Home »
TULISAN SUGRIYANTO
» TAROPONG ISBATH Berharap Lebaran Bareng
TAROPONG ISBATH Berharap Lebaran Bareng
Posted by Media Bawean on Senin, 04 Juli 2016
Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura)
Istilah ‘taropong’ diakuisisi dari istilah daerah yang kerap kali digunakan sebagai alat bantu tiup di dapur untuk mengobarkan bara api. Taropong dimaksud berupa potongan bambu di antara buku ke buku atau ruas ke ruas dengan diameter sekitar segenggaman jemari tangan orang dewasa normalnya serta panjang mengikuti jarak anatarruas. Dua sisi lubang lingkaran yang dimilikinya memiliki rupa yang berbeda. Di bagian pangkal lubang kerap kali bersentuhan dengan mulut sang peniup sedang di bagian ujung nampak gosong akibat sentuhan kedekatan dengan bara yang belum berkelud. Supaya menghasilkan kobaran api penjaga dapur atau juru masak selalu menggunakan media berupa taropong primitif tersebut. Hasilnya, jalan tiupan udara menjadi fokus dan santer. Kenapa kita harus beli teropong atau keker canggih dan super mahal untuk menetapkan awal puasa dan 1 Syawal -yang hasilnya selalu menjadi buah perdebatan tanpa kesudahan. Untuk menentukan jatuhnya 1 Syawal saja rumitnya luar biasa. Ini semua akibat balutan ego dan hawa nafsu dari para pemuka agama yang selalu mengedepankan kepentingan kelompok dan golongannya. Surga dan neraka seperti telah dikavling olehnya. Bila demikian maunya Isbath pakai taropong dapur saja. Murah- meria tanpa banyak menggelontorkan uang negara. Hasilnya pun juga banyak samanya. Taropong saja keberadaan bulan di titik-titik wilayah tertentu akan nampak juga dengan mata bugil hasilnya.
Rupanya taropong primitif ini mengarah pada sejarah kehidupan masa lalu dengan segala kemesraan dalam cengkraman kebesamaan. Tentu, sasaran bidiknya tertuju kepada gambar dalam nominal uang Rp. 50.000,00 yang sudah dinyatakan kedaluwarsa (expired) dengan istilah Pak Harto Mesem. Sisi kebaikan dari mesemnya beliau mampu mempersatukan umat baik antar sesama pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama lain. Rakyat jelata tidak butuh neka-neko dalam sebuah perayaan keagamaan. Dulu, semasa bangsa ini dipimpin oleh Soeharto selalu melaksanakan lebaran Idul Fitri bersama. Jarang adanya perbedaan baik dalam penetapan awal puasa dan Lebaran. Sekarang para tokoh atau pemuka agama serba pasang badan dengan berpose di televisi memainkan mic berpucuk spon merah seperti lagaknya anggota dewan saat bersidang. Ini sidang isbath hendaknya mulia dan amat bersahaja tidak berlagak. Retorika dan berbagai argumen seolah-olah dirinya paling benar dan paling hebat karena saat sidang disaksikan secara langsung oleh umat searat-arat (Jawa: seabrek) banyaknya. Mungkin itu katanya Iwan Fals merupakan bagian dari badut-badut yang kadang ngomong sembarang demi kepentingan kelompok dan golongannya. Bahkan terlihat seperti show of force saja. Jika tokoh-tokoh tua sudah seperti itu gayanya maka generasi penerusnya akan meniru gaya yang pernah ditorehkan oleh pendahulunya. Kelak bangsa ini teruma kaum muslim akan menjadi tontonan yang menjadi pemeo bahwa kerukunan mereka adalah semu belaka.
I’tikad mulia dan baik dari mantan Presiden Soeharto saat memimpin bangsa ini dengan ketegasan dalam mempersatukan umat amat nyata terasa. Masih terasa faedahnya bahwa dulu sesudah waktu asahar umat Islam khusunya di Pulau Bawean sudah memukul beduk (membunyikan gugudur) detik-detik memasuki 1 Syawal tanpa ada keraguan ini dan itu karena pemerintah sudah menetapkan jauh hari sebelumnya. Umat Islam mengeluarkan zakat fitra pun sempurna waktu dan pelaksanaannya. Takbiran bersama cukup memberikan nuansa kebersamaan yang luar biasa nikmatnya. Salam-salaman pun tidak ada rasa canggung karena sudah bersama waktunya. Masih banyak sisi kebaikan bila bisa merayakan lebaran bersama. Saat ini sudah mulai sirna karena kini semua sudah pasang badan sendiri-sendiri dengan dalil masing-masing yang dianggap sama benar. Bila demikian adanya hingga kiamat tidak akan pernah menemukan titik temu dan sulit terwujud kekompakan sejati. Untuk hal-hal ini lain yang sifatnya ibadah menurut madzhabnya silakan saja. Satu ada yang pakai qunut dan tidak pakai qunut silakan saja. Paham kelompok yang satu mau tarawih 8 rakaat dan yang lain 20 rakaat monggo saja. Persoalan idadah sosial yang membutuhkan kebersamaan mari kita kedepankan. Betapa mirisnya menyaksikan pemaparan imam besar Masjid Istiqlal beberapa tahun silam di salah satu tayangan televisi bahwa satu keluarga suami-istri hampir bercerai gara-gara lebarannya beda. Ini baru secuil persoalan yang diaungkap padahal kita semua akan meraih kemenangan dalam jiwa yang kembali fitri namun ego sebagai penghalangnya. Perbedaan adalah rahmat, persamaan dalam hal tertentu juga nikmat kawan!
Sebagai tamsil cerita pernah dikisahkan oleh A.A. Navis (Ali Akbar Navis) dalam sebuah kisah rekaan dari cerpennya berjudul ”Robohnya Surau Kami”. Cerita berbingkai ini mengisahkan tentang kehidupan di akhirat kelak yang dibualkan oleh Ajo Sidi kepada Kakek Garin si penjaga surau. Kakek Garin pun matinya tidak baik karena harus mengakhiri hidupnya dengan menggoroh lehernya sendiri di sebuah surau tempat hidup dan ibadahnya akibat bualan Ajo Sidi (mewakili pikiran A.A. Navis). Kejutan cerpen ini sempat mendapat kritik pedas oleh Paus Sastra Indonesia H.B. Jasin karena A.A Navis dianggap tidak memberikan jalan keluar terhadap persoalan pelik yang terjadi pada kalangan kaum muslim ortodok yang dianggap egois atau mementingkan diri sendiri. Sampai-sampai dalam kisah berbingkai itu A.A. Navis lewat toko pembual Ajo Sidi memberikan ibarat bahwa di neraka banyak dihuni umat Islam yang egois atau mementingan dirinya sendiri dalam beribadah. Kentaranya lagi, yang dilukiskan dalam dialog antara Malaikat dan Haji Saleh beserta penghuni neraka lainnya tentang tempat tinggalnya. Mereka setelah ditanya malaikat mengaku tinggal di Indonesia tanahnya yang subur makmur dan selalu berselisih hingga lupa dengan kekayaannya yang dikeruk bangsa lain. “Kalian benar-benar bangsa yang egois, masuk kalian semua ke neraka!” Ujar Malaikat dengan murkanya. Niatnya semata ingin masuk sorga sampai melalaikan ibadah sosial lainnya.
Perlu diingat bersama bahwa bangsa ini berdiri bukan atas kehendak para bajingan melainkan founding father-nya adalah tokoh ulama dan para kiyai, termasuk pendahulunya adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Dari kedua tokoh sedarah ini yang sama-sama sebagai cucu ke sembilan dari Sunan Giri bangsa ini beradab dan bisa menghirup udara segar nikmat kemerdekaan (Baca: Dahlan-Asy’ari Kisah perjalanan Wisata Hati oleh Susatyo Budi Wibowo). Beliau berdua sama-sama berjuang untuk kemerdekaan laksana dua sisi mata uang yang sama bernilai dengan caranya yang berbeda nanum tetap kompak. Kenapa begitu mudahnya dikatakan bahwa pemerintahan berdaulat ini dianggap pemerintah ‘banyak menyimpang’ dari ajaran Islam. Untuk apa adanya kementrian agama dibentuk? Untuk apa ada MUI segala jika semua mau berjalan sendiri-sendiri? Tujuan musyawarah yang utama adalah untuk mufakat bukan untuk berdebat. Hanya orang-orang yang melupakan sejarahnya saja yang telah kehilangan kesadaran kolektifnya. Kata pemeo daerah ”Penter-penter tapolenter…!” Seperti apa yang didendangkan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama: Ilmumu bagai setetes air di lautan, kalau dibandingkan dengan kepandaian Tuhan…” Jadi, tidak perlu busungkan dada terhadap ilmu secuil yang dimiliki.
Untuk mendirikan bangsa ini Panitia Sembilan sebagai cikal bakalnya gerakan nasional beranggotakan umat Islam yang kapasitas dan reputasinya boleh dikatan di atas manusia modern dari sisi keilmuan dan ketaatannya.Tidaklah berlebihan bila dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dicetuskan bahwa kemerdekaan ini atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Di sadari atau tidak rupanya sejarah ini terabaikan oleh para penerus bangsa ini. Ingat, siapa gerangan yang mendesain kemerdekaan bangsa Indonesia ini bertepatan dengan malam Nuzulul Qur’an yakni 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 17 Ramadhan 1366 H? Tentu, kehendak Allah SWT. Sepatutnya taatlah kepada Allah dan Rasulnya serta kepada pemerintahan yang syah dan berdaulat. Tidak perlu saling bantah-bantahan seperti sifat dan watak kaum bani israil saja. Jika para pemuka agama di atas kurang yakin silakan lakukan survey tentu umat Islam di bawah atau kebanyakan menghendaki Lebaran Idul Fitri bareng. Lakukan coba!
Sedikit perlu dinukilkan dalam tulisan ini sebuah ayat Al Qur’an yang artinya kurang lebih demikian : ”Apabila kamu ditanya tentang roh, katakan bahwa roh itu urusanku (Allah) dan Allah tidak memberikan ilmu kepada kalian kecuali sedikit (QS: Bani Israil , 85). Sepatutnya dengan setetes ilmu yang dimiliki ini menjadi pengingat bahwa manusia tidak boleh mencongkakkan diri di muka bumi khususnya di bumi pertiwi yang muslimnya mayoritas. Gerbong besar yang membawa banyak umat di dalamnya adalah warga muslim tradisional dan muslim modern dengan kebaikan dan kehebatan oraganisasinya. Potensi besar ini jangan sampai menjadi alat untuk saling bertekak (Indonesia: debat). Selama ini yang menjadi jargon terdepannya adalah persoalan khilafiah terus. Padahal di dalam Al Qur’an sebagai induk dari segala hukum Islam ditegaskan bahwa betapa pentingnya persatuan dan kesatuan, terutama diaantara sesama umat Islam. Hal ini tertera jelas dalam Al Qur’an surat Ali Imram yang artinya kurang lebih demikian: “ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang bersaudara ; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (QS: Ali Imran 103).
Andai para tokoh pemuka agama sadar akan kelemahan dan kekurangannya maka tidak akan bersifat merasa paling benar sendiri. Posisi kita hanya bisa ambil bagian sebagai yang benar saja (itu pun masih dalam keraguan) karena hanya Allah Yang Maha Benar. Bahkan dalam salat kita diingatkan secara tersirat bahwa umat Islam dalam sujud menyentuhkan kening dan dahinya ke arah tanah menandakan bahwa hamba itu lemah dan apes. Keluputan dan kesalahan kita yang tidak disengaja dalam salat Idul Fitri yang sunnat muakkad akan diampuni oleh Allah. Tinggal pemuka agama bagaimana menyiasati untuk tetap tegak dan kokohnya persatuan umat dengan merayakan lebaran 1 Syawal dalam bingkai sejati persatuan dan kesatuan umat di atas segalanya. Susahnya Ya Allah di negeri ini untuk melaksanakan Lebaran Idul Fitri bareng. Semoga Allah akan tetap tersenyum atas niat baik kita. Amin…(mari temukan titik persamaan anatara hisab dan rukyat dengan Taropong Isbath sederhana saja). Selamat hari raya Idul Fitri 1437 H, awak Media Bawean dan kerabat kerja mengucapkan ”Mohon maaf lahir dan batin”.
Tag:
#TULISAN SUGRIYANTO