Sejarah kelangsungan hidup manusia berawal dari ditemukannya aliran sungai sebagai tempat hidup dan sumber kehidupan. Air sungai yang mengalir jernih dan berlimpah dapat memiliki multifungsi dengan berbagai kegunaan. Di air sungai yang jernih dan berlimpah ini orang dapat mandi, mencuci perkakas dapur dan segala pakaian (baca, Bawean: alolossa, Jawa: umba-umba) bahkan tempat mengais rezeki lewat biotanya, pasir, kerikil, hingga bongkahan batu yang turut terbawa secara menggelinding saat banjir datang mengebah dari sebuah puncak sumber mata airnya. Saat ini keberadaan sungai sudah berada diambang batas kepunahan dan kerusakan akibat ulah dan keserakahan manusia yang tak sayang terhadap lingkungannya sendiri.
Nasib kehidupan biota di aliran batang sungai saat ini sangat memprihatinkan. Hampir seluruh kekayaan sungai, baik berupa ikan, kepiting, kerang, kura-kura sungai (baca, Bawean: kotempa) udang batu, udang pelas, maupun udang gala sebesar lengan orang dewasa sudah tiada hingga menjadi cerita ratapan penuh nestapa. Udang gala (baca, Bawean: odeng ghela) sebesar lengan tangan orang dewasa sudah tiada lagi yang bisa dibubu atau (baca, Bawean: eghughu atau ebellur) yakni ditangkap dengan jemari tangan sambil merendam dan menyelam di aliran tepian sungai berongga (baca, Bawean: rongkang) akibat racun potasium dan fastac. Kekayaan alam hayati di sungai yang pernah menjadi tumpuan mata pencaharian warga Pulau Bawean dalam usaha pemenuhan akan kebutuhan hidup sehari-hari sudah tinggal cerita lara yang tak berkesudahan.
Di masa silam para penghuni pulau ini bergaul mesra dengan alam, terutama di aliran batang sungai dari hulu hingga ke hilir sampai pada muaranya. Untuk mendapatkan ikan sungai dari berbagai jenis spesiesnya cukup memancingnya dengan kail dan umpan seadanya. Sekadar umpan cacing dan nasi sudah bisa memperoleh hasil pancingannya. Bahkan, tradisi "nyolo" menambak aliran sungai kecil dengan membawa lampu petromak di malam hari sudah tiada lagi kisah romantikanya. Acara masak bersama dengan gorengan ikan dan udang sungai lewat begitu saja. Jaring, jala, bubu, dan "ope" atau selaput pembungkus ruas bambu menjadi bukti alat tradisional tersebut sudah cukup sebagai alat penangkap ikan, udang, dan sejenisnya tanpa harus merusak dan mematikan biota sungai hingga tuntas ke telur-telurnya yang terjadi seperti saat ini. Berbagai cara menangkap biota air sungai saat ini dilakukan secara semena-mena seperti menggunakan alat penyetrum, penggunaan kayu tuba, penggunaan bahan beracun potosium, hingga paling terkini lagi marak penyalah-gunaan insektisida fastac yang dilarutkan di hulu sungai.
Betapa tercengang dan merasa turut prihatin tatkala mendengar penuturan beberapa warga di Desa Lebak kecamatan Sangkapura mengenai kelakuan oknum pemburu biota sungai dengan menggunakan obat belalang berupa fastac yang dilarutkan dalam aliran dan genangan air sungai di musim kemarau. Fastac itu sendiri telah disalah-gunakan secara masif. Bahan beracun ini sebenarnya diperuntukkan membunuh belalang dan hama pengganggu padi saat musim tanam. Cukup disemprotkan di hamparan tumbuhan padi obat dimaksud dapat menahan laju serangan belalang dan hama pengganggu lainnya. Justru saat ini tanpa pikir panjang, marak para oknum kejahatan lingkungan ini melakukan aksi brutalnya dengan cara melarutkan racun insektisida berupa fastac mulai dari hulu sungai sampai pada muaranya sekalipun tanpa memperhitungkan ekses bahayanya. Sekali fastac dilarutkan di hulu sungai maka seluruh aliran air sungai hingga ke hilir terkena dampaknya. Ikan, udang dan sejenisnya sampai ke benih-benihnya turut mati berkelepek-kelepek menggelepar akibat keracunan cairan fastac yang terbawa oleh aliran air sungai. Belum lagi sapi ternak yang turut meminum air di aliran sungai berfastac turut menjadi korban. Sawah pertambakan juga terdampak aliran larutan fastac yang sempat menyelinap masuk ke areal sawah pertambakan. Hal ini menjadi fokus perhatian bersama sebelum mala petaka datang melanda. Sungai-sungai lain hampir di seluruh Pulau Bawean saat ini mengalami nasib serupa akibat kebengalan oknum penjahat lingkungan dengan melarutkan insektisida fastac sebagai pembunuh tanpa kenal ampun itu.
Kejahatan terhadap lingkungan sungai ini tidak patut untuk didiamkan dan dibiarkan. Muspika di kedua kecamatan di Pulau Bawean Kabupaten Gresik ini segera mengambil langkah preventif dan menindak tegas para oknum pelaku. Kepala desa dan kepala dusun bersama masyarakat hendaknya turut ambil bagian dalam menetapkan peraturan terkait dengan keselamatan lingkungan, terutama sungai dan segala biota yang menjadi sumber kekayaan alamnya. Bagi mereka yang apatis dan noreken tanpa memiliki rasa keperdulian terhadap kelestarian lingkungan patut dipertanyakan integtitas sebagai aparatur negara yang seharusnya harus bertanggung jawab pula. Segenggam kekuasaan akan lebih berarti dibanding dengan sejuta koar-koar secara liar. Teken peraturan akan beres persoalan!