Media Bawean, 18 September 2012
Oleh Baharuddin*
JUNI 1994. Disuatu malam dipertengahan bulan itu, Kallang Teater Singapore sesak dengan penonton. Mereka datang untuk menyaksikan pementasan drama dua babak : la napak ka jhudhuna oleh Teater Astaga besutan M. Natsir Abrari. Drama yang berdurasi dua jam itu menggunakan bahasa Bawean, diselenggarakan oleh Bawean Putera Sepak Tkraw Club (BPSC) yang bermarkas di Tiong Poh Road. Pukul 20.00 Waktu setempat, acara ceremonial segera dimulai. Seseorang dipapah naik ke atas panggung untuk memberi sambutan. Dia adalah Encik Harun bin A.Ghani, anggota Parlemen Singapore. “Saudara, saya sakit. Saya didampingi perawat. Saya cuti 3 jam dari Rumah Sakit tempat saya di rawat. Tapi apa artinya cuti tiga jam kalau dibandingkan dengan persiapan saudara – yang saya dengar – memakan waktu 3 bulan”, begitulah mantan Cikgu itu mengawali sambutannya.
Saya sering diundang makan malam bersama Encik Harun A.Ghani Kadang di Crown Hotel dibilangan Orhcad Road, kadang di restoran Mariam kawasan Geylang. Kali yang lain ketika makan di Hawa Restaurant, saya bertanya kepada Tuan Hj. Ahmad Dawan, Setia Usaha BPSC yang ikut serta dalam jamuan itu, : “Mengapa makan disini, bukankah ini restauran sederhana?”. ‘Disinilah tempat mangkalnya masyarakat akar rumput’, kata lelaki tua asal Pagerbung desa Sokalela itu. Pada suatu petang, saya dan Pak Burhanuddin Rasyid (almarhum), diajak ke kawasan Cangi menikmati ice cream, ketika hendak berpisah Encik Harun melepas jam tangannya. ‘Pak Burhan, jam tangan ini saya beli ketika saya berkunjung ke Amerika, Silakan Bapak pakai. Jangan lihat harga dan bentuknya, lihat nilainya” Kepada penulis istri anggota Parlemen dari daerah pemlihan Hong Kah GRC itu memberi kartu telepon Sing Tel yang tidak habis-habisnya saya pergunakan selama di Singapore. Sepanjang yang saya ketahui baik ketika di Crown Hotel, di Restaurant Mariam, di Restauran Hawa, di Cangi dan di Kallang Teater, tokoh Sastrawan Melayu itu selalu di sambut oleh warga Singapre dengan jabatan tangan dan pelukan. Namanya diabadikan pada “The Harun Ghani Education Fund” yang menyantuni korban narkotika dan memberkan beasiswa pada anak-anak cerdas tapi tidak mampu. Cikgu Harun A. Ghani pernah menduduki jabatan Political Secretary in the Ministry of Home Affairs dari tahun 1989 - 2001,dan sebagai anggota Parlemen dari tahun 1991 hingga 2001. Dia pernah juga menjabat sebagai Advisor Bawean Putera Sepaktakraw Club (BPSC). Dia sangat dekat dengan komunitas Bawean di Singapore.
Di Bawean, ada sosok Djamil Dlafir. Orang menyapanya dengan panggilan Pak Jamil. Sejak tahun 1971, ia menjadi anggota DPRD Tk. II kabupaten Gresik mewakili Bawean lewat partai Nahdlatul Ulama, lalu terpilih sebagai angota DPRD Tk. I Propinsi Jawa Timur lewat Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pak Jamil, adalah salah satu anggota dewan yang amat disegani, baik oleh teman maupun lawan politiknya. Para kepala dinas selalu keder menghadapinya. Urat takut nya seakan putus, apalagi jika menyangkut perjuangan membela orang-orang yang terpinggirkan. Dengan orang-orang yang terpinggirkan itulah dia kerap bergaul. Pada mulanya dia tinggal menumpang di rumah temannya di Jl. Sidotopo Wetan. Untuk menuju kantor dewan di Gresik harus naik becak ke Jembatan Merah, lalu naik angkutan. Nah, ketika akan naik becak itulah, kata Husnan -- kini pensiunan Syahbandar Bawean yang pernah se rumah dengannya – sejumlah tukang becak sudah siaga menunggu di depan pagar, menawarkan diri agar di naiki becaknya oleh pak Djamil. Bukan lantaran mengharap ongkos yang tinggi, melainkan ingin membalas jasa. Anggota Dewan itu selalu membantu kesulitan mereka, bahkan kalau sudah tidak punya uang untuk diberikan kata Husnan, baju yang sedang dipakainyapun ia serahkan. Dia memang sering tidak punya uang. Penulis pernah dimintai bantuan untuk menyampaikan surat ke Sekretariat Dewan, kini menjadi rumah dinas (pendopo) Bupat Gresik. Isinya : Bon uang, potong gaji.
Ketika pulang ke Bawean, pak Djamil selalu dikerubungi oleh orang-orang kecil. Pak Dekdeng, kusir dokar yang tinggal di Bengkosobung adalah sahabat akrabnya yang selalu begadang setiap malam. Pak Samman Sawahdaya, staf pegawai kantor Pos Pembantu di Bawean adalah karibnya ketika abellur menangkap odeng gela di Sungai. Pak Dulla, petani, yang usianya jauh lebih tua, dari kampong Bungaran desa Patarselamat selalu bercerita kepada penulis bahwa Djamil itu kalau lagi pulang ke Bawean selalu ada di rumahnya. Padahal Bungaran adalah kampung yang cukup terpencil dan waktu itu sulit dijangkau kendaraan roda dua. Begitu pula pak Saleh dari dusun Tenggen desa Lebak. “Baharuddin, katanya suatu ketika, pak Djamil itu kalau di Bawean, rumah nya ya disini”. Ketika penulis mengingatkan dalam suatu kegiatan NU di desa Diponggo, karena tidak membawa kelengkapan pakaian padahal harus bermalam, dia menyatakan , bahwa, semua orang Diponggo itu Saudaranya. Tidak hanya itu, komunitas Diponggo yang tinggal di Lorong 60 dan Lorong 100 di Tanjung Periuk Jakarta Utara, kenal baik dengan sosok Pak Djamil. Di Kijang, dikampung Pisang yang dikenal dengan kampung Boyan, nama sosok asal Bengkosobung itu bukanlah orang asing. Kisah keberpihakan dan kepedulian pak Djamil kepada orang-orang kecil sungguh amat panjang,
Tapi bukan berarti dia terputus hubungan dengan kalangan atas. Pak Ansar, yang menjabat Pembantu Bupati di Bawean sangat akrab. Juga pak Amri Camat Tambak pada waktu itu. Pak Amri pernah bercerita pada penulis bahwa dia sering di wanti-wanti oleh Bupati Suflan agar membelikan sepatu dan baju Dinas safari pada nya. Ketika penulis tanyakan kepada yang bersangkutan, dia menjawab : “Mana penting antara ini dan ini”, sambil menunjuk kepada bajunya untuk ini yang pertama dan menunjuk dahinya untuk ini yang kedua. Seakan dia mengatakan bahwa mana lebih penting antara baju dan pemikiran. Memang, setiap kegiatan Dewan dia jarang memakai baju safari dan hanya memakai sepatu sandal. Kalau sudah demikian Camat Amri amat kecewa kepada pak Djamil karena khawatir ditegur Bupati lagi.
Encik Harun bin Abdul Ghani dan Bapak Djamil bin KH. Dlafir sudah meninggal dunia. Mereka berdua meninggalkan kisah indah untuk diceritakan kepada anak cucu, bahwa dulu, pernah ada dua orang anggota parlemen -- yang satu dari negeri jiran Singapore dan satunya lagi dari Bawean -- hidupnya amat populis. Amat Merakyat. Amat berkesan di hati constituen nya.
*Wakil Ketua Umum KTB.