Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bawean;
Pulau Wisata Riligius dan Budaya

Bawean;
Pulau Wisata Riligius dan Budaya

Posted by Media Bawean on Kamis, 25 Juli 2013

Media Bawean, 25 Juli 2013

Lomba Menulis Opini dan Artikel 
Kategori Umum 

Nama Penulis : Ainul Yakin. 
Alamat : Saricindan Sidogedungbatu Sangkapura 
Pulau Bawean, Gresik 
Pekerjaan : Mahasiswa IAI Nurul Jadid Paiton

Secara administratif, Pulau Bawean adalah bagian dari pemerintahan kabupaten Gresik Jawa timur, yang memiliki bebera anak pulau seperti Pulau Noko, Gili Barat dan Gili Timur. Pulau Bawean terdiri dari dua pemerintahan Kecamatan, yaitu kecamatan Tambak dan Sangkapura. Sedangkan dari sisi geografis, posisi Pulau Bawean berada di antara Pulau Kalimantan dan pulau Jawa. Tapi lebih dekat ke Pulau Jawa, yaitu Jawa Timur. Bawean berada pada arah utara kabupaten Lamongan dan Tuban sekitar 80 mil.

Sebagaimana daerah atau pulau lain di perairan Nusantara, sebagai bagian dari warisan sejarah Pulau Bawean memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Beberapa perbedaan tersebut tampak pada tradisi dan praktik keagamaan (riligiusitas) dan keragaman budaya. Dua warisan inilah yang dirasa penting untuk diungkap kepada masyarakat luar agar Bawean lebih dikenal dan menjadi pulau yang lebih berkembang baik dari sisi ekonomi, politik dan social budayanya.

A. Riligiusitas Masyarakat Pulau Bawean

Adapun objek wisata yang pertama, yakni praktik keagamaan, secara garis besar pada sub ini penulis akan membagi dua, yaitu; praktik dan tradisi keagamaan yang bersifat non fisik dan peninggalan yang berupa symbol/tempat keagamaan yang bersifat fisik. Pertama; praktik keagamaan (riligiusitas). Masyarakat Pulau Bawean dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Masyarakat yang fanatik dan memegang teguh tinggi nilai-nilai keagamaan. Mayoritas – untuk tidak mengatakan seluruhnya - penduduk Pulau Bawean adalah pemeluk agama Islam. Kalau memang ada warga yang non muslim, itu bisa dijamin bukan keturunan Bawean. Di antara pratik keagamaan yang masih lestari di Bawean adalah:

1. Ngaji di Langgar

Sejak kecil anak-anak Pulau Bawean sudah diajari ngaji al-Qur'an dan dasar-dasar ilmu agama. Mereka belajar di Langgar-Langar dan rumah-rumah penduduk yang sudah ditokohkan. Orang Bawean sebelum bisa baca al-Quran dengan baik dan dibekali ilmu Agama meraka tidak boleh keluar daeran atau merantau ke negeri seberang seperti ke Malaysia, Singapura, Australia dan lain-lain. Sebab menurut keyakinan orang Pulau Bawean, orang yang belum paham agama tidak bisa menjaga keselamatan dirinya baik di dunia maupun akhirat kelak. Orang Bawean yang tidak bisa ngaji al-Quran merasa minder dan rendah diri di kalangan masyarakat. Karena Al-Quran dan ilmu agama menurut masyarakat Bawean adalah bekal utama untuk hidup di mana pun mereka berada termasuk di perantauan. Karena mayoritas masyarakat Pulau Bawean adalah perantau.

Sedangkan waktu mereka mengaji yaitu setelah maghrib dan subuh. Tapi bagi mereka yang sudah fasih baca al-Quran, oleh kiayainya dijadikan guru untuk teman-temannya yang lain. Anak-anak Bawean yang ngaji di Langgar bermalam di Langgarnya masing-masing hingga pagi. Dalam seminggu ngaji selama lima malam. Untuk hari jumat dan selasa libur. Tapi bagi yang senior atau yang berminat pada hari libur ngaji (malam Jumat dan Selasa) dijadikan wahana belajar baca al-Qur'an bit taghanni (berlagu), baca berzanji dan lain-lain.

2. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Kemasan perayaan atau peringatan Maulid nabi Muhammad saw. yang ada di Pulau Bawean sangat berbeda dengan perayaan yang ada di daerah lain. Sebagaimana di daerah lain, Maulid nabi dilaksanakan pada bulan Raabiul Awal tahun Hijriyah. Bisa dilaksanakan pada awal bulan, pertengahan dan akhir bulan. Namun dari sisi waktu, maulid yang diadakan di Masjid dan Sekolah/ Madrasah dilaksanakan pada pagi hari yakni sekitar pukul 05.30 – 11.00 wib. Lembaga yang melaksanakan maulid bukan hanya Masjid tapi Sekolah / Madrasah mulai jenjang yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Di samping itu Langgar/ Mushalla, Pondok Pesantren yang berada di kampung-kampung juga melaksanakan peringatan maulid nabi. Bahkan bagi orang yang mampu secara ekonomi, secara pribadi ada yang melaksanakan maulid nabi di rumahnya masing-masing dengan mengundang masyarakat sekitar. Sedangkan pelaksanaan maulid yang diadakan di Mushalla/ Langgar dan Pondok Pesantren biasanya diadakan pada malam hari sekitar pukul 19.00 – 11.00 WIB.

Ketika perayaan maulid nabi, khususnya yang diadakan di Masjid, masyarakat membawa angkatan (kue) yang ditaruh di dalam bak (ceppho) yang dihias dengan bentuk yang beraneka ragam. Ada yang berbentuk kapal, perahu, jhukong, kursi, mesjid dan lain-lain. Isinya adalah berbagai macam makanan, kue, peralatan dapur, bahkan ada yang berisi VCD, TV dan lain-lain yang cukup besar baik secara kapasitas maupun dari pendanaan. Tiap satu angkatan diperkirakan menelan biaya sekitar Rp. 300. 000,- sampai Rp. 1.500.000,-.

Sedangkan tiap kepala rumah tangga membawa satu sampai dua angkatan untuk dibagi-bagi kepada masyarakat dan undangan dengan cara tukar menukar angkatan yang dilakukan secara acak oleh panitia. Adapun bacaan maulid nabi adalah shalawat berzanji dengan lagu yang khas ala Pulau Bawean dengan kolaborasi lagu berzanji ala Medan dan Minangkabau Sumatera.

3. Isra’ Mi’raj dan Sya’banan

Kegiatan Isra’ Mi’raj dan Sya’banan adalah dua kegiatan keagamaan rutinitas orang Pulau Bawean. Isra’ Mi’raj dilaksanakan pada bulan Rajab, bisanya berisi pengajian / mauizdah hasanah untuk mengenang perjalanan Isra’ dan Miraj Nabi ke Sidratul Muntahah. Sedangkan kegiatan Sya’ban dilaksanakan pada malam hari pada pertengahan bulan Sya’ban yaitu tepat pada tanggal 15 bulan Sya’ban. Adapun isi dari kegiatan Sya’banan adalah bacaan surat yasin dan shalawat Nabi SAW.

4. Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Sebagaimana di daerah lain, Hari Raya Idul Fitri dan Idul adlha adalah kegiatan hari besar Islam yang dilaksanakan oleh umat Islam di dunia pada tiap tahun yaitu pada bulan tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah. Tapi yang sedikit berbeda, setelah perayaan hari raya tersebut oleh masyarakat Pulau Bawean dijadikan ajang silaturrahim untuk saling maaf memaafkan kesalahan antara satu dengan yang lain. Hal ini dilakukan secara berbondong-bondong dengan mengunjungi rumah family, kerabat, tetangga, dan tokoh maysarakat sejak hari pertama hari raya sampai tujuh hari setelah hari raya.

Objek wisaya riligius yang kedua adalah yang bersiafat fisik. Di antaranya adalah :

1. Makam
Sampai detik ini ada beberapa makam yang ada di Pulau Bawean yang sudah menjadi objek wisata khalayak ramai. Pengunjungnya bukan hanya dari wisatawan lokal tapi juga dari berbagai manca Negara. Makam-makam tersebut dianggap layak karena memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan dikeramatkan, khususnya bagi pemeluk agama Islam di msyarakat Bawean. Makam-makam tersebut di antaranya adalah; pertama: makam Waliyah Zainab yang ada di Desa Diponggo kecamatan Tambak. Makam ini memiliki pengunjung paling banyak di anata maka-makam yang lain di Pulau Bawean. Waliyah Zainab adalah seorang da’I yang menyebarkan Islam di desa Diponggo. Kedua; makam Umar Mas’ud. Makam ini berada di belakang Masjid alun-alun kota Sangkapura. Beliau adalah ulama’ yang paling sukses menyebarkan agama Islam di pulau Bawean. Bahkan Islam yang ada di Pulau Bawean saat ini adalah berkat keteguhan, kegigihan dan kesabaran beliau dalam menyebarkan Islam di Pulau Bawean. Ketiga; makam Jujuk Tampo. Makam ini berada di Tampo desa Pudakit Kecamatan Sangkapura. Menurut penelitian sejarah yang dilakukan para ahli, termasuk Dr. Dhiyauddin, peneliti sejarah penyebaran Islam di Pulau Bawean, Jujuk Tampo adalah Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah salah satu dari anggota wali songo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Makam Sunan Bonang yang asli adalah di Pulau Bawean bukan di Tuban Jawa Timur. Menurut beliau, makam Sunan Bonang yang ada di Tuban adalah hanya kain kafannya saja yang di bawa para murid Sunan Bonang yang ada di Jawa. 

2. Langgar 
Langgar adalah tempat ibadah dan belajar agama masyarakat Bawean. Anak-anak Bawean masih senang belajar al-Quran dan belajar agama di Langgar. Tiap malam anak-anak Bawean ngaji dan bermalam di Langgar. Tiap dusun/pedukuhan ada Langgarnya. Bagi umum, Langgar di jadikan tempat shalat jamaah lima waktu. Orang Bawean masih suka shalat jamaah lima waktu di Langgar-Langgar. Masing-masing Kampung memiliki Langgar lebih dari satu. Pada bulan Ramadlan langgar dijadikan tempat shalat taraweh dan tadarus al-Quran. Sedangkan bentuknya ada yang berupa bangunan yang sudah ditembok dan ada yang terbuat dari kayu yang berupa panggung. 

3. Masjid 
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Dalam penggunaannya, Masjid dengan Langgar sama, yaitu sama-sama dijadikan tempat ibadah dan belajar Agama. Perbedaannya, tiap hari Jumat, Masjid dijadikan tempat shalat Jumat sedangkan Langgar tidak. Dan dalam satu dusun ada satu Masjid, sedangkan Langgar bisa lebih dari satu. 

4. Pondok Pesantren 
Pondok pesantren adalah tempat belajar para santri. Setiap pesantren dipangku oleh seorang kiyai sebagai pengasuh. Santri salah adalah para murid kiyai yang tinggal di pesantren. Di dalam pesantren ada Masjid/Mushalla sebagai tempat ibadah, asrama tempat tidur santri dan Sekolah/ Madrasah tempar belajar santri. Di Pulau Bawean, pondok pesantren begitu menjamur dan membudaya. Walaupun penduduknya tidak terlalu banyak, hampir setiap desa berdiri pondok pesantren.

B. Keragaman Budaya

Sekalipun Pulau Bawean hanya terdiri dari dua kecamatan dan tidak kurang dari tiga puluh desa, masyarakat Bawean memiliki banyak budaya serta ragam logat dan bahasa.

1. Bahasa
Menurut akar rumpun bahasa, Bawean memiliki dua bahasa, yaitu bahasa Madura dan Jawa. Sedangkan logat kedua bahasa tersebut sangat berbeda antara satu desa dengan desa yang lain. Bahkan antar dusun memiliki perbedaan logat. Misalnya antara desa Daun dengan Desa Sidogedungbatu, antara dusun Carabaka dengan Panyalpangan dan seterusnya. Itu yang membikin Bawean dari sisi bahasa saja semakin unik dan menarik. Sehingga orang Bawean untuk mengetahui asal daerah / kampung orang lain cukup mengidentifikasi dari logat bahasanya karena setiap dusun memiliki logat dan gaya bahasa yang berbeda.

a. Madura
Mayoritas bahasa yang berlaku di Bawean adalah bahasa Madura. Namun demikian, orang Bawean tidak mau dikatakan orang Madura. Sebab dilihat dari aspek sejarah, masyarakat Bawean bukan hanya dari keturunan Madura, tapi campuran dari berbgai daerah. Yaitu, Sulawesi, Madura, Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Bahasa yang berkembang di Pulau Bawean bisa dikatakan bahasa Madura khas Pulau Bawean, sebab ada beberapa kosa kata yang berbeda dengan bahasa Madura. Misalnya Eson (saya, engkok, madura), jhella (nanti, dekghik, Madura) dan lain-lain.

b. Jawa
Sebagian penduduk Bawean ada yang berbahasa Jawa. Bahasa Jawa yang berkembangan di  Pulau Bawean sama dengan bahasa Madura, sudah mengalami banyak perubahan. Terutama perubahan logat. Bahasa jawa yang berlaku di Pulau Bawean hanya berlaku di desa Diponggo kecamatan Tambak dan Pulau Gili Barat Bangsal desa Dekat Agung.

2. Seni

a. Hadrah
Senia Hadrah yang ada di Pulau Bawean sungguh sangat bagus dan meriah. Hampir setiap pedukuhan/ dusun ada kelompok Hadrah. Tiap tahun di sana di adakan lomba Hadrah mulali tingkat pendidikan dasar sampai menengah atas. Orang Bawean sangat suka Hadrah. Biasanya Hadrah Bawean juga di tampilkan pada momen-momen penting, misalnya resepsi pernikahan, imtihan dan nadar. Bahkan Hadrah Bawean sudah dikenal dan lestarikan masyarakat Bawean yang tinggal di Malaysia.

b. Mandiling
Mandiling adalah salah satu budaya seni yang sampai saat ini masih bertahan di Pulau Bawean. Mandiling merupakan seni tarik suara yang diiringi musik tradisional. Namun pada perkembangannya saat ini, music mandiling sudah banyak menggunakan alat music modern, seperti gitar dan piano. Mandiling biasanya digelar pada malam hari pada momen-momen penting perayaan yang diadakan masyarakat. Lagu yang dibawakan berbentuk pantun (orang Bawean mengatakan guguritan) yang dilakukan secara bergantian dan berlawanan oleh beberapa penyanyi laki-laki dan perempuan.

c. Pencak silat
Pencak silat merupakan seni bela diri yang masih bertahan di Pulau Bawean. Seni ini merupakan salah satu budaya yang sangat digandrungi masyarakat Bawean. Di Pulau Bawean ada semacam organisasi pencak silat dan persatuan pendekar. Pada momen pergelaran pencak silat, pada pendekar Pulau Bawean mendelegasikan anak asuhnya untuk ikut berpartisipasi pada pergelaran tersebut. Saat pencak silat digelar, anak asuh pendekar yang sudah direkomendasi ikut pencak, diadu dengan anak asuh pendekar yang lain. Namun pencak silat tersebut diadakan bukan untuk mengadu kekuatan, tapi yang lebih penting adalah untuk persahabatan dan latihan bela diri.

3. Adu Sapi
Budaya yang tidak kalah pentingnya dari bebera budaya yang telah disebut, adalah budaya adu sapi. Orang Bawean mengatakan adduen sape. Adu sapi ini beda dengan kerapan sapi budaya Madura. Kalau kerapan sapi adalah adu cepat lari yang dipandu oleh kusir. Sedangkan adu sapi yang ada di Bawean adalah mengadu kekuatan sapi dalam bertarung dengan menggunakan kekuatan tanduk dan tenaga yang dilakukan satu tanding satu. Setiap sapi yang menang diadu harganya akan naik. Sampai saat ini, tontonan pergelaran budaya yang paling ramai dan diminati di Bawean adalah adu sapi.

C. Kesimpulan

Dalam perkembangannya, wisata bukan hanya sekedar dijadikan tempat hiburan, tapi juga tempat pembelajaran. Tradisi riligius dan keragaman budaya yang ada di Bawean pada hakikatnya sudah bisa dijadikan objek wisata. Di samping untuk wisata hiburan juga untuk wisata pembelajaran budaya.

Melihat kondisi dan situasi Pulau Bawean saat ini, mulai dari infrastruktur yang sangat terbatas, sumber daya alam dan manusia yang tidak memadai, perencanaan dan persiapan untuk menjadikan Bawean pulau wisata yang belum matang, maka menawarkan Pulau Bawean sebagai objek wisata riligius dan budaya adalah solusi paling tepat. Karena dua kekuatan tersebut yang menjadi karakteristik Pulau Bawean dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menjaga keunikan dan keaslian budaya tersebut serta mempublikasikan kepada khalayak agar Pulau budaya Bawean tetap lestari, menarik dan diterima semua kalangan. Sehingga Bawean layak menjadi pulau wisata riligius dan wisata budaya. Nilai strategis penawaran wisata riligius dan budaya tersebut adalah efesiensi dana, meningkatkan perekonomian dan melestarikan budaya lokal.

Daftar Pustaka

Anonim, Pariwisata Jawa Timur dalam Angka (Surabaya: Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur, 2005).

Hadinoto, Kusudianto, Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwi -sata(Jakarta: UI Press, 1996).

Musanef, Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia (Jakarta: Gunung Ag ung, 1996).

Nuriata, Tata, Perencanaan Perjalanan Wisata (Jakarta: Departemen Pendidik -an dan Kebudayaan, 1992).

Soekadijo, Anatomi Pariwisata (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997).

Sugiarto, Endar, Psikologi Pelayanan da -lam Industri Jasa (Jakarta: G remedia Pustaka Utama, 1999).

Spillane, James J., Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1994)

Yoeti, Oka A., Pengantar Ilmu Pariwista (Bandung: Angkasa, 1996).

Yoeti, Oka A., Perencanaan dan Pengem -bangan Pariwisata (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997).

Yoeti, Oka A., Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002).

Van Den, Berg, Bawean Isam, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980)

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean