Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Pandikar Wanita

Pandikar Wanita

Posted by Media Bawean on Jumat, 20 April 2018


Oleh: Sugriyanto

Sosok pejuang emansipasi kaum wanita ini telah menorehkan sejarah dalam usaha pencapaian kesetaraan gender. RA. Kartini, wanita berjuluk "trinil", semasa kecil ini benar-benar berperan sebagai wanita serba lincah dalam segala hal. Gelar "trinil" merupakan pengibaratan sebuah metafora terhadap diri sosok Kartini muda yang tak pernah merasakan lelah dalam usaha mendidik kaumnya.

Perumpamaan burung kecil yang mampu melompat lincah dari ranting ke ranting dahan pohon ini tidaklah berlebihan bila panggilan "Trinil" pernah disandangkan padanya. Sikap kegigihan dan kegesitan dalam menuntaskan beragam persoalan kaum hawa kala itu ibarat mendobrak tembok raksasa berupa kungkungan adat yang serba protokoler dan berbau feodalisme itu. Salah satu keberhasilan RA.Kartini dalam mengentas tirani kebodohan pada diri kaumnya dengan memulai gerakan literasi atau budaya baca tulis pada dirinya. Wujud nyata sebagai hasil kegiatan literasi hingga hasil karyanya mampu menembus ruang dan waktu. Karya adiluhung itu telah terpatri dalam buku monumentalnya berjudul 'Habis Gelap Terbitlah Terang". Kumpulan surat-surat berisi curhatan status pergolakan jiwa ksatrianya ini mampu mengubah kebiasaan kaum wanita menjadi pelopor kemajuan bagi bangsanya. Sejak saat itulah kaum wanita tidak lagi berposisi sebagai pendamping pasif, akan tetapi menjadi mitra aktif kaum lelaki hingga saat ini. Kungkungan adat dan feodalisme telah banyak memberi arti pada sepak terjang perjuangannya dalam meretas jalan menuju cita-cita sejati yakni mendidik kaum wanita tanpa harus melakukan perilaku yang bersifat kontraproduktif terhadap nilai keadaban dan kepantasan yang berlaku saat itu. Tulisan-tulisan berisi eksistensi kaum wanita yang tertera dalam sejarah terdahulu telah menina bobokkan kaum wanita dalam lingkaran setan akan kebodohannya. Sejarah pada masa silam selalu memosisika kaum hawa sebagai pendamping pasif yang tidak banyak berarti dalam pandangan kaum lelaki.

Jika kaum lelaki saat itu harus mengenyam pendidikan dalam usaha kemajuan diri dan kaumnya maka tidaklah berlebihan pula bila kaum wanita turut menyertainya. Kartini muda sadar bahwa pendidikan merupakan senjata paling ampuh untuk mengangkat harkat dan martabat kaumnya. Sekolah kecil kaum wanita yang pernah dirintis dan ditekuninya untuk tetap terus berdiri merupakan obsesi awal seorang pejuang yang tak kenal lelah apalagi putus asa. Hingga sekolah khusus mendidik kaum wanita baik dalam ranah pengetahuan, sikap, dan skil atau keterampilan ini telah berhasil ditorehkannya.

Terkait dengan jiwa dan semangat kepandikaran dari sosok Kartini ini bukanlah hal yang berlebihan. Istilah "pandikar" ini bersinonim dengan istilah "pendekar". Selama ini orang telah mahfum bersama bahwa pendekar itu sepadan dengan jawara sebagai seorang lelaki. Kartini muda memang bergaya hidup "tomboy". Ia kerap kali memanjat pohon semisal pohon jambu di sebelah rumah abdi dalem di komplek keraton layaknya seorang lelaki saja. Namun, setelah beranjak remaja atau memasuki masa dewasa sifat dan naluri kewanitaannya nampak sebagai sosok wanita sejati. Sanggul dan tusuk konde serta kebaya hasil merendahnya sangat memesona tatkala Kartini dewasa mengenakannya.

Seuntai lirik lagu Ibu Kita Kartini patutlah dinukilkan dalam tulisan sederhana ini. "Ibu kita Kartini pendekar bangsa, pendekar kaumnya untuk merdeka". Tanpa kehadiran pendekar wanita negara pun tak akan pernah tegak. Sesuai dengan untaian suci berikut "Wanita adalah tiang negara". Mustahil negara bisa tegak tanpa kehadiran sosok wanita. Apalagi yang hadir sosok wanita pendekar atau "Pandikar Wanita". Selamat Hari Kartini!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean