Essai ditulis oleh Kemas Saiful Rizal, anak kedua almarhum, kontributor Media Bawean.
Setelah berjuang melewati masa kritis 14 hari, akhirnya Ayah meninggal di hari ke 14 itu di RSUD Ibnu Sina Gresik pada tanggal 17 Agustus 2020 pukul 09.45 WIB. Dokter mengatakan bahwa masa kritis Ayah 7 hingga 14 hari, bila berhasil melewati masa kritis itu maka bisa sembuh, ternyata takdir berkata lain, Ayahku meninggal diusia 75 tahun, sama dengan usia Republik ini.
Ayah memiliki riwayat penyakit kencing manis (diabet) sejak tahun 1992, Namun mengalami kondisi kesehatan yang sangat menurun sejak Januari 2020. Puncaknya sejak 2 minggu terakhir Ayah mengalami serangan stroke yang menyerang saraf menelannya, sehingga tidak bisa makan atau minum sedikitpun.
Lahir di Pulau Bawean 21 Oktober 1945. Beliau menyelesaikan Sekolah Dasarnya di SD Negeri di Desa Kepuh Teluk Kecamatan Tambak. SMP-nya tamat dari SMP Negeri 2 Gresik yang terletak di dekat Pelabuhan Gresik seiring Kakek Nenekku yang pindah dari Bawean ke Gresik. Kakek (bapak ayahku) berasal dari Desa Kepuh Teluk, sedangkan Nenek (ibu ayahku) dari Desa Diponggo keduanya di Kecamatan Tambak.
Selepas SMP, ayahku mondok di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Di Pondok Gontor, Beliau selesaikan hanya 4 tahun. Karena beliau masuk Gontor selepas SMP (umumnya santri yang masuk Gontor adalah selepas SD), Ayahku bisa ikut program akselerasi (percepatan). Ayah lulus dari Gontor tahun 1966. Beliau sering bercerita bahwa salah satu teman seangkatannya adalah politisi NU, KH. Syukron Makmun. Ayah juga seangkatan dengan KH. Hasan Sahal, putra dari salah satu Kyai pendiri Gontor. Saat Kyai Hasan Sahal bertabligh di Gresik, saya pernah menanyakan ke beliau apakah mengenal nama Kemas Aman, Kyai Hasan Sahal langsung ingat "iya Kemas Aman adalah teman saya bermain sepak bola" katanya.
Lulus dari Gontor ayah sempat mencicipi bangku kuliah, namun hanya setahun, tepatnya di Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah (FIAD) Universitas Mihammadiyah Surabaya. Lalu ayah ambil ijazah ilmu pelayaran yang mengantarkannya menjadi nakhoda dan memiliki sejumlah kapal.
Tahun 1970, saat jejaka usia 25 tahun (menikah di usia 27 tahun) ayah mulai mengoperasikan Kapal atau Perahu Layar Motor (PLM) bernama Harapan Bhakti yang melayani penyeberangan Bawean-Gresik maupun Bawean menuju Tanjungpinang, Bangka dan Belitung.
Sebelum ayah, menurut cerita ibuku, kapal yang melayani Bawean - Gresik adalah sejenis perahu layar (tanpa mesin), yang dimiliki oleh Pak Yusuf (dusun Pateken, Desa Kotakusuma). Pelayaran melalui perahu belum tentu ada setiap minggu. Pun waktu tempuh Bawean-Gresik bisa sampai 2 hari 2 malam bila angin kurang bersahabat.
Dengan perahu layar motor yang dioperasikan ayah, waktu tempuh lebih pasti. Misalnya berangkat jam 4 sore dari Bawean, pukul 7 pagi sudah tiba di Gresik (15 jam). Jadwal pelayaranpun dilakukan setiap minggu sekali, dari Bawean maupun dari Gresik.
Sukses dengan terobosan ini, ayah membuat kapal kedua yaitu PLM Tirta Bhakti. Sedangkan kapal pertama, yakni Harapan Bhakti belakangan dipermak dan berganti nama menjadi Bawean Ekspres.
Melihat usaha ayah maju, banyak pengusaha Bawean lain yang masuk di bisnis kapal. Ada H. Marzuki (masih kerabat Ibuku) yang memiliki kapal Bawean Murni, Murni 2 dan Tri Murni. Kapal-kapal lainnya antara lain Kastoba (milik H. Ismail, sepupu ibuku), Mahkota (Raden Ali Dusun Daya Bata, Sangkapura), Harapan Bahagia (H. Hedar, istrinya adalah sepupu ibuku), Aji Raya 1 dan Aji Raya 7 (KH. Abdul Aziz - Diponggo, masih kerabat Ayah).
Bawean Ekspres adalah puncak kesuksesan ayah sekaligus kejatuhan ayah dalam bisnis kapal. Semua kapal-kapal yang saya sebut diatas adalah kapal-kapal kayu. Suatu sore di tahun 1985, saat kapal Bawean Ekspres berlayar dari pelabuhan Gresik menuju Bawean dengan membawa 100 penumpang lebih, tak berselang lama sejak meninggalkan pelabuhan Gresik sekitar 2-3 jam Bawean Ekspres bertabrakan dengan sebuah kapal besi yang akhirnya membuatnya tenggelam seketika. Setelah malang melintang di laut selama 15 tahun, sejak itulah ayahku berhenti bekerja di laut. Usahanya kemudian beralih ke darat.
Diakhir hidupnya, ayah yang tinggal di Pulau Bawean, tapi demi pengobatannya Ayah harus dilayarkan ke Gresik. Selama seminggu dirawat di rumah sakit di Gresik, alhamdulillah masih bisa bertemu dengan dengan saudara-saudara ayah dan ibu yang tinggal di Gresik (dan di wilayah Jawa lainnya, Surabaya, Malang dll). Meninggal di Gresik, ibuku menghendaki ayah dikebumikan di Pulau Bawean, biar dekat dengan Ibu dan agar kuburnya bisa sering ditengok. Di akhir hayatnya sekali lagi ayahku tidak bisa dipisahkan dengan laut. Kapal Gili Iyang, menyeberangkan jenazah ayah, diiringi Ibu dan keempat anaknya menghantarkan ayah ketempat peristirahatan terakhirnya di Pulau Bawean tercinta.
Ayah Ayah meninggalkan seorang istri, H. Kamariyah (63 th) dan empat orang anak, masing-masing Nyimas Muthmainnah, AMd (46), Kemas Saiful Rizal, SE (44), Nyimas Indah Amilah, SSi, Apt (41) dan Kemas Husnul Yakin (40) serta 8 orang cucu.
(Tulisan ini tercipta diatas Kapal Gili Iyang, 18 Agustus 2020 pukul 03.30 WIB. Tulisan ini murni subjektif, bila ada yang keberatan atau tidak setuju saya mohon dimaafkan).