Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Memupuk Kepekaan Sosial Anak Lewat "Mamaleman"

Memupuk Kepekaan Sosial Anak Lewat "Mamaleman"

Posted by Media Bawean on Kamis, 30 Juni 2016


Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura)

Pernik-pernik tradisi yang masih dilakoni masyarakat di Pulau Bawean dalam mengisi kegiatan ibadah sosial di bulan puasa ini adalah sebuah kebiasaan perayaan malam ganjil di sepuluh malam ketiga. Di malam ganjil ini, terutama malam 21 dan 23 Ramadan diisi dengan kegiatan berupa acara ”Mamaleman”. Penggelaran acara unik ini diperuntukkan anak-anak usia dini. Kegiatannya berupa merias sepetak ruang dari rumah bagian serambi (Bawean: Betoran) sebagai ajang melatih anak membiasakan diri dalam hidup mandiri dengan bertolong-tolongan. Orang tua atau keluarga memberikan kesempatan kepada anak untuk menata sebuah meja, kursi, dengan segala hidangan rupa-rupa makanan tradisonal yang dibuat dalam makanan mini atau kue liliput. Lampu kerlap-kerlip pun menghiasi menja dengan segala mainan lucu yang menjadi koleksinya dipamerkan sehingga tergambar sebuah kemeriahan dalam menyambut acara malam yang dianggap penuh keberkahan tersebut oleh anak-anak.

Menjelang bedug magrib, anak-anak mulai sibuk mempersiapkan pelaksanaan acara ”Mamaleman” dengan menata makanan khas daerah yang dibelinya di pasar tradisional. Makanan kecil atau kue liliput ini dimasukkan dalam wadah atau toples mini sesuai dengan jenisnya di atas meja. Jenis makan mini meliputi: sasagun, poden, lemper, pastel, semprit, rumbeng, kaciputan,serta jenis makan tradisi lainnya hadir dalam sebuah hidangan sebagai bahan antaran kepada tetangga, teman, dan warga anak-anak lain sedusun hingga lintas desa. Dalam sebuah baki atau talam mini yang telah dipersiapkan tertata piring-piring kecil berisi makanan atau jenis kue liliput tersebut. Untuk anak-anak sejawatnya yang rumahnya berdekatan biasanya diantarkan sendiri, sedang bagi mereka yang rumahnya jauh diadakam pendampingan dalam pengantaran. Makanan dalam satu baki atau talam mini itu diberikan kepada tetangga sejawatnya tanpa harus mendapat balasan seketika itu karena mereka juga akan mengantarkan balik jenis makanan lain yang sudah dipersiapkan. Budaya barter kue liliput ini masih cukup kental adanya. Anak-anak melakukannya dengan jiwa kepolosan dan kesenangan sebagai wujud usaha memupuk solidaritas atau kepakaan sosial anak dalam bingkai tolong-menolong terhadap sesama. Biasanya mereka yang berasal dari keluarga mampu memberi secara berlebih sebagai amal baktinya untuk berbagai terhadap sesama.

Perkembangan di zaman mutakhir ini sedikit mengalami pergeseran-pergeseran baik dari sisi substansi jenis makanan dan sistem hantarannya. Seiring dengan kemajuan kehidupan masyarakatnya tradisi itu menjadi sedikit kurang memiliki daya tarik baik dari sisi kelempangan keluar masuk para pengantar maupun teknik alat atau wadah yang sudah serba modern. Dulu, sebelum rumah warga tersentuh arsitektur modern penampakan dandanan atau hiasan terlihat dari pelataran rumah. Saat ini rumah sudah banyak yang tidak berserambi lagi sehingga penataan meja harus ambil bagian di salah satu ruang tamu. Belum lagi pagar rumah warga yang sudah tinggi-tinggi membuat anak-anak merasa gugup untuk memasukinya. Di sini mulai terlihat adanya kesenjangan sosial antara orang berpunya dan mereka yang kurang berada. Namun, anak-anak tetap menerobosnya sebagai bentuk kebersamaan dalam melestarikan sebuah tradisi mulia untuk tetap dilakoninya. Waktu pelaksanaan pun tidak terlalu larut malam. Termasuk substansi hidangan makanan berupa kue liliput tradisional sudah bergeser ke makanan olahan industri yang dibelinya dari pasar modern berupa koka-koka dan minuman jualan market. Hilanglah satu poin rezeki dari beberapa orang penjual kue liliput di setiap tahunnya setelah makanan jualannya tergantikan dengan makanan modern olahan industri.

Satu hal yang mengherankan bagi anak-anak yang merayakan acara ”Mamaleman” tidak melupakan dengan teman seusianya tentang teman mana yang sudah mengantarkan makanan dan yang belum dibalasnya. Padahal anak-anak tidak menggunakan sistem chek-list untuk mengetahui hal itu. Berarti secara tidak langsung sesama di antara mereka memiliki kepekaan dan solidaritas yang sama. Orang tua tidak banyak ikut campur dalam sistem antar-antaran ini. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak mereka belajar mandiri dan tetap terpupuk sikap perduli sesama dalam bingkai tolong-menolong. Kelucuan dan keluguan pun pernah terjadi saat anak-anak laki-laki yang mengantarkan makanan seserahan itu dengan cara zig-zag dari rumah ke rumah tanpa pulang atau kembali lebih dahulu. Mulai dari rumah tetangga terdekat kemudian berlanjut ke rumah sedusun bahkan hingga ke rumah teman lintas desa. Apa yang mereka perbuat? Hidangan satu baki atau satu talam berjajar mengalir dengan menyisisihkan satu bagian makan yang dianggap balasan berlebih. Ini kadang menjadi jiwa anak-anak warga Pulau Bawean dalam acara ”Mamaleman” selalu memberi berlebih. Jadi, anak lelaki itu menyiapkan kantong baju dan celananya dengan pulang membawa keberuntungan dan keberkahan. Di sinilah letak nilai kebaikan karena antara yang memberi dan menerima tetap ada unsur sodakah berlebih.

Kejadian memilukan pun pernah terjadi tatkala dalam perjalanan penghantaran mengalami pertumpahan hidangan yang sudah di persiapkkan peruntukannya. Namanya anak-anak tersandung batu di jalan di malam hari kerap kali terjadi. Namun, tangis kecil dan ke-ngambek-an mereka di perjalanan menjadi sebuah perangai manis dari seorang anak. Bahkan, mereka meminta balik pulang dengan garansinya adalah harus digendong. Salah satu sifat dan sikap anak adalah jiwa kepolosannya. Menjelang bedug magrib anak-anak sudah menyusun daftar di pikiran dan benaknya harus ke rumah sipa dulu. Terkadang mereka tidak mau diurutkan oleh siapapun. Seperti harga mati saja untuk mengantar hidangan makanan liliput itu buat teman dekatnya. Orang tua atau pendamping dengan rela hati mengikutinya walau rumahnya relatih lebih jauh dari teman tengganya. Kini hidangan itu sudah tidak dipersembahkan dalam sebuah baki atau talam tetapi sudah dikemas dalam balutan menyerupai parsel sebagai bingkisan.

Menarik sekali untuk dibincangkan bersama mengenai malam-malam ganjil di malam terakhir bulan puasa ini. Ibadah puasa bukan dominasi orang dewasa semata. Anak-anak pun mendapat tempaan untuk memupuk kepekaan sosial dengan berbagi terhadap sesama lewat tradisi ”Mamaleman”. Budaya yang sudah mendarah daging ini merupkan warisan yang harus tetap dilestarikan. Hebatnya lagi di luar perhitungan akal sehat di akhir atau penutupan acara ”Mamaleman” di meja anak-anak justru menumpuk makanan berlebih. Dari mana datangnya? Inilah rahasia malam keberkahan yang patut menjadi bahan renungan bersama. Wallahu a’lam bissawab.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean