Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Antara Ghersek bhen Bhebiyen
Bawean Anak Kandung Gresik

Antara Ghersek bhen Bhebiyen
Bawean Anak Kandung Gresik

Posted by Media Bawean on Senin, 06 Mei 2013

Media Bawean, 6 Mei 2013

Duduk di Bantal Bisulan Belajar ke “Kakek Bantal” 
sebuah Tinjauan Historis 

Oleh : Sugriyanto 


Keinginan untuk menyibak rahasia dari nama kota Kabupaten Gresik semakin mendesak dinding kalbu. Rasa ingin tahu dan penasaran terus berkecamuk dalam dada ini. Hampir seluruh referensi atau rujukan diusahakan untuk menemukan “benang” merah terhadap nama kota yang berjuluk –kota santri dan kota pudak- ini terus menapak tilas sejarah masa lalu. Mencoba bertanya ke sana ke mari belum ditemukan juga sumber sebagai ‘sanad’ riwayat yang saheh dan terpercaya. Dalam masa penelusuran pencarian ditemukanlah sebuah ‘desas-desus’ yang sifatnya masih berupa statemen sementara yang agak mendekati kebenaran bahwa nama kota Gresik bersal dari kata Bahasa Bawean (red: Ghersek). Sebagai bahan untuk mendudukkan kegamangan dan rasa skeptis tentang kosa kata tersebut dapat dikonfrontasikan dengan sebuah kamus “Kamus Indonesia- Daerah”(Jawa, Sunda, Bali, madura) yang ditulis oleh Ir. Sugiarto, dkk (red: bukan Sugriyanto) pada halaman 278 tercantum sinonim dari kata pasir (Indonesia), wedhi (jawa), bias (Bali), keusik (Sunda), dan beddi (Madura). Sedangkan kata ghersek (Bawean) di luar kamus tersebut. Selama ini belum ditemukan bahasa daerah lain yang serupa dengan sebutan kata dari Bahasa Bawean. Hal ini menandakan betapa berartinya sumbangan kata dari Bahasa Bawean yang dijadikan nama Kota Kabupaten Gresik.

Cukup berbangga dan berbesar hati bila menengok kembali sejarah Kota Kabupaten Gresik. Seluruh penjuru nusantara tahu bahwa Kota Kabupaten Gresik sebagai kota yang penuh dengan sejarah kehidupan peradaban manusia dengan segala aspeknya. Sebagai kota pelabuhan perdagangan “teramai” dan prospektif telah menjadikan kota Kabupaten Gresik sebagai kota Industri di nusantara. Penggelaran kota Gresik sebagai kota santri tidaklah berlebihan karena secara historis Gresik merupakan jujukan para saudagar muslim atau ‘pengkelana’ bathin dalam menanamkan tonggak sejarah masuknya Islam di indonesia.

Sebagaimana tertera dalam buku “Pengantar Pendidikan” Oleh H. Dinn Wahyudin ditulis “Kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai (Aceh) didirikan pada tahun 1297 oleh Sultan Malik Al-Saleh. Namun, diperkirakan bahwa pengaruh Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelum berdirinya kerajaan Islam Samudera Pasai. Hal tersebut terbukti dari adanya batu nisan di Leran, dekat Gresik, jawa Timur, yang menyebutkan tentang meninggalnya seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun pada tahun 476 Hijriyah atau 1082 Masehi” (2002:4.3). Tak dapat disangkal lagi kenyataan sejarah yang benar-benar benar. (red: karena ada kata benar-benar salah).

Kerapatan Pulau Jawa dengan Pulau Bawean dilukiskan dengan gamblang dan meyakinkan oleh KH. Dr. M. Dhiyauddin Qusswandhi dalam bukunya yang berjudul “Waliyah Zainab’ Puteri Pewaris Syeikh Siti Jenar yang dapat disitirkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut

“ Ternyata dalam pencarian beliau (KH. Dr. M. Dhiyauddin Quswandhi) Titik dari huruf Nun itu adalah Pulau Bawean. Nun sepadan dengan kata nur (cahaya) yang berarti ilmu atau kesadaran. Dari segi ini Pulau Jawa dan Bawean tidak dapat dipisahkan baik dalam tataran spiritual, historis, maupun sosiopolitik. Kebangkitan spiritual umat Islam di Jawa akan bermula ketika cahaya ruhani Islam berkilau di Pulau Bawean. Hal ini menyerupai huruf Nun yang tidak mungkin “hidup” –dibaca sebagai huruf –jika tidak terdapat Titik

Mantab sudah kerapatan Pulau Jawa dengan Pulau Bawean, lebih-lebih dengan Kota Kabupaten Gresik. Tidaklah keliru bila Bapak Bupati Gresik Dr. Ir. H. Sambari Halim Radianto.ST. M.Si. dalam sambutannya di sela-sela saat peresmian Gedung Pusat Informasi Bawean beberapa tahun yang lalu mengeluarkan statemen yang mendebarkan dan sekaligus membanggakan bahwa Bawean bukan bagian dari Gresik, tapi Bawean Kabupaten Gresik. (Warta Giri Edisi 01 tahun 2011:8). Luar biasa! Implikasi logis dari pernyataan beliau adalah tidak adanya perbedaan perlakuan dengan yang lain. (Mulai jalan paving lingkar Bawean 60 km, PLN normal 24 jam, transportasi laut yang terus diusahakan, serta hal yang menyangkut hidup orang banyak tetap menjadi prioritas program Beliau).

Nah, bagaimana dengan kisah “Kakek Bantal?”. Sudah menjadi mitos berjalan dan hingga saat ini warga Bawean mempercayai bahwa anak atau siapa saja yang duduk atau menduduki bantal baik sengaja atau tidak sengaja akan terjangkit penyakit bisul (red: poreseghi) di “pantatnya”. Sejenis penyakit kutukan karena “kuwalat” atau celaka 13 setelah duduk atau menduduki bantal. Pembaca EmBe yang budiman boleh sedikt tertawa renyah atau merasa geli dengan tulisan ini jika belum memahami dan mendalami kisah “Kakek Bantal” yang terpatri dalam sebuah buku Susatyo Budi Wibowo dalam judul “Dahlan Asy’ari” Kisah Perjalanan Wisata Hati. Dalam buku tersebut dikisahkan dengan bergaya tutur bentuk cerita perjuangan seorang kakek yang berhasil menyelematkan nyawa seoang gadis yatim piatu yang ditelanjangi (red :hanya cawatan) oleh seorang pendeta untuk dipersembahkan di sebuah altar kepada Dewa Hujan. Waktu itu kerajaan Majapahit berkuasa dengan rajanya Prabu Wijaya memberikan otonomi kepada Gresik. Prabu Wijaya khawatir jika tidak diberi hak otonomi untuk Gresik warga kala itu takut memberontak. Terjadilah perseteruan sengit antara “Kakek Bantal” dengan pendeta dan pengikutnya dalam peristiwa pembebasan seorang gadis yang hendak dijadikan tumbal dalam usaha memohon turunnya hujan. Penghabisan cerita “Kakek Bantal” menang dengan tidak dengan alias tanpa cara kekerasan melainkan dengan pendekatan kultural dan agama. “Kakek Bantal” dan pengikutnya melakukan sholat sunnat istisqa’. Maka turunlah hujan dengan deras dan menguyur kota Gresik lalu dibebaskanny gadis yang hampir dijemput maut itu. Padahal sebilah belati siap menghunjam dada gadis yang akan menjadi tumbal ketiga itu.

Semakin membikin penasaran siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “Kakek Bantal” itu? Masih dalam buku yang sama Susatyo Budi Wibowo mencantumkam urutan wali songo sebagai berikut.
1. Syehk Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel),
3. Raden Paku (Sunan Giri),
4. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), 
5. Raden Qosim (Sunan Drajad),
6. Raden Said (Sunan Kalijaga),
7. Raden Umar Said (Sunan Muria),
8. Jakfar Shodiq ( Sunan Kudus), dan
9. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati).(2011:16)

Ternyata yang dimaksud dengan “Kakek Bantal” adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Setiap kali beliau mengajari para santrinya selalu meletakkan kitab suci Al-Qur’an atau Al-Hadits di atas sebuah bantal. Dengan cara demikian ini, beliau seakan memberikan pesan moral, agar Al-Qur’an dan Al-Hadits selalu berada dalam kepala dan pikiran kita, menghormatinya, kemudian mengamalkannya sehingga kita bisa menjadi manusia berderajat tinggi di hadapan Allah SWT. Itulah mungkin salah satu kenapa masyarakat Bawean mempercayai dan tak berani menduduki bantal dengan ‘pantatnya’. Akibatnya akan muncul bisul (red: poreseghi-Bawean atau Udhunan-Jawa). Hingga detik ini petuah tersebut masih berlaku. Belife or not! Wallahua’lam bissawaf.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean