Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Malu Untuk Memulai..!? Refleksi Hardiknas 2016

Malu Untuk Memulai..!? Refleksi Hardiknas 2016

Posted by Media Bawean on Selasa, 03 Mei 2016


Oleh : Sugriyanto (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura) 

Betapa tercengangnya hati ini setelah membaca sebuah buku antalogi atau bunga rampai dari beberapa penulis Keluarga Unesa (Ganesa) berjudul ”Boom Literasi” Menjawab Tragedi Nol Buku. Buku tersebut dieditori oleh tiga serangkai dalam jalinan para dedengkot penulis berbakat, Eko Prasetyo, Much. Khoiri, dan Suhartoko. Khusus Much. Khoiri dosen Jurusan Bahasa Inggris di IKIP Surabaya pernah menjadi tetangga kos saya jika tidak salah di Jalan Karangrejo Sawah tempo dulu. Beliau cukup humanis betul dalam pergaulan hidupnya. Awalnya, saya mengacuhkan buku tersebut karena melihat ketebalan hingga mencapai 299 halaman. Bisa-bisa saya kelabakan bahkan bisa mati suri untuk mengabisi baca dalam sekejap waktu. Mana mungkin dapat saya baca habis dengan ketebalan yang melebihi buku-buk bacaan yang sering saya target setiap buku harus tuntas dua hari untuk melahapnya. Saya seperti telah menyia-nyiakan pemberian seorang karib sefakultas namun beda jurusan. Jurusan matkulnya menjadi gerbang masuk menuju JPBSI (Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dibagian terutara fakultas Bahasa dan Seni IKIP kala itu.

Karib saya, Agus Setiawan menyodorkan buku tersebut di sela-sela usai menunaikan salat jamaah duhur di teras masjid komplek SMA Negeri 1 Creme Gresik menjelang detik-detik penutupan acara diklat implementasi K-13 tahun 2014. Anehnya, setelah masuk ruangan menjelang sesi penutupan pula salah seorang rekan sekelas diklat sekonyong-konyong pula menyodorkan secara tak disangka-sangka lewat sisipan senyap dari arah berhadapan sebuah buku berjudul Kumpulan Puisi Buwun (nama asal mula sebenarnya Bawean) dipersembahkan oleh rekan saya sekelas dalam satu diklat yakni Mardiluhung. Keduanya menyedekahkan sebagai amal jariah semata. Semoga keduanya masuk surga bersama orang-orang yang pernah mengajari baca tulis tentang seluruh kalam ilahi. Keduanya telah menanamkan benih kebaikan lewat sebuah buku yang penuh makna. Bila seseorang sayang dengan orang orang mesti mereka ungkapkan dengan setangkai bunga penuh simbolis. Beda dengan kedua sahabat saya untuk mengungkapkan rasa persahabatan justru dengan sebuah buku. Desain kover buku ”Boom Literasi” sedikit menggigit keinginan untuk membaca. Illustrasi berupa gambar dua boom molotof melambangkan dua fonem {O} berpicu sumbuh sepertinya akan menjadi boom waktu bagi anak bangsa akan luluh lantaknya peradabannya bila melalaikan budaya baca. Atau sebaliknya juga akan menjadi boom waktu penopang sekaligus pemicu kemajuan peradaban bangsa ini dari keterpurukan tingkat perkembangan baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan bila literasi menjadi kulturnya. Hanya ketebalan buku tersebut yang menjadi musabab penterlantaran panjang bersemayam di lemari buku saya.

Sejenak saya tercenung dalam ruang sesi diklat atas rezeki dari dua arah yang datang secara simultan dalam hitungan menit. Satu sahabat lama di kampus dalam satu Fakultas beda jurusan bernama Agus Setiawan, seorang penulis dan editor beberapa terbitan, sedang satunya sahabat baru ketemu dalam satu ruang kelas diklat K-13 tahun 2014 bernama Mardiluhung, seorang sastrawan gaek, penulis di ruang putih Jawa Pos, editor beberapa buku, bahkan pernah diminta Puskur (Pusat Kurikulum) dalam pengkajian dan review buku ajar K-13. Sahabat baru saya Mardiluhung mengenal saya saat diklat K-13 di SMA Negeri 1 Crème Gresik tahun 2014. Waktu itu saya ditunjuk sebagai ketua kelompok bahkan ketua kelas. Entah mengapa tiba-tiba satu kelas kompak bulat suara mengerucut ke saya saat awal setelah acara seremonial di aula utama saat pembukaan diklat. Ternyata, guru serumpun mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam satu ruang berkapsitas 40 guru adalah banyak seangkatan dan adik kelas saya di IKIP Negeri Surabaya dahulunya. Termasuk sealmamater dengan saya Drs. Abdul Khalik Tambak guru pengampuh mata pelajaran bahasa Indonesia SMA Islamiyah menggasak beberapa sesi diskusi dan presentasi versus saya yang sedaerah. Ditambah lagi tutor diklat Dra. Kustiyah (sapaan akrabnya Bu Kus) dari SMA Negeri 2 manyar (Smanda) teman saya waktu diklat di Malang. Saya semakin beruntung ditutori oleh seorang guru mapel Bin. (singkatan kaprahnya Bahasa Indonesia) sebagai guru berprestasi tingkat nasional. Bahkan Dra. Kustiyah sempat dikirim ke Jepang atas prestasinya tersebut. Ini menjadi berkah bagi saya karena telah dipertemukan dengan para penulis ulung dan tutor sediklat kala di Malang beberapa tahun silam.

Buku kumpulan puisi Mardiluhung habis saya baca dua jam setelah disodorkan kepada saya. Kumplan puisi tersebut menjadi sebuah satire (puisi sindiran) sekaligus elegi warga Bawean dengan segala keindahan alam Pulau Bawean. Mardiluhung pernah berkelana menjelajahi Pulau Bawean dengan perjalanan wisata sampai ke lekek-lekeknya (segala sudut dan penjuru) Pulau Bawean habis didatanginya. Mulai lukisan alam, keadaan sosial dan budaya dijelajihinya lewat perenungan yang amat mendalam terangkat ke puisinya. Saya merasa tertampar sekaligus tergelitik atas tulisan-tulisan sahabat baru itu. Perasaan penasaran bersemai dan terus tumbuh untuk mencari tahu tentang nama Buwun sebagai nama asli Bawean. Sementara beberapa penulis terdahlu menulis dengan tanpa menyertakan referensi yang syah atau valid memberi makna asal Pulau Bawean berdasarkan versinya masing-masing dalam sebuah dongeng. Sebagai khazanah pengayaan mungkin tidak ada masalah. Pengunkapan nama asal-usul Pulau Bawean untuk pelipur lara dimaklumi saja. Dalam dunia akademisi sepatutnya didasarkan pada bahan acuan tertulis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Lewat buku kumpulan puisi Buwun saya menelusuri nama asal mula Pulau Bawean. Curahan tenaga dan pikiran membuahkan sebuah titik terang dengan menemukan nama Buwun atau Bawean dari sebuah kitab ”Nagara Kertagama” tulisan Empu Prapanca di zaman kerajaan Mojopahit (buah mojo berasa pahit).

Bekal penguat serta usaha memantapkan keyakinan ini saya mengutip tulisan Empu Prapanca sebagai bahan rujukan untuk membatasi ruang naluri yang suka-suka membuat sensasi atas kepentingan masing-masing penulis. Dalam bahasa aslinya tertulis ”Yen ring jenggolo lot sabhan pati ring Carabhaya melulus mare Buwun” terjemahannya demikian ”Bilamana berada di Jenggala Raja mengunjungi laut di Surabahya terus menuju ke Buwun (Bawean)” . Warga luar Pulau Bawean membenarkan asal-usul nama Pulau Bawean tersebut. Mereka tertawa-tawa setengah mengejek bila nama Pulau Bawean muncul sebelum kerajaan Mojopahit. Berapa juta buku yang harus direvisi bila keberadaan Pulau Bawean mendahului kerajaan Mojopahit. Selayknya dan sepatutnya mengikuti alur sejarah nasional bila keberadaan Pulau Bawean ingin duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tidak perlu kengototan di kedepankan berdasar keinginan menterkenalkan diri semata. Diakui atau tidak bahwa Pati Gajah Mada di bawah Raja Hayam Wuruk pernah bertandang ke Pulau Bawean di masa silam (Lihat prasasti di Bukit Mandhela, sekitar Ghunong malang) Desa Patar Selamat Kecamatan Sangkapura Gresik Jawa Timur. Empu Prapanca telah menyuratkan dalam kitab tersebut di atas. Malu untuk memulai mengungkap yang sebenarnya? Tentu tidak, karena ilmu itu sendiri sifatnya nisbi.

Keinginan menulis menjelang hari pendidikan nasional terus mendesak. Pagi buta setelah subuh saya mengangkat sebuah kursi makan di dapur yang lama ”nganggur” ke ruang toko di sebelah ruang tamu. Sambil menunggu para pembeli di toko racangan istri saya inspirasi pun terus mengalir. Bahkan, saya memberikan support kepada istri dalam usaha berdagang kecil-kecilan. Hasilnya memang kecil, tinggal menunggu ketelatenan dan kesabaran untuk menjadi besar. Kerap kali saya mengingatkan kepada istri bahwa nabi Muhammad SAW. sejak usia 12 tahun sudah menjadi penggembala kambing. Usia 25 tahun menjadi pedagang super jujur bersama majikannya saudagar kaya raya seorang janda bernama Siti Khadijah. Kalau di Gresik namanya Nyai Ageng Pinatih. Percis kan? Ini berkat kiat membaca yang telah diperintahkan oleh Sang Maha Pendidik, Allah SWT lewat firmannya. Selaku abdi negara yakni guru PNS, saya kuatkan istri untuk terus melangkah dalam usaha pendampingan penghasilan saya sebagaimana yang dijlentrehkan oleh KH. Maimoen Zubair sebagai berikut. ”Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kiai, kamu harus tetap mempunyai usaha sampingan biar hatimu tidak selalu mengharapkan pemberian atau bayaran dari orang lain karena usaha dari keringatmu sendiri itu barokah” . Ini yang selalu menegarkan hati istri saya untuk menjadikan toko di rumah sebagai usaha sampingan dalam menyokong penghasilan. Ujug-ujugnya guru pun ingin naik haji. Di ruang toko itu pulah saya jadikan ruang baca pribadi. Walau banyak pembeli di level dusun saya masih Malu Untuk Memulai membaca. Selanjutnya EGP-saja!

Sementara di dalam buku ”Boom Literasi” Menjawab Tragedi Nol Buku yang telah saya perlakukan semena-mena dengan melakukan pembiaran tergeletak di rak buku hampir setahun lamanya membuat saya merasa berdosa. Memutuskan jariah orang lain termasuk perbuatan dosa besar akibat tidak membaca untuk dipetik manfaatnya. Untuk menebus dosa besar itu buku setebal 299 halaman tersebut menjadi bahan wiridan tambahan untuk segera menghabisinya. Tulisan Satria Dhama dalam buku Boom Literasi seperti menikam pikiran saya untuk tidak berhenti membaca. Berhenti membaca berarti mati. Bahkan Satria Dharma menegaskan bahwa ajaran islam yang pertama bukanlah syahadat, salat, zakat, puasa, apalagi naik haji melainkan Iqra’ yakni perintah baca. Diperkuat lagi dengan hasil penelitian Taufik Ismail di 15 sekolah setingkat SMA di beberapa negara khususnya sekolah kota. Tragisnya SMA Indonesia 0 buku berarti nol judul buku sastra artinya tak satu buku pun yang habis dibaca oleh siswa Indonesia, kecuali beberapa sekolah SMA swasta elit saja. Hasil penelitian tersebut tercantum dalam tabel penelitian Taufik ismail dalam rentang waktu sejak tahun 1943-2005 (Boom Literasi : 2014:19). Tatkala kultur membaca menjadi sebuah keterasingan maka anak-anak bangsa ini akan terus diasingkan dalam pergaulan dunia dengan segala kemajuan peradabannya. Tengok warga Jepang dengan tingkat literasinya teratas di pentas dunia. Kalau Jepang punya semboyan ”Gila Kerja bukan Kerja Gila”, bangsa Indonesia bisa ”Gila Baca bukan Baca Gila”. Seperti pengalaman Anis Baswedan (Mendikbud) tatkala menempuh perkuliahan di Amerika, beliau diharuskan atau wajib menghabiskan 1500 halam setiap minggu. Berapa mata kuliah yang beliau kenyam. Berapa tahun beliau tempuh. Ini benar-benar sosok menteri teladan yang Gila Baca. Jangan diherani bila beliau banyak mengukir prestasi hingga puncaknya dipercaya menjadi seorang menteri. Beberapa program cemerlang dari mantan rektor Universitas Paramadina Jakarta tersebut yakni mulai Indonesia Mengajar hingga yang tergres Indonesia Mengaji. Sosok Pak Menteri mari teladani! Tidak usah Malu Untuk Memulai. Selamat Hardiknas 2016!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean