama yang duduk ongkang-ongkang menikmati kebesaran orang tuanya. Duduk manis sambil berkhayal mengagumi dirinya ketika banyak yang menghormatinya. Ia berdiri diatas menara gading. Ia tidak sadar bahwa penghormatan orang hanyalah sesaat. Ketika orang tuanya meninggal maka lenyaplah penghormatan itu. Orang akan berpikir seribu kali untuk menyanjung anda. Siapakah diri anda sehingga harus disanjung? Benar bahwa orang tua anda adalah cerdik pandai dan pejuang tapi bagaimana dengan anda? Benar bahwa orang tua anda adalah penyayang masyarakat lalu bagaimana dengan anda. Sahabat Ali bin Abi Thalib mengingatkan bahwa pemuda adalah mereka yang mengandalkan kualitas dirinya bukan orang yang suka menikmati kebesaran ramanya. Wal-hasil, keturunan itu penting tetapi tidak mempengaruhi kualitas.
Suatu hari Gus Dur kecil bermain di halaman pesantren Tebu Ireng. Saat terjatuh, seorang santri bergegas akan menolong. Namun KH.Wahid Hasyim melarangnya “ Biarkan ia berdiri sendiri. Supaya kelak ia bisa menjadi orang yang mandiri” tuturnya.
*Dosen STAIHA Bawean dan Ketua Lakpesdam NU