Media Bawean, 6 September 2008
Oleh : Musyayana
Jilid I
Ada beberapa latar belakang perubahan politik yang mendasar terjadi sebelum perdebatan desentarlisasi keamanan ini muncul. Pertama, perubahan locus politik sesuai UU No. 22 Tahun 1999, dimana pemerintah pusat hanya mempunyai lima kewenangan pokok, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah daerah. Kedua, terjadi reposisi TNI dan Polri berupa pemisahan Polri dari TNI. Pemisahan ini akhirnya menjadi garis tegas perbedaan fungsi ketahanan TNI dengan fungsi keamanan oleh Polri. Ini awal dimulainya demiliterisasi kepolisian.
Desentralisasi keamanan merupakan agenda mendesak yang harus dilakukan karena : Pertama, desentralisasi keamanan mengandung makna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat; harapannya pelayanan akan semakin cepat dan institusi keamanan semakin responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kedua, desentralisasi keamanan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, aspirasi dan potensi daerah. Sehingga daerah yang tingkat kriminalitasnya tinggi akan mendapatkan tenaga keamanan lebih banyak dibandingkan daerah yang tingkat kriminalitasnya rendah. Ketiga, desentralisasi keamanan memungkinkan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja institusi yang mengelola keamanan.
Lambatnya proses desentralisasi keamanan bisa menimbulkan akibat pada :
1.Tidak tertanganinya persoalan-persoalan keamanan di daerah
2.Kinerja institusi keamanan tidak dapat dikontrol oleh masyarakat
3.Tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal dalam mendapatkan pelayanan yang baik.
Ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan rasa aman menyebabkan semakin maraknya aksi kekerasan, main hakim sendiri atau munculnya lembaga-lembaga yang “menjual” jasa keamanan. Hal ini tentu berakibat pada kegagalan proses rule of law dan demokratisasi.
Jilid I
Ada beberapa latar belakang perubahan politik yang mendasar terjadi sebelum perdebatan desentarlisasi keamanan ini muncul. Pertama, perubahan locus politik sesuai UU No. 22 Tahun 1999, dimana pemerintah pusat hanya mempunyai lima kewenangan pokok, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah daerah. Kedua, terjadi reposisi TNI dan Polri berupa pemisahan Polri dari TNI. Pemisahan ini akhirnya menjadi garis tegas perbedaan fungsi ketahanan TNI dengan fungsi keamanan oleh Polri. Ini awal dimulainya demiliterisasi kepolisian.
Desentralisasi keamanan merupakan agenda mendesak yang harus dilakukan karena : Pertama, desentralisasi keamanan mengandung makna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat; harapannya pelayanan akan semakin cepat dan institusi keamanan semakin responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kedua, desentralisasi keamanan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, aspirasi dan potensi daerah. Sehingga daerah yang tingkat kriminalitasnya tinggi akan mendapatkan tenaga keamanan lebih banyak dibandingkan daerah yang tingkat kriminalitasnya rendah. Ketiga, desentralisasi keamanan memungkinkan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja institusi yang mengelola keamanan.
Lambatnya proses desentralisasi keamanan bisa menimbulkan akibat pada :
1.Tidak tertanganinya persoalan-persoalan keamanan di daerah
2.Kinerja institusi keamanan tidak dapat dikontrol oleh masyarakat
3.Tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal dalam mendapatkan pelayanan yang baik.
Ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan rasa aman menyebabkan semakin maraknya aksi kekerasan, main hakim sendiri atau munculnya lembaga-lembaga yang “menjual” jasa keamanan. Hal ini tentu berakibat pada kegagalan proses rule of law dan demokratisasi.
Desentralisasi keamanan berkaitan dengan dua isu penting: Pertama, ketidakjelasan kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan kewenangan. Kedua, kewenangan keberadaan kepolisian nasional di daerah. Karena yang terjadi sampai saat ini Kepolisian masih sebagai aparat pemerintahan pusat di daerah dalam melaksanakan prinsip desentralisasi. Pengelolaan keamanan dianggap sebagai wilayah kewenangan kepolisian. Akibatnya, daerah menjadi tidak leluasa untuk merumuskan kebijakan keamanan.
Memperhatikan proses desentralisasi keamanan di pulau Bawean, justru yang terjadi adalah merenggangnya pola hubungan partisipasi pengelolaan keamanan. Masyarakat sengaja di posisikan sebagai obyek dari desentralisasi keamanan oleh institusi kepolisian. Dimana masyarakat Bawean selalu dipasung kesadaran akan partisipasi dan pola hubungan yang inhern antara masyarakat dan institusi kepolisian. Akibatnya, secara tidak langsung masyarakat telah menjadi obyek dari proyek keamanan. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga dan aktor-aktor di daerah untuk “menjual” jasa keamanan. Banyaknya kasus yang tidak tersentuh oleh hukum dengan alasan sudah terselesaikan secara kekeluargaan. Faktanya, terjadi tawaran kompromi perkara-perkara hukum di masyarakat Bawean yang datang dari aktor kepolisian dan lembaga tertentu dengan negosiasi “duit”.
Masyarakat Bawean yang mayoritas belum paham dengan prinsip-prinsip partisipasi antara institusi keamanan dan masyarakat sipil, serta kewenangan institusi keamanan akan merasa diuntungkan dengan tawaran “kompromi” tersebut. Apalagi secara geografis pulau Bawean yang dibatasi laut lepas sekitar 80 mill cukup potensial untuk dilakukan praktek-praktek perdagangan kasus karena kontrol dari institusi keamanan di Kabupaten sangat lemah. Akhirnya, kompromi dan negosiasi menjadi sebuah tradisi baru di masyarkat Bawean dan semakin menjauhkan pola hubungan partisipasi antar institusi keamanan dan masyarakat.
Posting Komentar