Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » In Memoriam Datuk Abdul Aziz Sattar
Suatu Malam, Di Teater Syah Alam

In Memoriam Datuk Abdul Aziz Sattar
Suatu Malam, Di Teater Syah Alam

Posted by Media Bawean on Kamis, 08 Mei 2014

Media Bawean, 8 Mei 2014

Oleh : Baharuddin*)


Medio Juli 1993, setelah pementasan drama La Napak Ka Jhuduna di Kallang Teater Singapore, keesokan harinya saya meluncur ke Kuala Lumpur memenuhi undangan Pak Aziz – begitu saya menyapa pemilik nama Abdul Aziz Bin Sattar itu – dengan naik bus. Seusai shalat Magrib, dia menjemput saya di kawasan Kampung Pandan dengan mobil yang dikendarainya sendiri. Walaupun usianya nyaris menyentuh kepala tujuh, pak Aziz masih piawai menyetir mobil ditengah lalu lintas kota Kuala Lumpur yang padat. Maklumlah. Di usia 20 tahun dulu dia pernah menjadi pengemudi truk ketika masih di Singapore. 

Malam itu, pak Aziz mengajak saya menghadiri suatu acara di Teater Syah Alam : pemutaran perdana film Simfoni Duniaku. Di film itu Pak Aziz bertindak sebagai pelakon.

Tiba di gedung itu sejumlah seniman Malaysia menyambutnya. Mohammad Nasir, seniman terkenal Malaysia, juga ada disana. Kemudian datang Menteri Besar Syah Alam, Mohammad Thayeb. Pak Aziz duduk di barisan kursi paling depan bersama menteri besar itu. Malam itu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa Datuk Abdul Aziz Bin Sattar adalah seniman besar sebagai : pelawak, pemain film, sutradara dan penulis skenerio. 

Dalam sepanjang karirnya di dunia Film pak Aziz telah menyutradarai 15 film sejak dari Keluarga Comat (1975) sampai Gelora Cinta (2011). Dia membintangi 43 film, sejak dari Putus Harapan (1953) sampai Kecoh Betul. Dia juga pernah terjun di dunia Sinetron Kelas Malam (2000) dan drama Manjalara (2007). Atas kerja kerasnya itu, putera desa Pekalongan Bawean itu, menyabet berbagai macam penghargaan (Baca Media Bawean 6 Mei 2014). Almarhum juga pernah aktif sebagai Bendahara Persatuan SENIMAN, Ketua Komite GAFIM dan Ketua Komite Penerangan Festival Film Malaysia ke-13.

Di malam itu saya benar-benar tersanjung. Tersanjung karena dapat hadir dalam acara yang dipenuhi oleh aktor dan aktris Malaysia. Tersanjung – ini yang lebih penting – karena saya diundang langsung, bahkan dijemput langsung oleh beliau, yang sebelumnya saya hanya mengenal nama walau saya jauh sebelumnya sudah pernah nonton filmnya yang berjudul Bujang Lapuk. Orang Pekalongan kecamatan Tambak Bawean itu memang amat populer. Semua orang Bawean baik di dalam maupun di luar negeri pasti mengenalnya. Setidaknya kenal nama. Setiap berhenti disuatu tempat, seperti yang diceritakan oleh Pak Opek Komalasa pada saya, yang pernah satu mobil dengannya dalam perjalanan Kuala Lumpur – Johor Bahru, setiap berhenti di restoran atau mall, orang-orang yang melihatnya rebutan untuk berjabat tangan atau minta foto bersama.

Beberapa tahun kemudian, ketika beliau dipercaya menjabat Presiden Persatuan Bawean Malaysia (PBM), komunikasi saya dengannya semakin intens. Tapi hanya sebatas silaturrahim lewat tilpun dan SMS. Setiap lebaran, dia sudah pasti mengirim ucapan selamat hari raya. Saat-saat sakit – karena usianya yang sudah sepuh – saya selalu menanyakan keadaannya lewat orang-orang terdekatnya seperti Pak Rahman, sekretaris PBM.

Sayang, warga Bawean tidak maksimal memanfaatkan kebesaran nama Aziz Sattar. PBM lambat berkembang karena tidak mendapat banyak dukungan. Disuatu waktu, pak Aziz pernah mengeluh terhadap sulitnya menyatukan orang Bawean. Dia pernah berkata begini : “Orang keturunan Bawean di Malaysia, tidak usah banyak bicara. Diam saja. Itu sudah bagus” lalu dia mencontohkan warga Malaysia keturunan Sigh India. “Jumlahnya hanya sekitar tujuh ribu saja. Ketika mereka hadir dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh komunitas Sigh di Kuala Lumpur menjelang Pilihan Raya dengan mengundang Perdana Menteri Malaysia, Sang PM memberi bantuan RM 70 ribu kepada komunitas itu. Coba , kalau orang Bawean mau bersatu, adakan pertemuan akbar, undang Perdana Menteri, alangkah besarnya dana dari pemerintah yang kita peroleh”.

Pak Aziz Benar. Konon kabarnya, jumlah warga Bawean di Malaysia tidak kurang dari 300 ribu jiwa. Se kelas Datuk Aziz Sattar saja tidak mendapatkan apresiasi dari warga Bawean, apalagi yang lain?. Lalu, sejumlah orang membuat kesimpulan : bahwa orang Bawean tidak mungkin bersatu. Kenapa?. Perhatikan pendapat Zulfan Hasyim, Ketua DPRD kabupaten Gresik yang asli Bawean dalam sambutannya pada Pembukaan Konperensi Nahdlatul Ulama tiga tahun yang lalu di Pesantren Kareteng desa Bululanjang, bahwa : “Orang Bawean pintar-pintar semua. Bahkan lebih pintar dari kapasitas dirinya”.

Sejak setahun yang lalu saya sudah ada rencana untuk membangun Teater Mini di komplek Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al Huda. Lahannya sudah siap, walau tidak luas (makanya akan diberi nama teater mini). Gedung itu akan saya beri nama Teater Mini Aziz Sattar untuk mengenang jasa almarhum dalam mengharumkan nama Bawean. Gagasan itu saya sampaikan kepada sejumlah teman termasuk pak Rahman – orang dekat almarhum – pada saat berkunjung ke rumah saya di dusun Timurrujing desa Sungairujing Bawean sekitar tujuh bulan yang lalu.

Orang yang saya kagumi itu telah tiada. Allah telah menjemputnya pada pukul 2 malam tanggal 6 Mei 2014 di usia 89 tahun. Dan gagasan untuk membangun Teater Mini itu semakin kencang di hati saya, agar kelak ada cerita untuk anak cucu kita. Selamat jalan Datuk, semoga damai disisi Nya.

*} Penulis adalah Penasehat Teater Astaga Bawean, Ketua Yayasan Pendidikan dan Sosial Darul Fikri, Wakil Ketua Umum Karukunan Toghellen Bawean Ketua STAI Hasan Jufri Bawean

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean