Media Bawean, 26 Agustus 2008
Oleh : Ending Syarifuddin Ra’uf
Berfikir besar itu tidaklah salah memang, bahkan penting untuk memberi inspirasi dan dukungan untuk setiap gerakan dan tindakan kita menuju sukses. Toh, kata para bijak: ”untuk hal-hal yang baik dan kesuksesan sebaiknya melihat kepada yang lebih atas, tetapi untuk hal-hal yang negatif dan ketidakmujuran lihatlah kepada yang di bawah”.
Tetapi berfikir besar itu harus dijalankan dengan proses yang normal dan tidak menyalahi hukum alam. Pendek kata, Cita-cita besar itu selalu harus dimulai dengan tindakan-tindakan kecil dan sederhana. Inilah yang disebut hukum proses. Allah SWT. yang memiliki kekuasaan absolut ”kun fa yakun” mengajari kita ketauladanan pentingnya berproses. Kenapa Allah SWT yang bisa dengan mudah menciptakan apa saja dalam waktu sekejap harus menciptakan bumi dengan cara tidak ”bim salabim” sekali jadi?.
Kalau contoh itu terlalu abstrak, cobalah kita tengok hukum alam yang lain. Air yang didinginkan dengan suhu yang cukup dengan waktu yang lama akan menjadi es yang cukup keras dan akan bertahan lama, berbeda dengan air yang didinginkan dengan waktu yang tidak lama, mencairnyapun akan cepat.
Penyakitnya, tentu ada pada ”ketidaksabaran”. Banyak orang yang tidak cukup sabar mengikuti hukum berproses ini. Sehingga harus menempuh “jalan pintas”. Banyak orang mencoba peruntungan menjadi “orang besar” tetapi dilakukan dengan “jalan pintas”. Padahal alam memberi banyak perumpamaan, bayi tidak mungkin serta merta langsung kita kasih makan nasi. Harus dengan ASI dulu, kemudian bubur, lalu baru nasi. Menjadi “orang besar “ dengan “jalan pintas” adalah tindakan beresiko dan pasti merusak hukum alam (sunnatullah), hukum regenerasi. Jika “jalan pintas” ini dipaksakan pasti akan merusak keseimbangan kosmis, dampaknya biasanya pasti pada ”daya tahan mental”. Generasi karbitan ini sebenarnya sudah mengejawantah dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan sosial, misalnya kalau berkuasa dia pasti korupsi. Ternyata, kata orang-orang pendidik, Kecerdasan Intelektual (IQ) saja tidak cukup, butuh kecerdasan emosional (EQ) dan bahkan konon kecerdasan spiritual (SQ). Entahlah…
Berdasarkan teori Input-Proses-output sudah bisa dipahami, bahwa jika in-put bahan baku yang kita masukkan jelek, tetapi jika prosesnya juga jelek pasti akan menghasilkan out-put (hasil) yang jelek pula. Jika in-put jelek tetapi prosesnya masih baik, akan bisa diharapkan hasilnya akan baik. Contohnya, saya punya profesor doktor waktu kuliah di Jogja dulu, yang menurut cerita dosen-dosen yang lain dia memiliki gelar itu bukan karena cerdas, tapi karena tekun dalam belajar.
Tentu akan lebih baik jika in-put baik, proses baik, maka akan menghasilkan out-put yang baik pula. Inilah yang kita harapkan terus tumbuh dari generasi-generasi Bawean. Cerdas, tangguh, ulet dan punya daya tahan seperti yang dicontohkan oleh orang-orang perantau-perantau Bawean. Sehingga nantinya, perlahan tapi pasti banyak generasi Bawean yang ”menjadi orang besar” dengan tanpa melanggar ”sunnatullah”. Amin.
Demikian pula, terbelalak melihat ”gunung besar” itu tidaklah salah, tapi jangan lupakan debu, pasir atau kerikil. Sebab orang kelilipan (bahasa bawean : kajherreppan) itu justru bukan oleh gunung tapi oleh debu atau pasir. Juga orang kesandung (bahasa Bawean : Tatandhung) itu bukan oleh gunung, tapi oleh kerikil atau batu yang kecil. Toh.. kalau kita sadar, Indonesia merdeka saja hanya ditentukan oleh ”Panitia Kecil”, bahkan dengan gamblangnya proklamasi ditorehkan oleh dua orang, Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Tulisan ini hanyalah pikiran-pikiran sederhana & mencoba berfikir sekenanya berdasarkan hayalan saya tentang pulau Bawean tempat tumpah darah saya. Sebab saya adalah bagian dari generasi Bawean yang pada hari ini mengalami sebagian apa yang disebut Pemerhati Bawean, Emanuel Subangun, ketika menyebut Bawean sebagai ”pulau kelahiran & kematian”. Generasi yang lahir di Bawean, berproses dan bekerja di luar Bawean & --belum tahu apakah -- meninggal nanti di Bawean.
Kita hanya berharap ada ”kekuatan besar” nantinya yang digerakkan oleh semangat dan kesadaran yang sama untuk menjadikan ke-Bawean-an tidak hanya sebagai kelangenan, tempat wisata psikologis kita masing-masing, tempat kita menaruh file-file kepingan sejarah masa lalu, tempat kita menyandarkan nostalgia dan persaudaraan imaginer. Kita butuh tangan-tangan yang bergerak nyata, bukan dari orang-orang besar tapi berfikiran kecil, tapi cukup dari orang-orang kecil yang berfikiran besar, sembari juga menunggu orang-orang besar yang berfikiran besar.
Bagi saya ini terasa penting, terutama ketika iklim politik reformasi memberi cukup angin gegap gempita harapan bagi setiap orang untuk menjadi “orang besar”. Pemilu adalah pintu gerbang menjadi ”orang besar”. Jadi bagi siapapun yang sudah ”mendaftar” menjadi orang besar, terutama dari generasi Bawean, kita menunggu ”orang-orang besar” yang ”berfikiran besar”, ialah ”orang-orang besar yang tidak melupakan hal-hal atau orang-orang kecil”.
Sebab alam ini dinamis, berputar terus. Ada cyclus dalam teori Cicero. Banyak yang saya tahu, tetangga saya di kampung yang dulu miskin sekarang menjadi kelompok kaya baru pada saat orang-orang kaya dulu di kampung saya menjadi miskin. Jadi jangan coba lupakan yang kecil. Sebab jika anda nanti menjadi ”orang besar” lalu melupakan ”yang kecil” akan tidak mudah bagi anda nantinya jika kembali menjadi ”orang kecil”. Penyakit yang menghinggapi orang-orang besar post-power syndrome. Na’udzubillah
Ending Syarifuddin Ra’uf adalah Mantan Ketua Umum KOBAR, Mantan PB PMII, Sekarang sebagai Direktur Eksekutif Bawean Institute (BI) di Jakarta
Posting Komentar