Media Bawean, 15 Mei 2009
Oleh: A. Fuad Usfa
Sebuah Pendekatan Kasus di Pulau Bawean
1. Pulau Bawean
Secara Geografis Pulau Bawean terletak kira-kira 80 mil laut dari Pelabuhan Gresik, luas lebih kurang 200 Km2, masuk dalam wilayah Kabupaten Gresik dengan jumlah penduduk hampir memasuki seratus ribu jiwa. Transportasi umum antar pulau dilayani melalui Pelabuhan Bawean ke Pelabuhan Gresik (PP) via kapal motor, yang pada saat ini dilayani oleh Kapal Ekpress Bahari 8B dengan kapasitas 340 penumpang dalam tiga (3) kali seminggu.
2. Badan Peradilan
Berdasar pasal 10 Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan dalam lingakungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum meliputi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang bermuara pada Mahkamah Agung serta lembaga terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan maupun Penasehat Hukum.
Lembaga Peradilan yang terdapat di Pulau Bawean adalah Pengadilan Agama serta Kepolisian Sektor Sangkapura dan Tambak. Adapun Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri terletak di Ibu Kota Kabupaten Gresik.
3. Azas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Azas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang menggantikan Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970) yang dalam pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2) dinyatakan, bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, secara ekplisit tidak dijumpai redaksi cepat, sederhana dan biaya ringan, namun azas tersebut diamanatkan agar ditegakkan dalam undang-undang tesebut. Untuk itu dapat kita jumpai dalam penjelasan umum yang menyatakan, bahwa azas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat martabat manausia yang telah diletakkan di dalam undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu undang-undang nomor 14 tahun 1970 (penj. Undang-undang nomor 14 tahun 1970 ini telah diganti dengan undang-undang nomor 4 tahun 2004: Pen.) harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini (maksudnya Undang-undang nomor 8 Tahun 1981). Selanjutnya dinyatakan, bahwa azas tersebut antara lain peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkatan peradilan (penjelasan butir 3e).
Adapun pengertian sederhana dan biaya ringan hanya dijumpai dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) undang-undang no 4 tahun 2004 yang menyebutkan, bahwa yang dimaksud ‘sederhana’ adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara efisien dan efektif, dan yang dimaksud dengan ‘biaya ringan’ adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Sedang yang dimaksud dengan cepat tidak dijumpai pun dalam penjelasan tesebut, untuk itu kiranya dapat diukur berdasar kelaziman yang dapat dirasakan oleh masyarakat atas dasar perlakuan yang wajar dan seharusnya dari aparat penegak hukum, misalnya terhadap suatu kasus, maka Kepolisian segera menyidik dan melimpahkan, jaksa segera melimpahkan dan menuntut, hakim segera mengadili dan memeutus tanpa adanya penundaan yang tidak berdasar undang-undang serta harus dengan bertanggung jawab. Maka itu undang-undang menggunakan redaksi antara lain segera, secepatnya dan juga ditegaskannya pembatasan waktu penahanan di segala tingkatan proses, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan.
4. Beban Biaya
Dalam kaitannya dengan kasus yang terjadi di Pulau Bawean, persoalan yang urgen untuk dicermati adalah berkaitan dengan azas ‘Biaya Ringan’. Dimaksudkan dengan biaya disini tentu tidak hanya sebatas biaya perkara yang ditentukan di Kepeniteraan Pengadilan, melainkan harus dipahami dalam pengertian yang luas, yaitu meliputi seluruh biaya yang harus dipikul dalam seluruh proses peradilan oleh para pihak ataupun yang terkait dengan perkara.
Secara materiil beban biaya yang harus dipikul dalam perkara pidana untuk kasus di Pulau Bawean tidak sedikit, dan sering pula dirasakan tidak tertanggungkan. Sebagai illustrasi dapatlah di sini penulis utarakan sebagaimana hasil penelitian penulis pada tahun 2001, yaitu yang terjadi terhadap kasus (anak) dengan pelaku Wn dalam kasus penganiayaan biasa, yang dimulai dengan bergurau antar kawan, kemudian Wn memukulkan pisau pada kawan berguraunya itu yang menyebabkan luka ringan, namun orang tua sang teman tidak terima sehingga harus sampai pada proses Pengadilan (di Gresik). Untuk itu orang tua Wn saja harus mengeluarkan dana tidak kurang dari enam juta rupiah, padahal ayah Wn telah meninggal dunia, sedang ibunya bekerja mengambil upahan membuat kue pada saat dini hari untuk dijual di pasar. Dalam setiap harga bahan Rp.10.000, (sepuluh ribu rupiah) sang ibu mendapatkan upah Rp.2.000,- (dua ribu rupiah). Dalam setiap harinya ia hanya dapat pesanan maksimaum Rp.50.000,- saja, yang berarti hanya memperoleh uang jasa setinggi-tingginya Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dalam sehari. Coba renungkan, betapa berat beban biaya yang harus ditanggung.
Sebagaimana telah disinggung di muka, menggelarkan sidang di Gresik tentu membutuhkan beban biaya yang tidak sedikit, biaya tiket kapal, penginapan, kebutuhan hidup selama di Gresik dan lain-lain, hal tersebut amatlah dirasakan lagi manakala menimpa kasus anak dan/atau bila tersangka atau terdakwanya tidak ditahan, yang tentu hal tersebut tidak hanya sebatas pada tersangka atau terdakwa saja, melainkan juga terhadap saksi, termasuk saksi korban, akhli ataupun pengacara. Belum lagi berbicara tentang kasus perdata, bisa-bisa yang direbut kambing hilang sapi.
Mungkin seseorang akan berdalih bahwa ketentuan pasal 162 ayat (2) KUHAP yang menyatakan jika saksi sudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang diberika itu dibacakan, dan selanjutnya dinyatakan (ayat 2) bahwa jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Namun yang harus dipahami bahwa ketentuan pasal 162 ayat (2) tersebut adalah merupakan pengecualian dan tidak bisa diterapkan terhadap setiap kasus. Bilamana ketentuan pasal 162 ayat (2) itu dianggap sebagai satu jalan keluar untuk setiap kasus (dhi. Di Pulau Bawean), maka dengan menggunakan penafsiran sistematis berarti telah terjadi kepincangan atau bahkan diskriminasi hukum, sebab bertentangan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) undang-undang no. 4 tahun 2004 yang menyatakan, bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Perhatikan pula penempatan ketentuan di ayat (2)nya yang memberi ketegasan, bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, bahkan juga bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tegasnya disini adalah, bahwa demi hukum dhi. warga Bawean sederajat dengan warga yang lain atau dengan menggunakan kalimat negatif, bahwa dhi. Warga Bawean bukanlah warga kelas di bawah warga lain. Bilamana hakim memaksakan diri memutus hanya berdasar pasal 162 ayat (2) tersebut dengan tidak memanggil saksi ataupun akhli dengan dasar alasan tempat tinggal atau tempat kediaman di pulau Bawean jauh, maka berarti hakim telah melakukan kesalahan dalam penerapan hukum.
Sebenarnya pada tahun 1989 di Bawean telah didirikan Ruang Sidang sebagai langkah terobosan, hanya sayangnya tidak ada tindak lanjut. Pada tahun 2001 di saat penulis melakukan penelitian di sana, kondisi bangunan itu telah rusak berat dan tidak layak guna, dan pada saat ini menjadi lebih parah lagi (lihat tayangan gambar di Media Bawean 12 Mei : Di Bawean Dulu Memiliki Pengadilan Negeri ). Dalam Undang-undang no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada pasal 7 menyatakan, bahwa dalam hal tertentu di daerah Kejaksaan Negeri dapat dibentuk Cabang Kejaksaan Negeri, yang dalam penjelasannya disebutkan, bahwa pembentukan Cabang Kejaksaan Negeri dilakukan apabila dipandang perlu dalam rangka pelayanan hukum dan keadilan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Terlebih lagi akan dirasakan urgensinya manakala kita telaah ketentuan pasal 28 Undang-undang no. 4 tahun 2004 yang menyatakan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Semangat ini pulalah yang di anut dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru) kita, serta berbagai perundang-undangan yang telah berlaku sebagaimana telah penulis utarakan di beberapa tulisan penulis. Maka itu diharapkan pihak pengambil kebijakan lebih kreatif dan inofatif dalam menyikapi permasalahan hukum dalam masyarakat, dan dapatlah kiranya segera mengambil langkah kongkrit untuk itu.
Oleh: A. Fuad Usfa
Sebuah Pendekatan Kasus di Pulau Bawean
1. Pulau Bawean
Secara Geografis Pulau Bawean terletak kira-kira 80 mil laut dari Pelabuhan Gresik, luas lebih kurang 200 Km2, masuk dalam wilayah Kabupaten Gresik dengan jumlah penduduk hampir memasuki seratus ribu jiwa. Transportasi umum antar pulau dilayani melalui Pelabuhan Bawean ke Pelabuhan Gresik (PP) via kapal motor, yang pada saat ini dilayani oleh Kapal Ekpress Bahari 8B dengan kapasitas 340 penumpang dalam tiga (3) kali seminggu.
2. Badan Peradilan
Berdasar pasal 10 Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan dalam lingakungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum meliputi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang bermuara pada Mahkamah Agung serta lembaga terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan maupun Penasehat Hukum.
Lembaga Peradilan yang terdapat di Pulau Bawean adalah Pengadilan Agama serta Kepolisian Sektor Sangkapura dan Tambak. Adapun Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri terletak di Ibu Kota Kabupaten Gresik.
3. Azas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Azas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang menggantikan Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970) yang dalam pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2) dinyatakan, bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, secara ekplisit tidak dijumpai redaksi cepat, sederhana dan biaya ringan, namun azas tersebut diamanatkan agar ditegakkan dalam undang-undang tesebut. Untuk itu dapat kita jumpai dalam penjelasan umum yang menyatakan, bahwa azas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat martabat manausia yang telah diletakkan di dalam undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu undang-undang nomor 14 tahun 1970 (penj. Undang-undang nomor 14 tahun 1970 ini telah diganti dengan undang-undang nomor 4 tahun 2004: Pen.) harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini (maksudnya Undang-undang nomor 8 Tahun 1981). Selanjutnya dinyatakan, bahwa azas tersebut antara lain peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkatan peradilan (penjelasan butir 3e).
Adapun pengertian sederhana dan biaya ringan hanya dijumpai dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) undang-undang no 4 tahun 2004 yang menyebutkan, bahwa yang dimaksud ‘sederhana’ adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara efisien dan efektif, dan yang dimaksud dengan ‘biaya ringan’ adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Sedang yang dimaksud dengan cepat tidak dijumpai pun dalam penjelasan tesebut, untuk itu kiranya dapat diukur berdasar kelaziman yang dapat dirasakan oleh masyarakat atas dasar perlakuan yang wajar dan seharusnya dari aparat penegak hukum, misalnya terhadap suatu kasus, maka Kepolisian segera menyidik dan melimpahkan, jaksa segera melimpahkan dan menuntut, hakim segera mengadili dan memeutus tanpa adanya penundaan yang tidak berdasar undang-undang serta harus dengan bertanggung jawab. Maka itu undang-undang menggunakan redaksi antara lain segera, secepatnya dan juga ditegaskannya pembatasan waktu penahanan di segala tingkatan proses, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan.
4. Beban Biaya
Dalam kaitannya dengan kasus yang terjadi di Pulau Bawean, persoalan yang urgen untuk dicermati adalah berkaitan dengan azas ‘Biaya Ringan’. Dimaksudkan dengan biaya disini tentu tidak hanya sebatas biaya perkara yang ditentukan di Kepeniteraan Pengadilan, melainkan harus dipahami dalam pengertian yang luas, yaitu meliputi seluruh biaya yang harus dipikul dalam seluruh proses peradilan oleh para pihak ataupun yang terkait dengan perkara.
Secara materiil beban biaya yang harus dipikul dalam perkara pidana untuk kasus di Pulau Bawean tidak sedikit, dan sering pula dirasakan tidak tertanggungkan. Sebagai illustrasi dapatlah di sini penulis utarakan sebagaimana hasil penelitian penulis pada tahun 2001, yaitu yang terjadi terhadap kasus (anak) dengan pelaku Wn dalam kasus penganiayaan biasa, yang dimulai dengan bergurau antar kawan, kemudian Wn memukulkan pisau pada kawan berguraunya itu yang menyebabkan luka ringan, namun orang tua sang teman tidak terima sehingga harus sampai pada proses Pengadilan (di Gresik). Untuk itu orang tua Wn saja harus mengeluarkan dana tidak kurang dari enam juta rupiah, padahal ayah Wn telah meninggal dunia, sedang ibunya bekerja mengambil upahan membuat kue pada saat dini hari untuk dijual di pasar. Dalam setiap harga bahan Rp.10.000, (sepuluh ribu rupiah) sang ibu mendapatkan upah Rp.2.000,- (dua ribu rupiah). Dalam setiap harinya ia hanya dapat pesanan maksimaum Rp.50.000,- saja, yang berarti hanya memperoleh uang jasa setinggi-tingginya Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dalam sehari. Coba renungkan, betapa berat beban biaya yang harus ditanggung.
Sebagaimana telah disinggung di muka, menggelarkan sidang di Gresik tentu membutuhkan beban biaya yang tidak sedikit, biaya tiket kapal, penginapan, kebutuhan hidup selama di Gresik dan lain-lain, hal tersebut amatlah dirasakan lagi manakala menimpa kasus anak dan/atau bila tersangka atau terdakwanya tidak ditahan, yang tentu hal tersebut tidak hanya sebatas pada tersangka atau terdakwa saja, melainkan juga terhadap saksi, termasuk saksi korban, akhli ataupun pengacara. Belum lagi berbicara tentang kasus perdata, bisa-bisa yang direbut kambing hilang sapi.
Mungkin seseorang akan berdalih bahwa ketentuan pasal 162 ayat (2) KUHAP yang menyatakan jika saksi sudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang diberika itu dibacakan, dan selanjutnya dinyatakan (ayat 2) bahwa jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Namun yang harus dipahami bahwa ketentuan pasal 162 ayat (2) tersebut adalah merupakan pengecualian dan tidak bisa diterapkan terhadap setiap kasus. Bilamana ketentuan pasal 162 ayat (2) itu dianggap sebagai satu jalan keluar untuk setiap kasus (dhi. Di Pulau Bawean), maka dengan menggunakan penafsiran sistematis berarti telah terjadi kepincangan atau bahkan diskriminasi hukum, sebab bertentangan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) undang-undang no. 4 tahun 2004 yang menyatakan, bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Perhatikan pula penempatan ketentuan di ayat (2)nya yang memberi ketegasan, bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, bahkan juga bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tegasnya disini adalah, bahwa demi hukum dhi. warga Bawean sederajat dengan warga yang lain atau dengan menggunakan kalimat negatif, bahwa dhi. Warga Bawean bukanlah warga kelas di bawah warga lain. Bilamana hakim memaksakan diri memutus hanya berdasar pasal 162 ayat (2) tersebut dengan tidak memanggil saksi ataupun akhli dengan dasar alasan tempat tinggal atau tempat kediaman di pulau Bawean jauh, maka berarti hakim telah melakukan kesalahan dalam penerapan hukum.
Sebenarnya pada tahun 1989 di Bawean telah didirikan Ruang Sidang sebagai langkah terobosan, hanya sayangnya tidak ada tindak lanjut. Pada tahun 2001 di saat penulis melakukan penelitian di sana, kondisi bangunan itu telah rusak berat dan tidak layak guna, dan pada saat ini menjadi lebih parah lagi (lihat tayangan gambar di Media Bawean 12 Mei : Di Bawean Dulu Memiliki Pengadilan Negeri ). Dalam Undang-undang no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada pasal 7 menyatakan, bahwa dalam hal tertentu di daerah Kejaksaan Negeri dapat dibentuk Cabang Kejaksaan Negeri, yang dalam penjelasannya disebutkan, bahwa pembentukan Cabang Kejaksaan Negeri dilakukan apabila dipandang perlu dalam rangka pelayanan hukum dan keadilan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Terlebih lagi akan dirasakan urgensinya manakala kita telaah ketentuan pasal 28 Undang-undang no. 4 tahun 2004 yang menyatakan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Semangat ini pulalah yang di anut dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru) kita, serta berbagai perundang-undangan yang telah berlaku sebagaimana telah penulis utarakan di beberapa tulisan penulis. Maka itu diharapkan pihak pengambil kebijakan lebih kreatif dan inofatif dalam menyikapi permasalahan hukum dalam masyarakat, dan dapatlah kiranya segera mengambil langkah kongkrit untuk itu.
Posting Komentar