Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bringing The State Closer To People

Bringing The State Closer To People

Posted by Media Bawean on Rabu, 03 Juni 2009

Media Bawean, 3 Juni 2009


Oleh : Musyayana

Max Weber (Sosiolog) mengatakan bahwa negara adalah sebuah sistem pemaksa yang memonopoli sarana-sarana kekerasan. Pada kehidupan sehari-hari, negara merupakan kekuatan imnipotent (maha kuasa) dan omnipresent (ada dimana-mana). Di Indonesia, setiap warga negara tidak bisa lepas dari negara. Negara bisa memaksa rakyat untuk membayar pajak, memenjarakan penjahat, memaksa orang membuat KTP, menguasai sumber daya alam, membatasi jumlah agama, mengatur tata cara pernikahan, sampai memaksa kaum perempuan untuk ikut KB (keluarga berencana). Secara historis, peran negara yang begitu besar itu tidak dirumuskan melaui kontrak sosial antara negara vs rakyat, tetapi rakyat menerima itu semua sebagai given.

Bagi ilmuwan dan aktivis NGO, negara adalah sebuah masalah yang terus menerus menjadi fokus penelitian. Gunnar Myrdal, dalam bukunya Asian Drama, melontarkan tentang konsep soft state, untuk menunjukkan ketidakmampuan negara-negara di kawasan Asia dalam memerangi kemiskinan karena masalah korupsi yang begitu besar. Sebaliknya, kaum Marxis selalu mengatakan bahwa negara adalah kekuatan yang omnipoten, strong, dan otonomi di hadapan rakyat. Negara menjadi penghisap terhadap kelas tertindas, sehingga kaum Marxis percaya bahwa negara harus dihapuskan. Sedangkan kelompok aktivis masih berkeyakinan bahwa people can do no wrong dan Negara merupakan sumber dari semua masalah. Bagi mereka, Negara adalah musuh sehingga yang diperlukan adalah perlawanan yang terorganisir dari massa rakyat.

Bagaimana kita memposisikan diri dalam konteks perdebatan tentang stateness? Bagimana kita menempatkan negara dalam kerangka demokrasi dan otonomi lokal? Didalam rezim otoritorian, yang mesti terjadi adalah negara yang kuat (strong state) dan masyarakat lemah (weak society), sehingga muncul gagasan bahwa untuk membangun demokrasi dibutuhkan masyarakat yang kuat dan negara yang lemah. Tetapi masih ada kelompok yang mensyaratkan ada keseimbangan kekuatan dan mutual trus antara negara dan masyarakat.

Perdebatan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku kalau kita mau sepakat dengan Word Development Report (WDR, 1997) yang akan mengusung semangat ”membawa negara lebih dekat dengan rakyat”. Menurut saya gagasan itu merupakan review (jika bukan kebalikan) terhadap semangat ”membawa negara pada posisi semula” (bringing the state back in) yang pernah dipromosikan oleh studi perbandingan politik pada dekade 1980-an. Gagasan ”membawa negara lebih dekat dengan rakyat” mengusulkan beberapa rekomendasi penting. Pertama; memadukan peranan dan kapasitas Negara dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses membangunan politik, transformasi ekonomi, dan retribusi sosial, misalnya dalam pemeliharaan law and order, kesehatan dan pendidikan publik, dan infrastruktur dasar sesuai dengan tuntutan masyarakat. Kedua; perlunya membangun kapasitas negara melalui penguatan institusi publik. Strategi ini mencakup strategi yang efektif, kontrol terhadap penggunaan sarana, pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja institusi-institusi negara, pembaruan pelayanan publik yang lebih dekat ke rakyat, penguatan lembaga peradilan, dan profesionalisme aparat keamanan. Ketiga; desentralisasi atau pengalihan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan dari negara ke rakyat. Seharusnya, penerima desentarisasi adalah masyarakat lokal, bukan pemerintah lokal. Sedangkan pemerintah menjalankan fungsi fasilitator kebutuhan masyarakat lokal. Keempat; Partisipasi masyarakat terhadap pembangunan dan pemerintahan, yaitu melibatkan masyarakat sebagai subyek yang menentukan proses pembuatan keputusan sampai kontrol terhadap pemerintahan.

Demokratisasi, desentralisasi dan partisipasi masyarakat merupakan pilar penting untuk mewujudkan human well-being. Demokrasi tidak selalu berhubungan dengan kebebasan, pemilihan umum, partai politik, atau lembaga legislatif, tetapi juga terkait dengan devolusi (desentralisasi) sumber daya politik dan ekonomi dari pusat ke daerah, dari daerah ke desa. Sebaliknya, jika pengelolaan pemerintahan lokal tidak didukung oleh nilai-nilai demokrasi (pelembagaan politik yang demokratis, partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas), maka desentralisasi sama saja dengan memindahkan sentralisasi maupun korupsi dari pusat ke daerah, dan dari daerah ke desa.

Kapasitas negara, demokratisasi, partisipasi masyarakat dan desentralisasi merupakan entry point yang terdapat dalam semangat ”Bringing The State Closer To People”. Kapasitas negara dan partsipasi mempunyai kaitana yang sangat erat yang bisa dirumuskan dalam kerangka penguatan akuntabilitas, resposivitas dan transparansi penyelenggaraan negara melalui partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak hanya terbatas pada pemilihan umum, karena proses elektoral tidak akan sanggup mengcover secara periodik informasi tentang preferensi yang berkembang dalam masyarakat. Alternatifnya adalah menggunakan wadah diluar pemilihan umum, yakni melalui organisasi sukarela maupun NGO.

Untuk memperkuat basis partisipasi rakyat, dibutuhkan revitalisasi modal sosial (social capital). Modal sosial tidak mengandalkan hubungan kontraktual dan aturan formal yang berkerja secara mekanis, maupun ikatan primordial yang sempit, melainkan berdasarkan pada nilai/norma informal maupun ikatan civility (penghormatan pada pluralisme dan toleransi) yang menjadi paduan utama untuk orang berpikir dan bertindak. Aturan informal yang disepakati bersama bisa menjamin keberlangsungan hubungan sosial dan memungkinkan rakyat melakukan kerjasama untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean