Media Bawean, 12 Agustus 2013
Kebiasaan Butuh Penyempurnaan
Oleh: Sugriyanto (Dosen STAIHA-Bawean Gresik)
“Kejamnya ibu tiri tidak sekejam Ibu Kota.” Demikian sebuah pemeo latah yang kerap kali terlontar dalam pergaulan. Namun, bila dikaji lebih dalam pemeo tersebut benar-benar menyayat kalbu setajam sembilu (baca: pisau belah bambu) menyasar ke penduduk nonkota. Munculnya atau penggelaran istilah kata “mudik” sedikit mengandung unsur bahasa “mengancam” atau “ngenyek” (baca : Jawa) warga ndeso yang pulang ke kampung halamannya. Sudah tidak ada lagikah istilah yang mengandung ameliorasi sebagai pengganti istilah “mudik” sehingga penyematan itu akan lebih mulia karena tidak terhinakan. Agar tidak terjadi bias pemahaman penulis mencoba menelusuri istilah kata “mudik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditemukan pada halaman 1096 dari kata dasar “udik” yang artinya sebagai berikut. Sebagai kata bermakna leksikal (Baca : kamus) dari unsur “udik” bermakna 1. Nomina atau benda sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber); (daerah) hulu sungai; 2. Nomina atau benda desa, dusun, kampung (lawan kota); 3. Bentuk dasar sebuah kiasan yang berarti kurang tahu sopan santun; canggung (kaku) tingkah lakunya; bodoh. Meminjam istilah Bang Haji Rhoma Irama “Sungguh ter...la...lu” penistaan terhadap harkat dan martabat orang ndeso. Sementara orang kota lewat corong pemerintah dan wartawan telah memopulerkan istilah “mudik” dalam istilah pulang kampung. Alangkah merdunya bila istilah itu disederhanakan dengan sebutan yang lebih terhormat dengan tidak mengurangi maksud kepulangan atau kekembaliannya. Mungkin menggunakan istilah “back come” (baca: bekkam) diserap melalui proses adaptasi dari sisi ejaan bermakna “kembali ke kampung” halaman. Sehingga kesan kurang tahu sopan santun atau canggung (kaku) terhindarkan. Batasan kota dalam peta dunia masih ambigu. Surabaya sudah kota tetapi lebih kota Jakarta, jakarta kota masih kalah dengan Singapura, Singapura kota masih kala dengan Cambera, Cambera sudah kota masih kala dengan Aamerika dan seterusnya. Atau mungkin dari pembaca untuk melontarkan ide cemerlangnya dalam sebuah diskusi atau jajak pendapat untuk menyederhanakan istilah “mudik” tersebut.
Penulis tertarik dan meminati tulisan dari DR. Badri Yatim, M.A. dalam bukunya
Berjudul “Sejarah Peradaban Islam” yang mengungkap istlah suku bar-bar yakni suku di
Afrika bagian utara yang benar-benar tertinggal dan perilakunya amat tidak beradab kala
itu. Mereka hidup dalam kepercayaan tahayul, irrasional, dan belum tersentuh oleh
kemajuan sebuah peradaban manusia karena hidup terkungkung oleh kebodohan dan
keterasingannya. Hal ini jangan sampai terjadi pada warga Pulau Bawean di pelosok desa
mana pun adanya. Fenomena yang mengemuka akhir-akhir ini adanya peristiwa sock cultural yakni peristiwa kaget budaya yang tengah mendera warga. Betapa tidak, di Pulau jawa permainan billiyard atau bola sodok sudah sampai pada titik jenuh masuk Pulau Bawean jadi permainan baru. Dorkas (baca: merek populer layaknya aqua dan sanyo) atau angkot di Pulau Jawa di pakai mengangkut barang masuk Pulau Bawean jadi angkutan orang. Odong-odong di Pulau Jawa sudah kasep masuk Pulau Bawean jadi angkutan idola. Termasuk budaya “medher” atau “pusing-pusing” (baca: istilah Malaju) sudah menjadi tradisi. Anehnya, yang menjadi penggiat atau aktivis “medher” adalah anak-anak muda yang tinggal jauh dari keramaian. Umumnya mereka belum tersentuh oleh dunia pendidikan secara umun, namun mereka banyak pengalaman di luar negeri atau via antena parabola dalam membawa sebuah perubahan yang dianggapnya paling “modern” dan “gaul” versi mereka yakni tradisi “medher” dengan naik mobil dilengkapi sound system hingar bingar melampaui pertunjukan atau konser kampungan. Ditambah dengan iringan lagu-lagu cadas dan keras milik group Metallica alias disco berat dipandu oleh joki rekaman Difa 99 yang sudah tidak diminati lagi oleh anak-anak muda perkotaan di metropolitan atau megapolitan. Akankah warga Pulau Bawean menjadi pioner kesiangan terus menerus atau sebaliknya merenung akan jati diri sebagai warga Pulau Bawean menjadi insan yang beradab bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi sesama bangsa lain di dunia? Khususnya warga Pulau yang penduduknya seratus peratus alias 100% Islam tiada duanya di dunia akan menemukan kembali jati diri sebagai warga yang memiliki peradaban yang elegan dan menjunjung nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh leluhurnya. Terus dan tetap menjunjung ketinggian akhlak dan budi pekerti Islami yang sejati.
Sungguh patut diacungi jempol korps baju coklat kepolisian sektor Sangkapura dibawa komando Bapak H. Zamzani beserta anggotanya melakukan operasi penyelamatan umat yakni di antaranya operasi petasan atau mercon di bulan suci Ramadhan. Namun, terkadang sudah menjadi semboyan murahan bahwa “maling lebih pintar dari polisinya” perlu ditinjau ulang. Karena penjual petasan berkedok jual kembang api , sebagai kamuflase saja, nyatanya petasan terus cettar dan membahana dan menggelegar di Pulau Bawean tanpa time out sedikit pun setiap malam. Tentu, perlu kerja sama pemilik kapal dan perahu yang menjadi jalur penyelundupan petasan dan sejenisnya masuk Pulau bawean. Sekiranya tidak disalah- gunakan semisal untuk perayaan kemerdekaan sedikit ada toleransi. Ini terkadang mengejutkan orang-orang beriman yang tengah menunaikan ibadah shalat taraweh dan kegiatan lain yang membutuhkan keheningan pun turut tersentak oleh dentuman mercon atau petasan tersebut. Kita sudah mahfum bersama bahwa korps baju coklat atau kepolisian memiliki tanggung jawab sebagai pendidik, pengayom, dan pelindung masyarakat. Wujud nyatanya adalah gerakan full time penuh gairah dan semangat awal puasa.menjelang Lebaran dan tengah Lebaran terus mengadakan kegiatan penertiban yang luar biasa faedahnya untuk menjaga serta mengamankan kesibukan warga sampai-sampai Bapak Komandan bersama personilnya terjun langsung di setiap jengkal persimpangan jalan. (Bergerak di tapal kuda pintu masuk kota Sangkapura). Teranyar sekali korps baju coklat mengoperasi “raja jalanan” dusun yang “medher” dengan mobil bersound system yang memang banyak mengganngu keteriban umum. Bisa dibayangkan sekhusuk apapun orang sembahyang di Masjid Jami’ Sa’adatuddaraen alun-alun Sangkapura bila harus digempur dari luar masjid dengan hidangan lagu-lagi cadas dan disco “Syetan” menyengat telinga. Sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap korps kepolsian sektor Sangkapura, kami sebagai warga Pulau Bawean angkat topi dan sangat berterima kasih. Selama ini polisi terkesan sebagai momok, buktinya anak-anak kecil menangis atau tidak mau tidur dalam buaian bundanya pun disuruh diam akan dibilang sama Pak Polisi. Yang benar saja deh....!
Lebaran, bentukan dari kata dasar “lebar” artinya akhir atau penghabisan. Lebaran ini sebagai momentum yang paling “nyasar” untuk bekkam selama kurang lebih setahun lamanya tidak bersua dengan keluarga, sanak saudara dan handai tolan. Rasa kangen atau “kerrong” yang menggeliat dalam sukma akan terobati di saat pertemuan. Dua karya besar nan bersahaja bersemayam dan selalu hadir di akhir bulan suci ramadhan sebagai santapan rohani tahunan yakni larik puisi yang ditulis oleh sastrawan gaek kelahiran Harianboho Tapanuli Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran” dan lirik dalam lagu “Setiap Habis Ramadhan” oleh Sam Bimbo. Pada puisi berjudul “Malam Lebaran”, Sitor Situmorang hanya menulis seuntai baris sajak yakni Bulan di atas kuburan. Sajak dengan larik yang teramat pendek itu mengandung multi interpretebel dalam pemaknaannya. Dalam kajian ilmu semiotik (baca: ilmu tentang tanda) hampir berbuku-buku membahasnya di antara “pendekar” atau “empu” sastra Indonesia memberikan arti terhadap isi puisi tersebut cukup mendalam. Puisi “Malam Lebaran” dengan satu baris Bulan di atas kuburan sebuah kontradiksi suasana yang cukup “nyelekit” dalam perasaan ini. Betapa anehnya dan nyatanya bila malam satu Syawal bulan sudah terlihat di atas kuburan. Secara harfiah makna dapat ditangkap bulan sudah terlihat besar. Padahal bulan masih terlihat lebih kecil dari sabit (baca : arek-Madura dan Bawean). Kemunculannya di atas kuburan pun membuat ahli sastra bertanya-tanya kenapa harus di kuburan? Hal ini menandkan bahwa malam lebaran bertemunya antara kebahagian yang dilambangkan dengan kata “bulan” yakni bahagia menyambut hari kemenangan untuk kembali terlahir laksana bayi nan suci setelah sebulan berperang melawan hawa nafsu dan sekaligus melambangkan kesedihan yakni disimbolkan dengan kata “kuburan”. Kesedihan yang teramat memedihkan perasaan adalah berlalunya bulan Ramadhan yang penuh keberkahan dan segala kebaikan amal ibadah di dalamnya. Akankah umur kita sampai kepadanya kembali?
Berikutnya adalah mengalunnya syair lagu berjudul “Setiap Habis Ramdhan” yang disenandungkan oleh Sam Bimbo. Larik-larik sebagai baris-baris dalam bait lagunya cukup mengena dengan suasana di penghabisan bulan di turunkannya pertama kali Al Qur’an ke bumi sebagai wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW. Lagu tersebut juga menggambarkan suasana batin kekhusukan dan keheningan kaum beriman di seluruh dunia di saat akhir bulan Ramadhan. Agar tidak kehilangan jejak dalam menanti dan menunggu semacam lagu “wajib” atau “kebangsaan” (baca: meminjam istilah saja) kaum beriman di seluruh dunia sekilas penulis sajikan liriknya sebagai berikut.
Setiap Habis Ramadhan
Setiap habis Ramadhan
Hamba rindu lagi Ramadhan
Saat-saat padat beribadat
Tak terhingga nilai mahalnya
Setiap habis Ramadhan
Hamba cemas kalau tak sampai
Tambah umur hamba di tahun depan
Berilah hamba kesempatan
Reff.
Alangkah nikmat ibadah bulan Ramadhan
Sekeluarga, sekampung, senegara
Kaum muslimin dan muslimat sedunia
Seluruhnya kukuh dipersatukan
Dalam menenmpuh ridha-Nya
(Sam Bimbo)
Tali kekerabaan atau persaudaraan warga Pulau Bawean masih termat pekat dan kuat. Selama apa pun mereka tinggal atau berada di negeeri orang atau dalam perantauan rasanya tidak “syah” jika dalam moment Lebaran tidak pulang kampung. Betapa mahal harga tenaga atau “energi” yang dipakai sekadar untuk melepas kangen dan bersilaturahmi kepada sanak saudara dan handai tolan yang masih setia menjadi penunggu kampung. Pulang dengan beban sungguh menyenangkan. Tak perduli naik turun alat transportasi sambil desakan saling menukar aroma keringat badan yang berlinang.Semata-mata untuk menghapus rasa “kerrong” yang sudah kronis menjangkiti ruang batinnya untuk bersua dengan keluarga.
Tradisi mantenan kerap kali dihelat atau digelar pada saat Lebaran. Hari Lebaran dianggap momen yang paling pas untuk hajatan perjodohan itu. Senyampang keluarga dan kerabat pulang kampung bareng. Sekali mendayung tujuh pulau terlampaui. Sekali pulang berbagai kegiatan dapat diselesaikan dengan sempurna. Lucunya, acara perhelatan mantenan itu hampir dilaksanakan serentak dan simultan. Bahkan penetapan waktu hampir bertabrakan atau “clash” antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya dalam satu desa atau kecamatan. Mereka sama-sama punya “saton” waktu dan perhitungan yang tepat sesuai dengan perhitungan “orang pintar” nya. Berbagai kemajuan terjadi pada perkembangan tradisi dan budaya. Dulu, angkatan atau “bherkat” penganten amat sangat sederhana. Lipatan kertas minyak berupa “lisu” menjadi hidangan para tetamu. Di dalam “lisu” berupa wadah berbentuk persegi enam diklip dengan biting diisi nasi dan segala lauk serta satenya. Akibat perubahan zaman dan pergeseran budaya traadisi “lisu” lenyap dari kebiasaan warga Pulau Bawean bersalin menjadi budaya “Sirnyak” yakni hidangan berupa gula pasir dan minyak goreng. Dari sisi ekonomi yang amat diuntungan adalah pengusaha atau pedagang gula pasir dan minyak goreng. Jika tidak sama dengan kebiasaan orang kebanyakan dikatakan “talampo”. Padahal hakikatnya orang punya hajat niatan utama untuk sedekah atas segala karunia dan nikmat dari Allah SWT. dalam wujud syukurnya sedikit berubah menjadi prestise atau gengsinya. Dari nilai ibadah menjadi nilai sosial semata.
Sebagai penggerak terdepan untuk mempertahankan dan menyempurnakan tradisi warga Pulau Bawean segera meminta fatwa kepada para kyai, ulama’, atau cendekiawan untuk menyikapi adanya pergeseran-pergeseran tradisi yang dianggap berat dan memaksakan bagi yang hidup tidak berkecukpan bila harus mengikti tradisi modern dengan ongkos yang relatif mahal. Hingga keluarga yang kurang mampu dari “keingin-inginannya” hendak menghelat hajatan pernikahan terkadang harus “ngutang” dulu kepada pengusaha minyak dan pasir dengan jaminan menunggu “pamaorna” para segenap undangan sebagai cabisan “pasaornya.”. Berbeda dengan orang-orang berada atau hidup berkecukupan tidaklah memberatkan dan merepotkan jika hanya dengan bherkat “sirnyak” itu. Maka dari itu tidaklah mengherankan bila para warga Pulau bawean lewat “bisik-bisik” tetangga menanyakan terlebih dahulu tentang angkatan atau “bherkat” dari yang punya hajat untuk “balance” dalam pertolongan. Namun, penulis merasa hal ini sebagai suatu keunikan dalam hidup manusia di dunia ini. Tentunya kebiasaan itu butuh penyempurnaan. Selaku penulis yang dhaef (baca: Bukan Dhaef Daun) melainkan insan yang penuh kelemahan beserta kekurangan senyampang suasana hari Raya Idul Fitri 1434 H mengucapkan minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin khusunya kepada pembaca Media Bawean seantero dunia. EmBe, Bisa Akses Seluruh Informasi Terkini (BASIT).