Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » “Pathol”, Terundang

“Pathol”, Terundang

Posted by Media Bawean on Selasa, 03 Desember 2013

Media Bawean, 3 Desember 2013

Fenomena Penyimpangan Kaidah Bahasa 
Oleh : Sugriyanto (dosen STAIHA – Bawean) 

Berawal dari sebuah realita pemakaian kaidah bahasa yang mengalami “penyesatan” morfologi cukup santer mengemuka akhir-akhir ini. Fenomena penyimpangan kaidah bahasa ini menjadi sebuah pembenaran bagi seseorang yang mencuatkan kata bentukan “terundang” dalam situasi resmi, baik oleh seorang penceramah “kampungan” maupun pembawa acara atau MC (Baca: Master of Ceremony) level dusun. Terkadang pemakai bahasa seperti ini hanya hendak “bersenam indah” kata-kata (calestenic of word) yang penuh bombastis namun kosong dari makna, terutama nihil dari ilmu pengetahuan dan tak berisi atau tak berbobot sama sekali. Atau mungkin penutur bahasa tersebut asal meniru dan menjiblak apa yang diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki otorita karena kedudukan atau jabatan yang pernah disandangnya lebih darinya tanpa mendalami kandungan maknanya. Seolah-olah apa yang keluar dari alat tuturnya itu sungguh manis dan sedap didengar padahal banyak hambarnya.

Sebagai illustrasi awal dari sebuah kenyataan dapat kiranya dipaparkan sedikit kisah pengalaman dari sebuah keluarga yang memiliki hajatan “temanten” , (Red: bukan penganten) meminjam istilah yang pernah dilontarkan oleh Kyai sepuh yakni K.H. Hazin Zainuddin Dhafir pada kesempatan berceramah di Dusun Sawahlaut beberapa waktu silam. Beliau lebih memilih kata “temanten” daripada kata “penganten”. Alasan beliau amat rasional dengan kirotobosonya atau ilmu etimologinya, ilmu asal usul kata bahwa kata “temanten” menurut kyai kharismatik tersebut dapat dimaknai teman paten. Pada hajatan keluarga dimaksud terdapat salah satu keluarga atau karib yang tidak diundang karena ketidak- sengajaan atau faktor lupa, maka keluarga yang punya hajat tersebut kerap kali mengatakan dalam bahasa Bawean “tak taonjheng”. Artinya, tidak sengaja tidak mengundang. Bagaimana dengan pemakaian dan makna kata “terundang” yang kerap kali dipakai untuk sapaan dalam sebuah protokoler dan sambutan? Perlu kiranya uraian logis yang merujuk pada sebuah aksioma atau kesepakatan yang umum berlaku dinukilkan dalam ulasan kali ini (red: bukan ini kali).

Sejenak perlu kiranya dipaparkan mengenai hakikat bahasa sebagai pijakan dalam pembahasan agar tidak “tersesat” pula dan lebih objektif . Hakikat bahasa secara umum dapat diartikan sebagai berikut.

 “Bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia berupa simbol atau lambang yang bersifat arbitrer–konvensional yang dipergunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan nyata sehari-hari”. 

 Kearbitreran ini merupakan sebuah kesewenang-wenangan yang tidak harus mutlak, akan tetapi terdapat kesepakatan yang menjadi konsensus bersama. Kesepakatan itu bisa ditempuh dengan mengadakan kongres atau cara lain bersama dalam menyepakatinya. Bukan berbuat “semau gue” karena ada tatanan yang menjadi rel berupa kaidah bahasa dalam bingkai Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dalam ilmu kebahasaan murni atau linguistik selalu dihindari adanya dikotomi benar-salah sebagai usaha memperluas khazanah kebahasaan. Namun, tatkala berhadapan dengan kaidah pemakaian bahasa yang baik dan benar kesewenangan itu perlu dipertimbangkan kembali sebagai wujud kearifan dalam penggunaan aturan.

Perlu disampaikan di sini bahwa usaha menganalisis suatu fenomena kebahasan yang banyak menyedot perhatian publik atau khalayak bukanlah hal yang sia-sia. Bermula dari sebuah gerutuhan dan uneg-uneg yang menguat ke permukaan dari dua tokoh berpengaruh yakni Drs. H. Abdul Latif (Ketua MUI, Ketua PGRI, Ketua Komite SMAN 1 Sasngkapura) dan H. Baidawi Sawahdaya Kotakusuma Sangkapura yang menyoal penggunaan kata bentukan “terundang” dalam sebuah acara atau kesempatan. Beliau berdua dalam ruang dan waktu yang bersamaan mengungkapkan dengan perasaan sedikit kesal dan jengkel terhadap kata bentukan “terundang” yang sering kali dipakai oleh pembawa acara dan penceramah yang kurang paham akan kebahasan dalam kata sapaannya. Beliau berdua pun memaknai kata “terudang” sebagai “orang yang diundang tidak sengaja namun hadir”, artinya semua orang yang hadir itu dianggap “Pathol” oleh pembawa acara atau penceramah yang juga menggunakan kata serupa. Hampir seantero Pulau Bawean khususnya kawasan kecamatan Sangkapura kenal dan tahu siapa sebenarnya “Pathol” itu? “Pathol” merupakan nama tenar sebagai hamba Allah SWT. yang diberi kelebihan atau keistimewaan berupa ketajaman instink dengan kekuatan telepatinya mampu menerawang setiap jengkal tanah di Bawean pada rumah warga yang memiliki hajatan.

Keunikan dari seorang “Pathol” adalah memiliki ketajaman naluri dalam membaca lokasi hajatan itu hampir menyamai kekuatan radar. Tanpa pemberi tahuan dan surat undangan sebelumnya, dia tiba-tiba hadir di tengah-tengah kediaman pemilik hajat. Sebagai usaha antisipasi pemilik hajat sudah paham dengan mempersiapkan hidangan (Red: Bawean-bherkat) cadangan. Dengan rasa percaya diri tanpa perasaan ini-itu, “Pathol” duduk khusuk bersila berdoa bersama tamu undangan yang lain. Uniknya lagi dia setiap kali menghadiri hajatan mengenakan jas stelan warna putih tulang dengan kemeja putih berkerah lebar sebagai dalamannya. Asesoris khasnya berupa songkok nasional warna hitam yang dipakai agak sedikit miring. Terkadang songkoknya miring kanan, terkadang miring kiri bergantung kecepatan dan terpaan angin saat mengayuh sepeda “ontel” sejenis sepeda “angin” yang dipakai petugas pengantar surat kantor pos tempo dulu. Semoga arwah “Pathol” diterima di sisi Allah SWT. sebagai hamba-Nya yang polos, lugu dan bersahaja tanpa neko-neko dalam menjalani hidupnya. Amin...!

Sejenak kembali ke persoalan awal yakni pemakaian kata “terundang” yang dianggap sebagai sebuah penyimpangan kaidah morfologi baik dari sisi bentuk kata dan maknanya. Untuk memberikan pemerian yang jelas perlu kiranya tulisan sederhana ini disandarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Terbitan Balai Pustaka). Di dalam kamus tersebut bentukan kata “terundang” tidak dijumpai. Sebagai kata dasar “undang” merupakan kata kerja atau verba. Kata turunannya yang pertama mengundang berarti memanggil supaya datang; mempersilakan hadir (dalam rapat, perjamuan dan sebagainya). Contoh kalimat : Mereka mengundang kita makan malam. Kata turunan berikutnya adalah undangan sebagai nomina atau kata benda yang memiliki makna atau arti sebagai berikut. 1. Hal (perbuatan; cara) mengundang; panggilan (supaya datang). Contoh kalimat : Undangannya baru dapat saya penuhi sekarang. 2. Orang yang diundang. Contoh kalimat : Undangan sudah memenuhi tempat yang disediakan. 3. Surat untuk mengundang; surat undangan. Contoh kalimat : Undangannya hanya ditulis tangan. Bentuk kata turunan lain selain yang tertera di atas tidak dijumpai bentukan kata “terundang”. Sementara, penulis menganggap bahwa pemunculan kata “terundang” sebagai wujud “bid’ah” kebahasaan atau sekadar usaha “pemurtadan” (meminjam istilah keagamaan) dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sungguh naif bila pemakai bahasa hanya mengartikan kata undangan diartikan hanya sebagai kertas atau surat undangan. Alasan yang terlalu sempit wawasan dalam kebahasaan jika kekawatiran dianggap menyamakan orang dengan kertas. Pasdahal sudah mahfum bersama bahwa hakikat makna kata ada dalam penggunaan kalimat (makna gramatikal).

Sebagai penyempurna argumentasi tentang makna bentukan kata “terundang” terlebih dahulu perhatikan bersama makna imbuhan ter- sebagai awalan atau prefiks. Di dalam buku “Tinjauan Deskripstif Seputar Morfologi” yang ditulis oleh Drs. Sulchan Yasin dikatakan bahwa makna imbuhan ter- adalah sebagai berikut.

1. Jika bentuk dasarnya kata kerja nosi atau makna ter- ialah : 
a. Menyatakan keadaan.
Contoh:
Ruangan itu teratur.
Lehernya terkilir karena tidurnya tidak betul.

b. Menyatakan proses disebutkan oleh kata kerjanya sudah selesai.
Contoh:
Hutangnya telah terbayar.
Nasi sebanyak itu akhirnya termakan juga.

c. Menyatakan pengertian tiba-tiba, tak sengaja, atau berarti dapat.
Contoh :
Mendengar berita kematian itu ia terperana. (suasana tiba-tiba).
Buku adiknya terbawa Ani. (tidak sengaja)
Tulisan sekecil itu terbaca juga akhirnya. (dapat dibaca)

2. Jika bentuk dasarnya kata sifat, nosi atau makna ter- ialah menyatakan superlatif (sangat/paling).
Contoh :
Adiknya terpandai di kelas III. (Sulchan Yasin:, 1987:98-99).

Nah, sekadar menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XV Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada pasal 36 bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Dengaan demikian dalam situasi resmi hendaknya penutur menggunakan bahasa yang baik dan benar, bukan asal-asalan.

Bawean adalah Indonesia, konsekuensi logisnya warganya pun harus menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam situasi resmi (formal) bukan sebagai usaha propaganda pribadi lewat bahasa. Simak bersama untaian kata protokol upacara di tingkat kabupaten, provinsi, sampai ke pusat lewat televisi saat pengibaran bendera merah putih yang diiringi nyanyian lagu Indonesia Raya dalam acara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, setiap tahun protokol selalu berujar “Undangan dan hadirin dimohon berdiri!” bukan “Terundang dan hadirin dimohon berdiri!” Terlepas dari salah dan benar ini merupakan bahan diskusi sebagai usaha bersama “merawat” bahasa sebagai identitas bangsa.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean