Media Bawean, 26 Desember 2014
MATAHARI hampir tergelincir menghilang di ufuk barat saat sekelompok pemuda bercengkerama di ujung bandar udara Pulau Bawean yang masih setengah jadi, akhir Oktober silam. Sorot sinarnya yang menjingga mencipta siluet perahu nelayan yang menjauh dari daratan. Begitu menenteramkan jiwa.
Keindahan Pulau Bawean di kala senja hanya sebagian kecil dari potensi wisata di pulau seluas 194,1 kilometer persegi tersebut. Masih banyak lagi potensi terpendam di pulau yang terletak di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ini. Kemolekannya belum banyak diketahui publik karena terkendala infrastruktur, minimnya promosi, dan keterbatasan sarana transportasi.
Pulau Bawean dikelilingi oleh sepuluh pulau kecil, antara lain Gili Timur, Karangbila, Noko, Gili, Selayar, Nusa, Manukan, Cina, dan Batukebo. Keindahan di pulau- pulau di sekitar itulah yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan.
Sebut saja pesona bawah laut di sekitar Pulau Cina yang masih kaya akan biota laut, serta hamparan pasir putih nan rupawan di Pulau Noko yang patut dikunjungi. Di Pulau Bawean sendiri terdapat tempat penangkaran Rusa Bawean (Axis kuhli) yang merupakan satwa endemik pulau ini, Danau Kastoba, sumber air panas Kebun Daya, dan air terjun Laccar.
Dalam Ekspedisi Pulau Bawean yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhir Oktober lalu, berbagai potensi wisata tersebut coba diperkenalkan. Bahkan, panitia penyelenggara juga mengadakan pengibaran bendera Merah Putih berukuran 12 meter x 8 meter dan kain batik di Pantai Labuhan Bawean, untuk menunjukkan potensi bawah laut di kawasan tersebut yang selama ini belum dikenal publik.
Seusai pengibaran bendera, juga dilakukan penyelaman di sisi selatan Pulau Cina. Di titik penyelaman ini cukup beragam biota laut yang dapat dilihat, seperti table coral (karang berbentuk meja), ikan karang, belut laut, murai, bintang laut, dan kerang kima. Namun, sebagian terumbu karang mulai rusak akibat penggunaan potasium oleh nelayan.
”Kalau tempat ini dikelola dengan baik, tidak perlu jauh-jauh ke Bali atau Karimun Jawa kalau ingin menyelam,” ujar Sumarjono, salah seorang penyelam yang turut dilibatkan dalam ekspedisi Pulau Bawean.
Namun sayang, wisatawan yang datang ke Pulau Bawean untuk menyelam masih dapat dihitung dengan jari. Belum adanya sarana dan prasarana pendukung, seperti tempat penyewaan alat selam dan pusat informasi bagi wisatawan, membuat sejumlah turis enggan datang secara khusus untuk menyelam.
Erfan (30), nelayan di Desa Teluk Jati Dawang, Pulau Bawean, mengungkapkan, wisatawan yang datang ke Pulau Bawean untuk menyelam atau sekadar snorkeling sangat jarang. Erfan berharap, Bawean dapat dipromosikan sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Timur. ”Jadi, nelayan juga ada tambahan penghasilan dari menyewakan perahu kepada turis yang mau menyelam atau sekadar jalan-jalan ke pulau lain,” katanya.
Wakil Bupati Gresik, Mohammad Qosim mengatakan, kendala utama untuk mengembangkan pariwisata Bawean adalah sarana transportasi. Baik warga maupun wisatawan hanya mengandalkan transportasi laut yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. ”Saat musim angin besar pada Januari atau Agustus, transportasi laut jadi seret,” kata Qosim.
Selama ini, untuk menuju Pulau Bawean yang berjarak sekitar 128 kilometer dari Pelabuhan Gresik, pengunjung dapat menggunakan kapal penyeberangan KMP Gili Iyang dengan waktu tempuh delapan jam, serta kapal cepat KM Express Bahari dan KM Natuna Express, masing-masing dengan waktu tempuh empat jam. Transportasi laut ini beroperasi setiap hari secara bergantian.
Faisyal Akli (35), warga Pulau Bawean, berharap agar bandara dapat segera dioperasikan sehingga baik warga maupun angkutan barang tidak hanya dilakukan lewat laut. Alasannya, jika terjadi cuaca buruk dan gelombang tinggi, harga kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak bisa naik dua hingga tiga kali lipat.
Sayangnya, pengoperasian bandara Bawean dipastikan molor dari target semula, yakni akhir tahun 2014. Untuk itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo meminta Kementerian Perhubungan untuk mempercepat proyek pembangunan bandara tersebut. ”Soalnya ini proyek pemerintah pusat sehingga kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali minta agar segera dioperasikan,” katanya.
Di samping obyek wisata alam, Pulau Bawean juga memiliki sejumlah desa penghasil produk kerajinan tangan dan makanan khas yang dapat menjadi buah tangan ketika berkunjung ke pulau tersebut. Salah satu makanan yang diburu adalah kerupuk posot-posot dan martabak khas Melayu yang dikenal dengan nama mutabeb.
Hamsiyah (50), pemilik usaha kerupuk posot-posot, dapat menjual rata-rata 50 bungkus kerupuk per hari. Kerupuk seharga Rp 15.000 per bungkus yang terbuat dari ikan tongkol dan tenggiri itu dipasarkan tidak hanya di Surabaya dan Gresik, tetapi juga dibawa hingga ke Malaysia dan Singapura untuk oleh-oleh.
Hal itu tidak terlepas dari banyaknya warga Pulau Bawean yang merantau untuk bekerja ke luar negeri. ”Mereka yang lagi pulang kampung beli banyak untuk dibawa ke tempat mereka kerja, di Malaysia atau Singapura. Namun, kalau kapal tidak datang karena gelombang tinggi, ya macet dagangan,” ujar Hamsiyah.
Daerah asal TKI
Selama ini, Pulau Bawean, Gresik memang lebih dikenal sebagai daerah pengirim tenaga kerja Indonesia (TKI) dibandingkan sebagai daerah tujuan wisata. Sebagian besar TKI bekerja di Malaysia, Singapura, Australia, dan Taiwan.
Salah satunya adalah Abdul Wahid Jufri (54), warga Desa Gunung Teguh, Kecamatan Sangkapura, Gresik, yang kini tinggal di Perth, Australia. Abdul bekerja di Australia sejak tahun 1987 dan saat ini mengantongi izin tinggal tetap (permanent residence). Berawal dari bekerja sebagai buruh bangunan, Abdul kemudian pelayan restoran hingga menjadi pegawai di sebuah perusahaan manufaktur dengan penghasilan Rp 230.000 per jam.
Tidak hanya Abdul, sekitar 70 persen warga Bawean bekerja merantau sebagai TKI ke luar negeri. Hal ini tecermin dari tingginya transaksi uang lintas negara ke pulau ini. ”Saya kirim Rp 10 juta untuk orangtua di Pulau Bawean setiap tiga bulan sekali,” ujar Abdul, yang saat ditemui tengah pulang kampung menengok keluarganya.
Ribut Sujarno, Kepala Seksi Umum dan Sumber Daya Manusia Bank Jatim Cabang Bawean, mengungkapkan, nilai remitansi uang TKI setiap bulannya berkisar dari Rp 300 juta hingga Rp 500 juta. Saat ini, terdapat sekitar 27.200 nasabah Bank Jatim Bawean yang tercatat aktif melakukan transaksi tersebut. Sekitar 80 persen dari mereka terdapat di Malaysia dan Singapura.
”Rata-rata uang yang dikirim Rp 6 juta-Rp 20 juta dalam satu hari,” ujar Ribut.
Setiap tahun, puncak pengiriman uang biasanya terjadi menjelang hari raya Idul Fitri atau saat bulan Ramadhan. Pada tahun 2014, misalnya, puncak pengiriman uang terjadi pada bulan Juli, yakni sebesar Rp 600 juta.
Banyaknya warga Pulau Bawean yang bekerja di Malaysia dan Singapura membuat bahasa lokal yang mereka gunakan sehari-hari pun terpengaruh. Warga Pulau Bawean menggunakan bahasa yang kosakatanya bercampur antara bahasa Madura, Melayu, dan Jawa. Makanan yang dikonsumsi pun juga diadopsi dari Malaysia, seperti mutabeb.
Dalam buku Bawean dan Islam, Jacob Vredenbergt menulis, kebudayaan Melayu sangat berpengaruh terhadap kebudayaan asli di Bawean, yakni Madura, dan berkembang menjadi bentuk yang khas tetapi tetap memperlihatkan latar belakang kebudayaan Madura. Orang Madura bermigrasi ke Pulau Bawean sejak sebelum masa kemerdekaan Indonesia dan kebanyakan menjadi petani. Hal ini berbeda dengan penduduk asli Bawean yang lebih gemar merantau ke luar negeri.
Pulau Bawean memang memiliki beragam keunikan, mulai dari panorama alamnya yang menawan, produk industri rumah tangga yang dapat dijadikan buah tangan, hingga ciri budaya yang menarik. Kini, Bawean menunggu untuk dipoles dan dikelola dengan optimal agar dapat menarik kunjungan wisatawan.
Sumber : Kompas