Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » “Tokoh Spanduk”

“Tokoh Spanduk”

Posted by Media Bawean on Senin, 22 September 2008

Media Bawean, 22 September 2008

Oleh : Syarifuddin alias Ending*

“Wah… sekarang ini musim panen kamu ya”, saya membuka pembicaraan sambil bercanda ketika beberapa minggu yang lalu saya berkunjung ke tempat usaha teman saya yang bergerak di bidang percetakan dan advertising out-dor. Sembari saya lihat banyak sekali spanduk, stiker, surat yasin, jadual imsakiah, dll. order dari sejumlah politisi dari berbagai Partai.

Saya-pun datang dengan maksud yang sama, walaupun bukan untuk saya sendiri, membantu membuatkan bahan atribut kampanye salah satu teman saya yang berencana mengadu nasib dan peruntungan sebagai caleg (calon legislatif) di salah satu Partai Politik.

Berbeda dengan Pemilu 2004 yang lalu, Pemilu kali ini memang memiliki masa waktu yang panjang untuk kampanye dan mensosialisasikan diri dalam bentuk bukan arak-arakan dan mobilisasi massa. Lihatlah di sejumlah tempat dan media cukup banyak dan mudah kita temui gambar-gambar calon pemimpi(n) yang berharap peruntungan. Sepertinya tidak ada tempat dan waktu terlewatkan, semua harus diisi dengan sosialisasi dan “jual diri”, berharap partai dan namanya gampang dikenali “secara mudah dan cepat” oleh calon pemilih.

Tal ayal, momentum massive (yang menyertakan banyak massa) seperti bulan ramadhan dan idul fitri adalah momentum yang tak akan sepi dari gegap gempita “jual diri” seperti ini. Entah semacam ucapan selamat menjalankan ibadah puasa di beberapa stasiun TV, koran dan radio atau yang langsung seperti buka puasa bersama atau safari ramadhan dan Halal bi halal.

Melihat begitu banyaknya iklan dan spanduk Caleg dan Partai-partai, saya teringat dengan pernyataan teman saya. Dia bilang, “inilah tokoh spanduk”. Saya balik bertanya, “maksudnya”?. Dengan menyungging senyum teman saya berujar, “Ya kita semua ini kan sudah terbiasa hidup secara instan, makannya aja mie instan (mie yang langsung bisa dimakan dengan cepat), fast food, junk food, dll. Jadi segalanya ingin diperoleh dengan cara cepat tanpa perlu bekerja keras”.

Pernyataan teman saya tadi memang terlihat disampaikan dengan nada bergurau, tetapi substansi pesannya sangatlah serius. Serius menyangkut upaya dan kerja keras dalam meraih kesuksesan hidup. Ini berkenaan dengan akumulasi (penumpukan) kesadaran sosial budaya yang susul-menyusul dan menambah bahkan membentuk kebudayaan baru tersendiri, yang disebut ”budaya instan”.

Jika kita pahami dengan seksama, satu sisi generasi yang besar dan memegang ”kekuasaan” pada orde reformasi ini umumnya adalah generasi pewaris. Generasi yang banyak menikmati fasilitas-fasilitas sosial, ekonomi, dan politik yang sudah mapan dan ”ready fo use” (siap pakai). Generasi yang tinggal memetik hasil kerja-keras dari orangtua/generasi sebelumnya. Generasi ini umumnya memiliki pandangan yang serba disederhanakan: ”kalau bisa dengan cara mudah kenapa mesti cari yang sulit”.Generasi ini tentu tidak cukup mengalami dan mendalami proses melahirkan karya sosial yang diusahakan dengan berfikir serius, proses lama, dan berkeringat, bahkan dengan pengorbanan diri. Baginya, yang terpenting hasil akhir. Akhirnya, kebanyakan generasi ini lebih senang menjadi ”penikmat hasil” dari pada ”berkarya”. Dengan kata lain, lebih baik menjadi ”konsumen” ketimbang jadi ”produsen”.

Dulu, yang kita tahu baik dari pitutur atau buku-buku biografi, kebanyakan tokoh-tokoh di Indonesia di tingkat nasional maupun lokal, baik di bidang sosial, ekonomi dan politik itu besar dan dibesarkan oleh karya dan perjuangan yang penuh dengan tantangan dan kerja keras. Kiai, misalnya, dulu mendirikan Pondok Pesantren selalu di daerah-daerah yang dikenal sebagai ”daerah rawan”, baik secara aqidah maupun prilaku sosial. Sehingga dengan tantangan yang tidak mudah, dahulu menjadi Kiai tidak cukup hanya berbekal fasih dan alim ilmu agama, namun juga harus memiliki bekal ”kanuragan” yang kuat melawan teror fisik dan non-fisik sekalipun. Sejarah Pondok Pesantren di Jawa umumnya demikian, seperti contoh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Pondok Pesantren Salafiyah Situbondo, Pondok Pesantren Kyai Syarifuddin Wonorejo Lumajang, dll.

Di dunia ekonomi demikian pula, sebut saja Pengusaha sukses seperti H. Kalla (ayahanda Yusuf Kalla), Mas Agung (Pendiri Toko Buku Gunung Agung), Martha Tilaar (Pemilik Sari Ayu Martha Tilaar), Alim Husni (Pendiri Maspion Group), Bob Sadino (Pemilik Kem Chicks Supermarket), dll. Mereka sekarang menjadi besar dimulai dari usaha yang ”kecil”, kelas usaha kaki lima. Ada proses panjang dan berliku bahkan berkali-kali gagal. Tetapi dia tegar dan mau belajar dari ”kegagalan-kegagalan”nya. Itulah yang membuat mereka menjadi ”tangguh dan pantang menyerah”. Sikap ”istiqomah” yang berujung pada kesuksesan seperti itu hanya lahir dari pergulatan sosial yang tidak mudah. Tidak heran, bagi pengusaha tulen seperti mereka, modal utama berusaha bukanlah ”uang”, tetapi ”niat dan tekad yang bulat”. Atau biar lebih dekat, sebutlah Pengusaha di Bawean seperti H. Mansur Maksum, dulu juga memulai usahanya dari kecil dan dengan kerja keras.

Di sisi lain, kita dihanyutkan dalam arus modernisasi yang menjanjikan kenikmatan-kenikmatan hidup sesaat dan memanjakan yang secara halus ditularkan melalui ”gaya hidup” dan kemudian di-disseminasikan (disebarluaskan) melalui media yang sangat powerfull, seperti TV. Bayangkan, seusia anak saya yang masih 3 tahun saja, sedikit-sedikit sudah bisa bilang ”capek deh”. Konon, se-dunia tidak ada acara-acara TV yang se-bebas (liberal) di Indonesia. Kejahatan, kekerasan, pornografi, hidup serba mewah dan serba pesta selalu dipertontonkan secara cukup gamblang. TV membuat penonton menjadi permissive (acuh, tidak ambil pusing) sehinga lambat-laun menjadi tidak prihatin dan sensitive melihat kekerasan dan kemiskinan yang dialami banyak masyarakat kita.

Coba tonton Sinetron dan acara-acara TV kita yang hampir semua bersifat glamour dan hura-hura bahkan pelecehan terhadap lembaga keagamaan, pendidikan dan undang-undang. Bayangkan, sinetron TV dengan setting Pesantren dan busana muslim tapi jalan ceritanya sangat ”mistik”. Demikian pula, sinetron dengan setting sekolah tapi alurnya dominan hanya berkisah soal siswa pacaran, persaingan memperebutkan pacar, gosip, party dan yang lebih gila siswanya berseragam SLTP. Bahkan, adegan mereka pacaran dengan mengendarai sepeda motor di jalan raya-pun tanpa memakai helm. Puncak gunung es dari generasi yang lahir dengan ”budaya instan” dengan ”kenimatan sesaat”ini adalah generasi pemakai narkoba. Konon, narkoba ini sudah menyebar sampai ke Pesantren dan daerah-daerah pinggiran seperti Bawean. Na’udzubillah.

Dunia pendidikan kita juga ditulari virus budaya instan. Salah satunya, seperti disampaikan mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, Dr. Yahya Umar, adalah metode pendidikan yang diadopsi dari negeri Paman Sam (Amerika), yaitu ”Metode Pendidikan yang Menyenangkan”. Konon, menurut Doktor Lulusan Harvard ini, ”kita menggunakan metode ini yang di tempat asalnya sendiri sudah ditinggalkan”. Bagi Yahya Umar, anak didik kita tidak bisa diajari belajar bersenang-senang, melainkan harus diajari bahwa belajar itu susah, mendapatkan ilmu itu susah. Sehingga anak didik kita tidak sekedar pintar tapi juga memiliki fighting spirit, memiliki daya tahan dan tidak mudah menyerah menghadapi tantangan dan kesulitan. Maka, menurut Mantan Ketua Umum PMII Cabang Jogjakarta ini, anak didik kita tidak cukup hanya memiliki Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ), tapi juga butuh Kecerdasan Menghadapi Tantangan.

Jika ”generasi instan” yang akan menjadi pemimpin dan wakil rakyat, wajar jika mereka menjadi Bupati, Gubernur, Presiden dan atau Caleg tidak perlu bersusah-payah. Bagi mereka, menjadi tokoh tidak perlu harus bersusah payah memberikan perlindungan, advokasi dan perjuangan aspirasi rakyat secara sungguh-sungguh, lalu berdialog dan memahami penderitaan rakyat. Cara ini dianggap terlalu lama dan terlalu susah. Cara yang paling mudah hanya dengan membuat iklan, spanduk dan sejenisnya dengan menuliskan janji-janji serta slogan. Maka, calon pemimpin seperti ini bukannya berjuang memakmurkan rakyat banyak, melainkan hanya memakmurkan pengusaha spanduk. Dia-pun hanya menjadi ”TOKOH SPANDUK”. Tokoh Spanduk ini hanya menang di image (kesan), seolah-olah bersih dan memperjuangkan rakyat. Yang terjadi sesungguhnya hanyalah memperjuangkan dan memperkaya diri sendiri dengan cara ”jalan pintas”, yaitu korupsi.

Contoh belakangan dari ”Tokoh Spanduk” adalah Jaksa Urip (kasus Artalyta) dan M. Iqbal (Anggota KPPU). Jaksa Urip pernah dinobatkan sebagai ”Jaksa terbaik” dan M. Iqbal dikenal sebagai tokoh yang bersih. Mereka berdua menang di kesan (image), tapi faktanya? Wallahua’lam.

Dengan design politik pencitraan, memang kebanyakan dunia politik kita tidak mengenal kata ”ikhlas”. Dengan kata kata lain, dalam kamus politik kita tidak ada satu hal-pun yang didapat dengan ”gratis”. Karena itu, TOKOH SPANDUK sebenarnya lahir dari budaya politik pamrih. Terlebih dengan sistem politik yang masih mendasarkan pada kekuasaan pimpinan partai, seperti nomor urut. Tokoh Spanduk lahir karena negosiasi elite bukan negosiasi rakyat. Tokoh Spanduk tidak perlu repot-repot menemui Rakyat kecuali hanya sekali-sekala. Nomor ”urut jadi” bisa mudah diperoleh cukup dengan menyetor sejumlah uang tertentu kepada elite Partai.

Biasanya, dengan membawa bingkisan bantuan yang disertai stiker bertuliskan nama Caleg yang bersangkutan, Tokoh Spanduk ini hanya datang intensive ”membantu” rakyat pada saat-saat menjelang Pemilu. Dasarnya, rakyat kita gampang melupakan hal-hal yang lama dan cenderung mengingat hal-hal yang baru (Short memory syndrom). Bahkan, dengan fasih politisi jenis ini menggunakan dalih dan dalil ayat al-qur’an: wal-aakhiratu khairun laka minal ’ula dan wal-aakhiratu khairun wa abqa. Ayat ini diplesetkan menjadi dasar bahwa ”bantuan-bantuan politik yang paling akhir itu lebih baik dari pada bantuan di awal dan bantuan paling akhir lebih kekal ”dalam ingatan” calon pemilih. Demikianlah, bagi Tokoh Spanduk menemui rakyat secara intensive hanya perlu menjelang Pemilu saja. Selebihnya, rakyat cukup di sapa lewat TV, radio dan spanduk.

Jadi kalau kita semua, masyarakat Bawean, memilih calon pemimpin dan wakil rakyat dengan dasar ”transaksi uang” atau biasa dikenal dengan ”money politic” menjelang Pemilu, bukan atas dasar kemampuan dan komitmen pribadi calon untuk ”membela rakyat”, berarti kita sendiri sebenarnya harus siap kecewa dan tidak bisa menuntut apa-apa selama lima tahun karena kita sendiri telah menjual ”kedaulatan kita” kepada sang calon. Dan dengan demikian, kita sendiri pada dasarnya telah membuka pintu lebar-lebar bagi lahirnya ”TOKOH SPANDUK”. Wallahua’lam

*) Direktur Eksekutif Bawean Institute Jakarta; Direktur Utama PT. MADAH ARBATA Jakarta; Tenaga Ahli Anggota DPR-RI Fraksi PKB; Pengurus PP-LKKNU Jakarta; Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta; Mantan Presidium Forum Mahasiswa Syari’ah se-Indonesia (FORMASI); dan Mantan Ketua PB-PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Mantan Koordinator KOBAR (Komite Bawean untuk Reformasi).

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean