Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Nostalgia Sejarah Masa Silam
Paciran-Bawean, Bukan “Akon-Akon”

Nostalgia Sejarah Masa Silam
Paciran-Bawean, Bukan “Akon-Akon”

Posted by Media Bawean on Minggu, 23 Februari 2014

Media Bawean, 23 Februari 2014


Oleh : Sugriyanto (Dosen STAIHA Bawean Gresik) 


Skala di peta sungguh menyakitkan. Terlepas dari kesalahan yang di sengaja atau tidak, akibat penskalaan yang semakin besar nilai perbandingannya antara gambar dan keadaan yang sebenarnya membuat keberadaan Luas wilayah Pulau Bawean tampak senokta (Baca: setitik) bahkan terkadang terabaikan menjadi samar-samar hampir tak terlihat. Mudah-mudahan para mata sejarawan Indonesia tidak membutakan mata atau pura-pura buta terhadap keberadaan Pulau Bawean yang juga punya andil dalam sejarah lokal dan nasional sekalipun terbaca lewat peta buta. 

Seorang dosen Mata Kuliah Dasar Umum Sejarah di IKIP Negeri Surabaya Ketintang kala itu (tahun akademik 1991) –Sang Dosen mantan aktivis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)- menyatakan dengan tegas bahwa kalau mau belajar sejarah Indonesia atau Nasional yang objektif dan sebenarnya belajarlah ke Leiden Belanda. Alasan yang mendasar para penulis sejarah Indonesia atau Nasional banyak ditumpangi kepentingan dengan pola pikir parsial. Benarkah demikian? Tunggu saja fakta sejarah yang akan berbicara.

Beberapa waktu lalu penulis sempat merekam sebuah tayangan dari salah satu stasiun tele visi swasta (TV One) yang mengeksposisikan sejarah makam Sunang Bonang atau Sunan Makdum Ibrahim di tiga tempat, termasuk salah satunya di Pulau Bawean. Lokasi makamnya berada di Dusun Kalompang Gubuk Kecamatan Tambak.(Red: Bukan di Tampo Pudakit Barat) yang lebih dulu termasyhur. Kontroversi itu tetap mengambang karena secara definitif ketiga daerah (Tuban, Lasem, dan Bawean) sama-sama mengakui keberadaan jasadnya Sunan Bonang sesuai versi masing-masing. Mungkin saja ketiganya juga benar atas keajaiban yang dimiliki Sang Sunan. Tidak perlu di-‘anget’-kan (Red: Bukan dipanaskan) atau diherankan hal yang demikian, mengingat seorang prabu saja yakni Prabu Siliwangi bisa menjadi tujuh dalam sinetron Raden Kian Santang yang sudah ditonton bersama tayangannya. Jika itu bohong atau tidak benar kenapa dipertontonkan? Bagaimana pun sebuah karya tidak pernah berangkat dari ke kosongan atau kebohongan belaka.

Penulis “ngebet” untuk duduk bersama dengan para sejarawan lokal, nasional, bahkan internasional untuk mendudukkan sebuah sejarah kebenaran yang semestinya dan seharusnya diungkap tanpa ditunggangi adanya kepentingan dan kepicingan pandangan mata dengan mengabaikan bukti sejarah. Sejak di pendidikan dasar sudah dicekoki dengan pelajaran sejarah bahwa kerajaan tertua di Indonesia adalah Kerajaan Kutai dengan rajanya bernama Mulawarman sebagai anak Aswawarman di Kalimantan Timur. Aswawarman sendiri adalah anak Kudungga. Jadi, Mulawarman itu adalah cucu Kudungga (DR. R. Soekmono: 1990:35). Di antara Kalimatan dengan Jawa terdapat pulau yakni Pulau Bawean yang dijadikan sebagai persinggahan oleh seorang biksu Syiwa Buda Aji Soko dalam usahanya memerangi Dewata Cengkar (Dewa Penentang Maut) di Pulau Jawa dengan memegangkan amanat berupa keris kepada orang kepercayaannya (kawula) bernama Dura. Aji Soko berpesan kepada Dura jangan memberikan keris titipannya kepada siapapun kecuali kepada Aji Soko sendiri. Dalam peperangan melawan Dewata Cengkar di Pulau Jawa teringat dengan keris titipan yang berada di tangan Dura. Aji Soko mengutus seorang kawula bernama Sembada untuk mengambilkan keris tersebut ke Pulau Bawean. Sebagai kawula yang memegang teguh amanat Aji Soko, Dura tidak semudah itu untuk memberikan keris tersebut kepada Sembada walau benar-benar diutus Sang Tuannya untuk mengambilnya. Terjadilah pertarungan sengit antara dua jawara yakni Dura dan Sembada yang sama-sama menjalankan amanat. Keduanya sama-sama menjadi botong (baca: Bawean -bhetang artinya mati). Peristiwa ini diabadikan oleh Aji Soko dalam tulisan Sanskerta atau Tulisan Jawa Kuno sebagai huruf Pallawa (Daerah India Selatan). Perhatikan transkrip yang sudah diadaptasikan ejaannya ke dalam ejaan Bahasa Indonesia yang termaktub sebagai prasasti abadi berikut ini.

Honocoroko
Dotosowolo
Podojoyonyo
Monggobotongo

Terjemah:
Ada dua utusan
Sama-sama bertikai
Sama-sama jaya dan kuat
Sama-sama meninggal (red: Bawean-jadi bhetang)
(KH.Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi; 2008:24)

Kuburan dua kawula kepercayaan Aji Soko membentang panjang di tepi pantai Tanjung Anyar yang dikenal dengan Kuburan Panjang (Baca: Bawean- Jherat Lanjheng) sebagai kuburan Dura dan satunya terletak di pemakaman umun di dusun yang sama sebagai makam Sembada yang juga panjang. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa betapa besar andil peran sejarah yang terjadi di Pulau Bawean terhadap keberadaan sejarah Nusantara khususnya sejarah Nusa-Jawa. Bahkan, prasasti dan peristiwa yang ada dan terjadi di Pulau Bawean kurang mendapat hirauan dari para sejarawan yang terkadang pintar meracik kepustakaan tanpa dibarengi dengn testimoni kebenaran di lapangan dengan segala alasan dan keterbatasan sebagai pemanis dalam mengakhiri kata pengantar dalam setiap tulisannya. Jangan “gitu” ah!

Sungguh disayangkan para peziarah “Wali Songo” di tanah Jawa bahkan seluruh Nusantara bila tidak menziarahi ibunda para wali yakni Putri Condrowulan yang petilasannya berada di tepi pantai Tanjung Putri Desa Kumalasa Sangkapura Bawean Gresik. Keberadaan Putri Condrowulan sebagai “rahim”-nya para wali di tanah Jawa dicerahkan oleh K.H.R As’ad Syamsul Arifin yang ditulis dengan huruf Arab-Pegon, Tarekh Perjuangan Islam Indonesia dalam Quswandhi diterangkan bahwa Maulana Ibrahim Asmoro datang ke Negeri Campa (kamboja) sebagai pedagang ekspor-impor. Ajakan Maulana Ibrahim Asmoro disambut baik oleh Raja Campa, kemudian menikahkan beliau (Maulana Ibrahim Asmoro) dengan putrinya bernama Condrowulan.Akibat serangan pasukan Vietnam kelurga Raja Campa yang sudah memeluk Agama Islam singgah di Pulau Bawean sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa. Hingga Putri Condrowulan meregang nyawa di Pulau Putri. Termasuk paman Putri Condrowulan bernama Rofi’uddin (Jujuk Campa) wafat di Pulau yang sama. Dari perkawinan Maulana Ibrahim Asmoro dengan Putri Condrowulan ini lahirlah Raden Rahmat Sunan Ampel. Kurang lengkap rasanya para peziara bila tidak menziarahi ibunya para wali. Jangan-jangan jadi “peziara durhaka” semua jika hanya menziarahi anak-cucunya saja. Pernah diingatkan oleh Raja dangdut Rhoma Irama dalam titel lagunya berjudul “Keramat” dengan mozaik liriknya sebagai berikut.

Hai manusia
Hormati ibumu
Yang melahirkan
Dan membesarkanmu
Darah dagingmu dari air susunya
Jiwa ragamu dari kasih sayangnya ...(dan seterusnya).

Dalam pandangan Allah azzawajalla, asma Jalal dan asma jamil sama saja. Artinya kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Sebelum Nabi Isa, AS diutus ke dunia semua anak cucu Adam selalu bin bapaknya. Kebiasaan itu menandakan adanya diskriminasi terhadap gender manusia. Salah satu hikma dengan kekuasaan dan “kun fayakun” Allah meluruskan pandangan manusia dengan menciptakan Nabi Isa,AS tanpa Bapak. Silsilah menjadi Isa binti Maryam. Tidak hanya itu saja tatkala Rasulullah Muhammad SAW. ditanya tentang kedudukan anak berbakti kepada kedua orang tua, Beliau menyebut nama ibu sebanyak tiga kali sedang bapak hanya disebut sekali. Betapa besar penghargaan Rasulullah terhadap keberadaan seorang ibu. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah mengatkan bahwa silsilah atau keturunan yang nyambung ke Rasulullah SAW. hanya lewat Siti Fatimah (bukan: Qasim, Abdullah, Ibrahim, Zainab, dan Rukayyah sebagai putra dan putri Rasulullah). Semestinya dan seharusnya para peziara mempertimbangkan ulang sebelum menziarahi para makam “Wali Songo” jika tanpa menziarahi induk semangnya terlebih dahulu.

Setelah mengkaji dan mendalami goresan “tinta emas” sejarah Pulau Bawean yang ditulis oleh KH.Dr. M. Dhiyauddin Kuswandhi dalam buku berjudul Waliyah Zainab Putri Pewaris Syekh Siti Jenar: Sejarah Agama dan Peradaban Agama Islam di Pulau Bawean seluruh tubuh sekonyong-konyong merinding (Bawean: kembeng kolek). Bukan karena kekuatan kata dalam menggugah rasa menghunjam di dada melainkan karena pengungkapan fakta yang tida terbantah. Awam hanya dengar bahwa Syekh Siti Jenar pembawa ajaran sesat dan menyesatkan, termasuk versi “Wali Songo” dibawa pimpinan dewan wali Sunan Giri hingga istilah sekarang mengeluarkan fatwa bahwa Syekh Siti Jenar itu “Kafir indannas dan mukmin indallah”. Fatwa inilah sebagai legitimasi untuk melakukan justifikasi untuk meniadakan eksistensi ajaran yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar dengan eksekusi berjamaah untuk melenyapkan Sang Syekh dari muka bumi. Lebih mengenaskan lagi jenazah Syekh Siti Jenar tergantikan oleh seekor anjing sebagi usaha pencitraan kepada awam bahwa sehina itulah akhir hayat dari Syekh Siti Jenar. Bahkan ada yang mencitrakan bahwa Syekh Siti Jenar itu asal muassalnya berasal dari cacing.Ini benar-benar pembuta-tulian sejarah Islam yang tidak patut dipertontonkan. Stigma sesat yang dicapkan kepada Syekh Siti Jenar sebagai wujud kekalahan status sekadar sebagai sunan (Jawa: sesuhunan artinya yang dijunjung tinggi) dengan Syekh (Arab: yang berarti profesor alim).Wallahu a’lam!

Seiring dengan perjalanan sejarah, peristiwa pahit masa lalu seperti terkubur dalam-dalam dalam sejarah perjalanan hidup Putri Pewaris Syekh Siti Jenar yakni Waliyah Zainab ke Pulau Bawean bersama suami Pangeran Sedo Laut cucu dari Sunan Giri beserta pengikutnya dalam rangka mengembangkan siar Islam. Melalui jalur perkawinan inilah masa “kelabu” menjadi bersinar kembali. Di tengah perjalanan menuju Pulau Majeti (Red: Bawean) bahtera rombongan diterjang badai. Semua tenggelam tidak terselamatkan, kecuali Waliyah Zainab yang terdampar di Pantai Tanjung Putri Desa Kumalasa Kecamatan Sangkapura Kabupaten Gresik dengan “nompak” kelopak bunga mayang kelapa (baca: Sentong-Bawean). Lika-liku Waliyah Zainab di Kumalasa cukup memilukan akibat skandal asmara penolakan atas pinangan syahbandar Kumalasa, Waliyah Zainab dihadiahi sebuah intrik keji dari Sang penguasa pelabuhan bahwa Waliayah Zainab mengidap penyakit kulit dengan tingkat virulensinya akan menjangkiti warga bila terjadi endemi. Tiada pilihan lain keculi mengusirnya dari Desa Kumalasa. Ibarat pepatah, nasib Waliyah zainab sudah jatuh tertimpa tangga. Lewat langkah tertatih-tatih dengan memendam perasaan yang teramat pedih Waliyah Zainab menuju utara Pulau Bawean yakni menetap di Desa Diponggo. Nama asal dan aslinya adalah Desa Dwiponggo yang berarti Gajah karena pernah disinggahi oleh Gajah Mada dan Hayam Wuruk saat meninjau Dusun Candi dalam wilayah yang sama yakni Tambak. Hingga akhir hayatnya Waliyah Siti Zainab wafat di sana bersama peninggalan agungnya berupa Masjid sebagai peninggalan dalam dakwah sucinya.

Rasa penasaran terus mendesak dinding batin penulis hingga terkuak siapa sebenarnya Waliyah Zainab itu? Beliau adalah cucu Syekh Siti Jenar. Nama ayah Waliyah Zainab adalah Pangeran Duwur . Pangeran Duwur itu sendiri anak dari Nur Rahmat (Sunan Sendang) yang makamnya berada di Paciran Lamongan. Suami waliyah Zainab adalah Pangeran Sedo Laut. Sedo Laut sendiri anak dari Zainal Abidin (Sunan Dalem). Sunan Dalem putra dari Sunan Giri (M. Ainul Yakin). Jadi, bila ditarik garis lurus ke atas adanya trayek atau rute pelayaran baru Paciran-Bawean-Gresik merupakan trayek “Cinta Segi Tiga” atau “ Cinta Bersemi Kembali” sebagai penoreh kenangan masa silam (Nostalgia) dengan segala liku-likunya. .Adanya trayek baru itu bukan suatu usaha pemindah-alihan rute karena sesuatu hal apalagi dikatakan rute “akon-akon” atau “ngaku-ngaku” melainkan sebagai pertemuan keluarga yang tidak dapat dihalangi gunung dan lautan sekalipun. Bagaimana pun dari Sabang sampai Meraoke berjajar pulau-pulau dan sambung-menyambung menjadi satu itulah Indonesia.

Hingga saat ini, di Pulau Bawean wilayah Kecamatan Sangkapura Gresik Jawa Timur terdapat dua pelabuhan yang sama-sama beroperasi. Pelabuhan baru yang bersebelahan dengan pelabuhan kakak-tuanya sudah disandari oleh kapal yang berute Paciran-Bawean dan sebaliknya. Penulis yakin seyakin-yakinnya bahwa kelak Pelabuhan ramai itu akan pindah ke utara Pulau Bawean di Kecamatan Tambak apabila obsesi mantan Presiden Soekarno terwujud untuk memindahkan Ibu Kota jakarta ke Palangkaraya Kalimantan akibat kerepotan dan segala permasalahnnya yang tanpa akhir itu di jakarta. Toh, Palangkaraya juga Indonesia, tidaklah mustahil untuk menjadi Ibu Kota sekian tahun mendatang. Terbukti lapangan terbang (Lapter) –yang mungkin akan diberi nama “Lapter Harun” mengikuti sebuah analogi bandara yang namanya kebanyakan diambilkan dari nama bersejarah atau pahlawannya rampung digarap yang sebentar lagi beroperasi-merupakan sejarah baru eksistensi Bawean sebagai pusar atau “bhujel”-nya Indonesia. Dari pusar (Pulau Bawean) inilah embrio Nusantara dapat asupan “makanan” ruhani lewat kebesaran ibu pertiwi yang tiada bersusah hati lagi. Jangan potong tali pusar sembari meminjam istilah yang pernah dicetus oleh Presiden Soekarno “Jasmerah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Scripta manent, verba volant yang ditulis langgeng, yang diucapkan lenyap.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean