Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Turunan Selir, Sang Pemikir

Turunan Selir, Sang Pemikir

Posted by Media Bawean on Sabtu, 19 April 2014

Media Bawean, 19 April 2014

RA Kartini Pendobrak Adat, Pengangkat Derajat

Oleh : Sugriyanto (Dosen STAIHA Bawean Gresik) 


Nama daerah kawedanan Mayong tidak sepopuler kota Rembang dan Jepara dalam peta sejarah lahirnya seorang pejuang emansipasi wanita yakni Ibu Kita Kartini. Padahal, fakta sejarah membuktikan bahwa daerah kawedanan tersebut telah mengukir peristiwa masa lalu yang patut untuk dikenang. Adegan romantisme kehidupan keluarga Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat sebagai ayah kandung Raden Ajeng Kartini banyak terjadi dalam sebuah kompleks Kawedanan Mayong yang berada di antara Kabupaten Jepara dan kabupaten Rembang. Justru, yang mencuat atau yang lebih tenar (Bawean-bukan pecah atau retak) melainkan melejit kepermukaan tatkala bicara sosok Raden Ajeng Kartini sebagai pahlawan nasional pejuang kaum wanita yang paling dominan adalah Kota Rembang atau Kota Jepara yang menjadi bagian wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kotanya Semarang. Sebutan nama Semarang di Bawean lebih populer dengan julukan Camalang dengan panjang ceritanya yang tidak akan muat bila diungkap dalam sebuah tulisan sederhana ini. Bahkan, tidak sedikit pula warga Bawean yang menetap di Semarang dan sebaliknya.

Di daerah Kawedanan Mayong itulah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjalankan tugas sebagai asisten wedono. Selama berdinas di Mayong, kala itu beliau sudah memiliki permaisuri (garwa padmi) yang tinggal di keraton bernama Raden Ajeng Moerjan sebagai anak dari RMT Tjitriwikromo yang berasal dari Madura. Perkawinannya dengan Raden Ajeng Moerjam dikarunia tiga anak di antaranya: 1. Raden Ajeng Soelastri (lahir 9 Januari 1877), 2. Raden Ajeng Roekmini (lahir 4 Juli 1880), dan 3. Raden Ajeng Kartinah (lahir 8 Januari 1883). Sedangkan perkawinannya dengan selir (garwa ampil), yakni seorang gadis dusun atau ndeso berusia 14 tahun anak dari Kyai Modirono dan Nyai Haji Siti Aminah yang bernama Ngasirah dikarunia 8 anak. Dulu, memang belum mengenal program keluarga berenaca dengan semboyannya orang-orang dulu “Banyak anak banyak rezeki”. (baca: Jawa-brojol atau Bawean-pangarnak). Di antara ke delapan anak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan Ngasirah (selir atau istri kedua) adalah 1. RM Sosroningrat, 2. Pangeran Adipati Sosrobusono, 3. Drs. RM Sosrokartono, 4. Raden Ajeng Kartini, 5. Raden Ajeng Kardinah, 6. RM Sosromuljono, 7. Raden Ajeng Sumatri, dan 8. RM Sosrorawito. (Tashadi: 1986 : 4)

Tepat pada hari Senin Legi tanggal 21 April 1879 di kawedanan Mayong Kabupaten Jepara Semarang Jawa Tengah lahirlah seorang bayi sehat dan tubuh montok (gemuk) dari seorang ibu Ngasirah yakni Raden Ajeng Kartini. Tembuni atau ari-ari (Bawean: Tamone) sebagai saudara tua dari jabang bayi Raden Ajeng Kartini dicuci sebersih-bersihnya. Prosesi penanaman tembuni itu dilakukan dengan hidmat dan bersahaja sesuai dengan adat Jawa yang berlaku kala itu. Sebut saja namanya “mbah” Donoharjo harus berpakaian rapi saat membopong tembuni yang sudah siap ditanam di belakang kawedanan. Maksud dari pakaian yang rapi dan bersih agar kelak anak menjadi orang pangkat (baca: bukan gila pangkat). Beberapa prasarat yang disertakan dalam wadah tembuni di antarannya kertas bertuliskan bahasa Jawa dan Latin yang indah dengan maksud kelak saudaranya bisa menjadi orang terpelajar. Selain itu, dalam tembuni disertakan jarum dan pecahan kaca dengan harapan kelak sebagai penolak bahaya dan penjaga keselamatan. Pada malam hari diterangi dengan lampu templek berbahan bakar minyak tanah, tidak menggunakan PSP (Pancaran Sinar Petromak) karena dianggap terlalu gemerlap. Harapannya, penerangan itu dimaksudkan untuk kecerahan wajah anak tersebut. Beberapa hari kemudian, setelah tali pusar dinyatakan lepas (Bawean : coplak) diadakan acara kenduri atau selamatan pemberian nama. Upacara yang demikian menurut adat Jawa disebut “upacara pupak pusar” (upacara putusnya tali pusat atau lepasnya plasenta). Maka barulah disandangkan nama secara resmi yakni nama “Kartini”. Tidaklah mengherankan bila bayi mulai berumur oleh warga Bawean didendangkan lagu wajib yakni “pupak-pupak tatta, tattanya bau buntut, tak andik apa-apa semmak ghunong Malokok...bara..bara...biri...biri...ciluk ba...!” sambil menghibur bayi yang mulai responsif. Menu makanan yang didulangkan kepada bayi Kartini pun hanya berupa nasi putih dicampur dengan rebusan pisang hijau yang dilumat halus ditambah sedikit air menjadi kebiasaannya. Dengan cara di-lotek (Jawa) atau di-tapet (Bawean) mulut mungil Kartini setiap kali makan penuh belepotan adonan primadonanya.

Menginjak usia anak-anak, mulai nampak kelincahan dan kegesitan seorang Kartini. Anak kecil yang cerdas, “nakal”, serta kreatif dengan banyak pola dan tingkah. Kelincahan Kartini kecil yang hiper aktif sampai-sampai oleh keluarganya diberi nama panggilan kecilnya “Trinil” artinya nama burung kecil yang lincah melompat dari ranting ke ranting tak mengenal lelah. Istilah dalam Bawean’s Ensiklopedia “manok jhurnenet.” Nama kecil lain yang pernah disandangkan kepada Kartini adalah “kerikil” yakni batu kecil yang mudah bergerak. Pernah sesekali Kartini beserta dua adiknya Kardinah dan Kartinah di sekap dalam kamar serta dikunci dari luar kamar oleh mbah Donohardjo atas perbuatannya yang keterlaluan “nakal”-nya, hingga tidak terdengar suara sedikit pun dari balik kamar. Ternyata, Kartini dan kedua adiknya melompat keluar kamar lewat jendela kamar, langsung ketiganya memanjat pohon jambu di pekarangan keraton sambil menjatuhkan sepah-sepah jambu bekas kunyahannya. Lebih menggelikan lagi perilaku bocah “Trinil” memasangi secara diam-diam merica atau lada di tumpukan sirih dan tembakau yang siap dihaluskan atau ditumbuk oleh mbah Donohardjo. Akibatnya, saat mbah Donohardjo hendak mengunyah “susurnya’ merasa kepedasan yang dahsyat sambil berseruh wah..wahan..!” Akhirnya, kejadian “nakal” seorang anak tersebut dilaporkan kepada ayahnya Raden Mas Adipati Sosroningrat. Baru kemudian Kartini kecil kapok dan jerah dengan tidak mau mengerjai mbah Donohardjo kembali.

Menginjak masa remaja, Kartini oleh orang tuanya disekolahkan di Sekolah Rendah Kelas Dua Belanda di Jepara. Nama sekolahnya adalah 2e klasse Holndsche school dengan bahasa pengantarnya adalah Bahasa Belanda. Sekolah ini hanya diperuntukkan anak keturunan bangsawan atau ningrat serta anak pegawai keraton lainnya. Memang ini merupakan politik Belanda agar warga peribumi tetap hidup dalam kebodohan dan kesengsaraan di bawah sebuah penindasan. Bagi Kartini bukanlah menjadi suatu masalah bersekolah hanya dua tahun. Atas ketekunan, kerajinan, dan kecerdasan seorang Kartini hampir sempurna penguasaan bahasa Belanda dan pengetahuan umunya. Tatkala mencapai usia 12 tahun Kartini harus berhenti bersekolah karena kungkungan adat keraton yang membelenggunya. Kartini berada di dua sisi yang sama-sama baik antara hidup sebagai priyai atau bangsawan dengan protokoler adat yang sangat ketat. Di samping itu, Kartini dengan “nafsu” juangnya untuk dapat keluar tanpa meninggalkan kesan sebagai perusak adat yang memang baik dari sisi budi pekerti dan tatakrama kehidupan keraton. Dalam masa pingitan itu semangat Kartini untuk meraih cita-cita dalam gerakan persamaan hak dan derajat kaumnya dengan kaum laki-laki terus menggelora. Usaha untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan atau sederajat SMP di Semarang menjadi kandas di tengah jalan karena Kartini sudah dalam pinangan orang yang memang belum pernah dikenal sebelumnya yakni Bupati Rembang bernama Raden Adipati Djojohadiningrat dengan rencana pernikannya pada tanggal 8 November 1903. Sejak kecil dan masa remaja Kartini memiliki tiga cita-cita yakni ingin menjadi dokter, bidan, dan guru. Pilihan ketiga inilah yang dilakoninya dengan semangat yang tidak pernah padam hingga akhir hayatnya walau hanya lulus Sekolah Rendah Sekolah Belanda.

Sebagai anggota keluarga keraton atau bangsawan berdarah ningrat atau borju, Kartini sama sekali tidak terlalu berperilaku seperti para priyai atau bangsawan yang hidup dalam feodalisme. Ia tetap melakukan hubungan dengan pihak mana pun termasuk dengan pihak Belanda melalui kegiatan surat-menyurat. Dandanan keseharian Kartini penuh dengan kesederhanaan. Bukan seperti yang dibayangkan oleh orang kebanyakan yang belum pernah membaca surat-surat Kartini secara menyeluruh. Ada beberapa kegiatan Kartini dalam masa pingitan di antaranya orang tuanya mendatangkan guru privat masak-memasak, jahit-menjahit, membordir, serta menyulam. Kebaya, sanggul dan “sewek’ yang dikenakan Kartini bukan bahan glamor seperti sosok yang ditiru oleh para Kartini masa kini. Bahkan, sore hari sepulang sekolah Kartini muda tetap mengaji Al-Quran dan ilmu agama Islam lainnya sebagai bekal untuk kehidupan kelak yang abadi menurut pandangan orang tuanya. Bedak atau make-up yang dikenakan Kartini tidak sengaplok atau tidak begitu tebal seperti dandanan dan riasan Kartini saat ini. Rupanya, ibu-ibu guru atau sekolah salah alamat dan salah maksud karena yang ditonjolkan saat peringatan hari Kartini hanya “padakno rupa” dengan wajah Kartini. Siapa wajahnya yang mirip, wajah bulat oval, sanggul dan sasak sebagai kopi paste itu pasti menang. Lomba seperti ini akan terjebak pada peniruan kulit luarnya saja. Padahal hakikat Kartini adalah jiwa keguruan dan perjuangan monumentalisnya yakni emansipasi dengan segala kompleksitasnya. Pilihlah salah satu keterampilan dari Raden Ajeng Kartini untuk dijadikan memontum lomba agar lebih mewariskan sebuah keteladanan dari apa yang telah diperbuat oleh Raden Ajeng Kartini. Semisal baca-tulis atau lomba-lomba yang sifatnya mengarah ke isi di balik sanggul dan kebayanya.

Perlu kiranya sedikit dilontarkan pengertian dari kata “emansipasi”. Kata “emansipasi” diambikan dari Bahasa Inggris dari kata emancipation yang artinya kemerdekaan atau kelepasan, yang berasal dari kata kerja to emancipate yang berarti memerdekakan, melepaskan. Kemudian, melalui proses penyerapan secara adaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi emansipasi. Sebenarnya di zaman kerajaan Romawi, istilah “emansipasi” ini digunakan untuk istilah hukum yang memiliki makna membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua. Hal ini dapat dimengerti karena pada zaman Romawi itu, status anak adalah milik negara. Untuk melengkapi bahan bacaan sebagai penyempurna dalam pemahaman kata “emansipasi” dapat dibaca dalam sebuah novel fenomenal saat itu yakni karya STA (Sutan Takdir Alisyahbana) yang berjudul Layar Terkembang. Selengkapnya kehidupan feodalisme sebagai belenggu tradisi atau adat Jawa khususnya kehidupan kaum ningrat atau bangsawan dapat dibaca pada novel “Para Priyai” goresan pena Umar Kayam. Lengkap sudah antara cita-cita emansipasi wanita dengan kepekatan atau kekentalan ikatan adat yang memunculkan gerakan persamaan derajat. Di sinilah kilas balik sejarah perjuangan Kartini dalam usaha mendobrak adat untuk mengangkat derajat kaumnya sebagai cita-cita mulia tanpa harus ada yang menjadi “korban”.

Kebiasaan Kartini sejak kecil hingga remaja sangat hobi atau maniak dengan kegiatan membaca. Bacaan yang dibacanya berbagai macam. Mulai koran, majalah, buku serta referensi lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan wawasan, baik yang berbahasa Melayu, Belanda, dan Jawa menjadi santapannya. Tidaklah mengherankan bila Kartini –yang dalam masa pingitan- tetap dan terus mengalir usaha memperjuangkan hak-hak kaumnya. Hampir setiap problematika yang terinternalisaasi dalam benaknya diungkapkan dalam bentuk surat menyurat. Baik yang ditujukan kepada teman kaum sepribumi atau kepada pihak Belanda sebagai penjajah kala itu. JH Abendanon dari Belanda menjadi jujukan atau tujuan surat-surat curhat RA Kartini. Oleh Abendanon surat-surat Kartini dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul Door duisternis tot Licht yang diterjemahkan lengkap ke dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” Buku ini sangat melegenda dalam koleksi pustaka nasional. Bahkan buku yang asli masih tersimpan rapi di perputkaan negeri kincir angin tersebut. Alangkah berfaedahnya judul buku tersebut menyelinap dalam semboyan PLN yakni Habis Gelap Terbitlah Terang karena bagaimana pun pihak PLN memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam kemajuan bangsa ini. Terutama, dalam penerangan di kala anak-anak membaca dalam kegelapan untuk menggapai cita-cita. Terima kasih Ibu Kartini dan terima kasih PLN...!

Sebagai sosok “pendekar” kaumnya yang tidak mengenal lelah Kartini terus berjuang dalam dunia pendidikan untuk menjadikan kaum perempuan agar bisa bersekolah dalam mengisi cita-cita mulia. Peringatan hari Kartini tidak hanya semarak atau menggebyar di lingkungan pendidikan melainkan juga dalam instansi lainnya termasuk instansi partikelir turut merayakannya. Yang membuat penulis merasa terenyuh dan sempat meneteskan air mata dengan deraian yang menyumbar deras dari pelupuk mata saat membaca kisah Raden Ajeng Kartini berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan anak pertamanya dari perkawinannya dengan Bupati Rembang jawa Tengah Raden Mas Joyohadiningrat harus meregang nyawa dengan diagnosa menderita penyakit ginjal. Akibat kerja keras dan kecapaian dalam mengurus kaumnya hingga ginjal Sang “Pendekar” perempuan tidak pernah menjadi perhitungannya. Tepat pada tanggal 17 September 1904 dalam usia muda yakni 25 tahun Ibu Kita Kartini berpulang ke Rahmatullah meninggalkan seorang bayi bernama Susalit dan seorang suami yang penuh pengertian dan mendukung perjuangannya. Sanggul, sasak, kebaya, dan sewek serta dandanan wajah sederhana tetap terukir wahai putri sejati yang berasal dari kota ukir-ukiran Jepara. Bos tunggal Media Bawean Bapak Basit beserta awak media lainnya serta kru kerabat kerja mengucapkan Selamat Hari Kartini yang ke 135. Semoga berkat perjuangan beliau bangsa ini terus mendudukkan wanita sebagai mitra setia dalam merah cita-cita bangsa. Mari bernyanyi bersama dalam alunan patriotisme. Ambil suara...!

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Reff.
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean