Home »
TULISAN SUGRIYANTO
» Komplek Perikanan ”NEWALL IN ONE”
Komplek Perikanan ”NEWALL IN ONE”
Posted by Media Bawean on Selasa, 16 Agustus 2016
Oleh : Sugriyanto (Guru SMA Negeri 1
Sangkapura) Siapa gerangan yang tak kenal perikanan? Kerap kali warga Pulau Bawean dengan kelatahannya mendikotomikan sebutan perikanan menjadi perikiri dalam keceplosannya. Semua tentu dan pasti kenal bahwa perikanan merupakan institusi milik negara yang menangani tentang seluk-beluk ikan dan segala tetek bengeknya kelautan. Atau dulunya sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Mengingat, menimbang, memperhatikan, serta tanpa memutuskan bahwa para nelayan setempat lebih sreg menjual langsung hasil tangkapannya kepada calon pembeli secara hand to hand, sehingga kegiatan lelang atau tender ikan di TPI perikanan Sangkapura menjadi surut dengan sendirinya. Apalagi, di tengah lautan sudah mengantre para perahu gendongan sebagai broker atau pialang ikan untuk dibawa ke daerah lain. Transaksi pun mengambang di tengah laut. Tak ayal lagi bila nelayan saat ini pulang dari melaut membawa ”maskawin” uang tunai berupa bundelan rupiah. Selebihnya, ikan di bawa pulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta sisanya pula dipasarkan di pasar tradisional. Hal ini juga untuk mengelak dari membanjirnya ikan yang bisa memicu inflasi harga ikan jika banyak menumpuk di pasaran. Akibatnya, harga ikan menjadi anjlok, jeblok dengan harga menjadi semakin murah saja ( Bahasa Jepang-mamorae, red).
Kenangan manis masa lalu yang sulit dilupakan yakni tatkala masih aktifnya mesin pemroduksi salju serpihan di komplek periknan. Dulu, saat menjelang berbuka puasa warga berduyun-duyun mengantre untuk mendapatkan serpihan salju putih buatan perikanan. Padahal, semua mahfum bahwa sebenarnya serpihan salju beku itu diperuntukkan pengawet ikan (pengganti formalin atau pengawet mayat). Cukup dengan menyekop-nyekop di lantai, petugas perikanan dengan berspepatu boat dan helm proyeknya memasukkan salju serpihan ke dalam plastik sesuai order para warga. Petugas dan warga merasakan adem ayemnya kehidupan masa lalu. Harganya pun amat terjangkau. Berbuka puasa tanpa kehadiran serpihan salju perikanan rasanya tenggorokan belum berasa legah dan segar. Maklum saja, kala itu PLN belum masuk Pulau Bawean. Pemilik kulkas amat terbatas. Sesangkapura jumlah pemilik kulkas waktu itu hanya bisa dihitung dengan sebelah jari tangan saja.
Air yang digunakan sebagai bahan baku es salju tersebut bukan sembarang air, melainkan air yang sudah melalui proses penyulingan. Kuman, bakteri dan spiroghyra serta baksil sejenisnya tidak akan pernah lolos masuk ke kotak frezernya. Warga pun diperkenankan masuk ke dalam kulkas raksasa yang luasnya hampir seukuran aula. Umumnya warga yang berhasrat masuk ke dalam kulkas super jumbo itu sekadar untuk tengok-tengok saja. Mereka cukup merasa tahu sudah. Serpihan salju bening yang diperoleh warga lekas-lekas dibawa pulang. Jika tidak sesegera mungkin di bawa pulang maka akhir cerita tinggallah air dingin saja jadinya. Saat serpihan salju ditaburkan di atas mangkok atau tobung es campur menjelang detik-detik berbuka puasa, salju buatan perikanan meleleh sempurna. Serpihan salju bening itu mampu melepas dahaga seketika. Kemesraan itu benar-benar telah berlalu.
Komplek perikanan kini sedikit-banyak mengalami penyulapan. Keliling areal komplek bagian tepi berpagar pertokoan, perwarungan, perdepotan, perbengkelan, perservisan, persalonan baik salon kecantikan maupun salon pelantang suara (sound sistem), peracangan, permusikan, pergrosiran, bahkan dipojok barat daya dari pusat kantor perikanan berdiri cikal bakal SPBU ( Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang gagal retas. Kini tinggal bangunan SPBU dengan segala kelengkapannya di bawah bendera Pertamina mati membisu tanpa dalih. Layu sebelum berkembang. Sungguh mengherankan bila meratapi nasib yang menimpa calon SPBU demi kepentingan hajat hidup orang banyak tersebut justru harus mati kolap dan mengenaskan. Innalillahi wa inna ilaihi rojion…!
Kedua bakal SPBU, baik yang di Sangkapura maupun di Tambak tinggal bangkai belaka (Honocoroko-podo bothongo,red) , benar-benar mati sebelum beroperasi. Malah sebaliknya, saat ini mulai muncul bertebaran SPBU mini dengan label Pertaminu. Semoga kehadiran yang mini atau yang kecil ini kelak bisa menjadi besar. Tak kalah menariknya, pertaminu yang notabene mini itu juga menggunakan sistem argo bukan sistem eceran atau cotek-cotek dalam liter-liter yang dituang ke dalam botol. Keganjilan dari penjualam cara amatiran itu (botolan) yang terkadang takarannya meleset dari standar yang semestinya akibat penguapan kononnya. Hal ini menjadi siapa menuding siapa yang memulai main kurang-kurangan dalam hal takaran atau literan. Pengecer kerap kali mengkambing hitamkan agen yang sering melakukan penyundingan (pengepasan takaran) dari setiap drum sebelum dikirim kepadanya. Mau tidak mau pengecer bermain lihai juga dalam hal takaran. Kemahalan atau disparitas harga BBM sampai ke rakyat di Bawean cukup mencolok. Sebagaimana diberitakan dalam sebuah harian bertajuk ”Tanpa Petral, Hemat Rp 2,8 T”. Salah satu terobosan yang disampaikan oleh VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro setelah setahun Pertamina Energy Trading Limited (Petral) dibekukan dan diganti Integrated Supply Chain (ISC) hasilnya mulai terlihat. Program ISC 1.0, antara lain, memotong perantara dari rantai suplai serta meningkatkan pemanfaatan dan fleksibilitas dari armada laut pertamina. (Jawa Pos, 9/2/2016). Semoga saja kehadiran SPBU mini yang menerapkan sistem argo berstandar nasional (SNI) ini kredibilitasnya tak diragukan lagi. Tinggal fakta di lapangan yang akan berbicara. Selamat datang SPBU mini, Selamat datang wahai PertaMINU.
Komplek perikanan Sangkapura tidak hanya ramai dikepung oleh kegiatan roda perekonomian rakyat semata, tetapi juga mengemban misi sosial sebagai komplek yang multi fungsi. Mulai dari berbagai macam pagelaran kesenian daerah, musik populer, bahkan kerap kali konser dangdut berskala regional dan nasional manggung di lapangan terbuka tepi pantainya. Acap kali pula istigatsah syugra dan kubra digelar di komplek TPI tersebut dulunya. Berbagai macam acara kenegaraan dan kerakyatan pun digeber di bekas TPI yang benar-benar representatif untuk setiap kegiatan acara dalam skala besar sekalipun. Petugas pun sigap melayani tanpa reserver dan tanpa neka-neko dengan mempermudah jalur birokrasinya. Benar-benar no pungli. Patutlah warga Pulau Bawean memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pihak pengelolah perikanan. Termasuk, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud ) M.Nuh dan Budayawan Emha Ainun Najib beserta rombongan dengan helikopter Puma-nya mendarat di lapangan tepi pantai komplek perikanan beberapa waktu lalu. Semua berjalan mulus dan lancar. Hal ini pun menjadi kenangan yang teramat sulit untuk dilupakan.
Teranyar, pemandangan di komplek perikanan Kota Sangkapura semakin anggun dan menawan dengan berbagai macam plakat berbau iklan dan penerangan. Didukung oleh run teks-nya perikanan yang memberikan informasi terkini tentang kelautan dan perikanan. Hanya saja, untuk dapat membaca dengan jelas dari kejauhan warga harus menggunakan kaca pembesar. Bisa terbaca dengan jelas asal dari jarak yang agak semak (dekat, bukan belukar, red). Animasi dan demonya pun perlu sedikit diperlambat stelannya agar benar-benar memiliki tingkat keterbacaan dan kebermaknaan yang signifikan. Luar biasa kemajuannya. Penting amat buat siapa saja! Berbagai macam perkantoran dari dinas kelautan dan perikanan mulai berdiri dengan megahnya. Bahkan, gapura raksasa yang cukup mentereng sebagai gerbang utama memasuki komplek perikanan sudah menganga lebar. Ahlan wa sahlan wahai para wisatawan! Welcome no keset para tourism!
Uniknya lagi, di tengah-tengah tanah lapang di tepi pantai dalam komplek perikanan Sangkapura sudah berdiri beberapa gazebo berupa dangau atau balai-balai untuk leyeh-leyeh bagi siapa saja yang berkenan. Tinggal manusia pengunjungnya, apakah mau merawat atau menjaga keasrian gazebo tersebut dengan tidak membuang sampah bekas sango-sangonya sembarangan. Termasuk keusilan tangan-tangan ”jehennam”, jangan lagi menodai atau mencorat-coret kusen gazebo dengan bahan coretan apa pun. Hanya manusia yang baru keluar dari zaman prasejarah sajalah yang kemaruk mau melakukan corat-coret dengan alat tulis yang baru dikenalnya. Ini menjadi tanggung jawab dan perhatian bersama dalam menjaga kenyamanan dan kebetahan para pengunjungnya.
Diakui atau tidak, bahwa komplek perikanan benar-benar menjadi ”metropolis”-nya Kota Sangkapura sebagai sumber kehidupan dan penghidupan serta penerangan manusia se-Bawean. Generator Set (Genset) perusahaan penjajah strum plat merah PT. PLN APJ Bawean juga dioperasikan dari komplek perikanan. Buktikan saja dengan meng-Off/On-kan saklar dari induk utama pembangkit listrik tenaga diesel itu maka akan mengubah wajah Pulau Bawean dari gelap menjadi terang benderang atau sebaliknya dari terang beralih ke gelap gulita. Semboyan utamanya No suap! (red: Bawean-tak ojeng). Meminjam istilah “Habis gelap terbitlah terang” bahasa orang potehnya “ Thrugh the darkness in to light” yang ditulis oleh Armijn Pane dari kumpulan surat-surat R.A Kartini yang dikirim ke Leiden Belanda ikut menjadi jargonnya. Kini sudah berubah menjadi ”Senyum Pelanggan Indonesia”. Warga sedikit terperangah dan berdecak mengak dengan konversi bahan bakar diesel PT.PLN APJ Bawean dari minyak solar ke gas. Merek dagangnya adalah LNG (Liquefied Natural Gas) istilah asingnya atau merek produknya CNG. Suara genset pun tidak begitu berisik, termasuk jelaga atau langas yang dikeluarkan cerobong mesin semakin tak nampak. Benar-benar komplek perikanan kelak akan menjadi jujukan (destinasi) para pesuka wisata pantai. Pengunjung bisa mandi kuyup sepuas-puasnya dengan kejernihan dan kadar rasa keasinan airnya yang khas. Jernih dan bening ngecling hingga kena kaca birunya. Apalagi ujung dermaga perikanan saat ini sudah jauh benar-benar tampil beda.
Namun, dari sekian keelokan wajah komplek perikanan masih ada saja sedikit pemandangan yang kurang menyamankan dan kurang sedap dipandang mata, baik dari sisi rupa dan tautan pikiran yakni masih terlihatnya dari kejauhan rupa jamban primitif tempat penyemplungan kotoran manusia dan bekas kora-kora. Termasuk, perahu bongkar muat yang membuang sauh dan sandar di ujung dermaga perikanan perlu di-warning ketat agar tetap menjaga kebersihan air laut. Jangan hanya karena ngedok atau perbaikan, sampah bekas garapan (ketaman) dan gergajian ditumpahkan ke air laut. Termasuk oli tap-tapan dan bekas bahan bakar minyak lainnya tidak dituang ke laut. Lagi pula, lokasi snorkling dan mandi di pantai dermaga perikanan menjadi selak atau ribet jika beberapa perahu masih boleh sandar di situ. Ini butuh kesadaran dan pengertian bersama. Termasuk, bedeng-bedeng atau rumah yang nampak kumuh di dalam komplek perikanan perlu penataan kembali keasriannya. Dengan demikian, pemandangan di komplek perikanan tidak mengalami kontradiktif terhadap bangunan permanen lain yang sudah elegan dengan segala standardisasinya. Akhirnya, komplek perikanan menjadi benar-benar “ New All In One”, yakni semua untuk satu yang terbaru. Artinya, segala sesuatu yang berada di komplek perikanan bermuara pada satu tujuan yakni kemajuan sejati. Orang pintar dan cerdas penuh kebijaksanaan bertutur bahwa kekayaan negara bukan warisan melainkan titipan.Benar kan Bu Susi…(Menteri Kelautan dan Perikanan)?
Tag:
#TULISAN SUGRIYANTO