Media Bawean, 21 Juli 2009
Oleh: A.Fuad Usfa
1. Institusi Media Bawean
Media Bawean merupakan institusi pers, yaitu melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencarai, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi khususnya tentang pulau Bawean dan yang berkaitan dengan segala hal ikhwal pulau Bawean dan masyarakatnya.
Keberadaan Media Bawean merupakan wujud kepedulian terhadap eksistensi daerahnya menuju cita ideal dalam bergerak menggapai kemajuan di berbagai bidang dengan menggunakan media pers sebagai sarana perjuangan strategis.
2. Cuplikan Perkembangan Pers di Indonesia
Dinamika perkembangan pers di Indonesia telah mengalami berbagai pasang surut, hingga berakibat pula pada terjadinya beberapa perubahan identitas. Pada 1945 di saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia telah terdapat industri pers yang memperjuankan kemerdekaan Republik Indonesia, pada periode itu pers Indonesia merupakan pers perjuangan yang bertujuan nasionalis. Pada periode 1950an dan 1960an bergeser menjadi pers partisan daripada partai-partai politik, dan selanjutnya pada periode 1970an dan 1980an menjadi periode pers komersial, dan sejak awal 1990 hingga 1997 pers Indonesia mengalami ‘repolitisasi’ yaitu mulai melakukan penentaangan pada pemerintah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap baik tokoh-tokoh maupun kebijakan Orde Baru. Pada bulan Juli 1997 Indonesia dilanda krisis moniter, demikian pula hal tersebut berdampak terhadap indistri pers. Selanjutnya pada 1998 di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibi merupakan periode pers bebas, dan pada 23 September 1999 disahkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. (Hughes, 2001:21,26,28,29).
3. Pers Lokal
Menurut Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pers dimaknakan sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kirrlee Hughes, mahasiswa Australia yang mengikuti program ‘Australia Consurtium for In-Country Indonesian Studies’ (ACICIS) dalam Laporan Studi Lapangan-nya membagi pers berdasar kewilayahan menjadi pers daerah atau pers lokal, pers regional dan pers nasional, namun dalam laporannya itu hanya membatasi dalam pengertian pers khusus pada media surat kabar, walau begitu dapatlah diikuti pembagian pers atas dasar kewilayahan ke dalam tiga kategori tersebut dengan didasarkan atas fokus konten pemberitaannya. Maka dengan demikian dapatlah dimaknakan, bahwa pers lokal adalah pers yang konsentrasi pemberitaannya sifatnya terbatas pada suatu wilayah tertentu. Sedang berdasar pada penyelenggaraannya berdasar UU No 40 tahun 1999, pers dapat dibagai dalam dua kategori, yaitu Pers Nasional dan Pers Asing. Pers Nasional adalah Pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia, sedang Pers Asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing. Media Bawean adalah tergolong dalam kategori pers daerah atau pers lokal.
Bilamana pers regional muncul dan berkembang pada 1980an sebagai salah satu akibat diversifikasi dalam bidang pers, maka sejak masa reformasi muncul fenomena pers daerah atau pers lokal (Hughes, 2001:30). Masa sekarang adalah merupakan masa otonomi daerah yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan lebih banyak untuk daerah, maka mau tidak mau kepentingan daerah-daerah meningkat, dan sebagai konsekwensinya warga jadi lebih tertarik akan peristiwa dan isu-isu yang terjadi di daerahnya. (Hughes, 2001:31).
4. Fungsi Pers (Nasional)
Pers Indonesia merupakan bagian integral daripada sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan oleh karena sikap oponen menentang penindasan, berjuang bersama para pejuang dan pemimpin pada masa kolonial Belanda. Peranan pers nasional antara lain menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya suprimasi hukum dan pemenuhan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinnikaan. Selain itu juga berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Oleh sebab itu bangkitnya pers nasional haruslah mampu memberi penjelasan dan pencerahan kepada masyarakat atas semua kebijakan penyelenggara pemerintahan serta memberi motifasi dan harapan kepada bangsa Indonesia bahwa semua masalah bangsa ada solusinya. (Bachtiar Ali, Seputar Indonesia, 10 Mei 2008:7, dalam Kliping Humas Universitas Indonesia, dalam kebangkitan_pers_nasional.pdf)
Berdasar UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa fungsi pers nasional adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta dapat pula berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Media Bawean sebagai bagian daripada pers nasional (dengan merujuk pada UU No. 40 Tahun 1999 dan pandangan Bachtiar Ali) tidak bisa terlepas dari fungsi-fungsi tersebut di atas.
5. Pers Bawean
Bila merujuk pada pemaknaan pers sebagaimana ketentuan UU No. 40 tahun 1999, bermakna pers termasuk juga Bulletin. Jika itu yang dimaksudkan maka sesungguhnya pers telah dikenal sejak lama di Pulau Bawean, namun sifatnya masih amat terbatas baik luas cakupan konten, sebaran, lingkup isu, maupun masa terbitnya. Baru Media Baweanlah yang telah mampu membuka keterbatasan itu pada ranah yang jauh lebih luas dan terbuka. Sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan dan kepedulian yang kuat terhadap eksistensi daerahnya serta kesiapan menghadapi berbagai terpaan dalam dinamika perjuangan telah berada dibalik eksistensi Media Bawean. Dalam hemat penulis, dengan tanpa ada pretensi apapun, jujur saja, dengan melepaskan diri dari rasa suka dan tidak suka, Media Baawean telah memberi jawaban terhadap apa yang belum dilakukan oleh institusi dan/atau sesiapapun sebelumnya dalam pergulatan pers Bawean untuk membuka Bawean.
6. Media Bawean dan Keterbatasan
Eksistensi Media Bawean tidak terlepas daripada peran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Media Bawean dikelola dengan menggunakan teknologi modern, sedari bagaimana harus datang ke lokasi obyek, pengambilan dan pengumpulan data, pemerosesan sampai dengan penyajian dan lain sebagaainya. Oleh sebab itu pengelola dituntut mampu menguasai berbagai teknis penggunaan teknologi di bidangnya. Tentu sumber daya manusia yang berkiprah di dalamnya di samping harus memiliki tekad mental yang kokoh dan idealisme serta keakhlian khusus, juga harus berupaya mengatasi berkenaan dengan finansial, tenaga serta kemampuan menegerial.
Kita sama paham ada masa awal bergeraknya Media Bawean hanya memiliki sumber daya manusia saja dan belum memiliki alat teknologi yang diperlukan untuk pengelolaannya, melainkan hanya tambal sulam saja, oleh sebab itu pengelola harus pandai-pandai dalam seni pengelolaan, dan ternyata berhasil dengan menakjubkan. Dalam hal ini penulis jadi teringat akan kisah perjuangan Adam Malik dalam perintisan berdirinya Kantor Berita Antara di tahun 1937, beliau (waktu itu berusia 20 tahun) bersama Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim dan Pandu Kartawiguna bergerak dengan hanya bermodalkan satu meje tulis tua, satu mesin tulis tua serta satu mesin roneo tua.
7. Kritik
Manusia adalah makhluk sosial, tak kan bisa manusia hanya hidup sendirian, di situlah letak kekuatan manusia yang sekali gus juga merupakan kelemahan manusia. Bila ketinggian peradaban telah dicapai oleh karena kebersamaan, maka penghancuran terhadap peradaban itu juga akibat kebersamaan manusia. Dengan kebersamaannya berbagai interes telah menghiasi tangan-tangan manusia dengan untaian mas permata, demikian juga mereka telah melumuri tangan-tangannya dengan genangan lumpur kehinaan. Sering pergulatan antara yang hak dan yang batil telah menggiring manusia kepada ketidak pahaman. Diskursus sosial tidak mungkin dielakkan daripada eksistensi manusia itu sendiri. Sering ukuran kebenaran dinisbatkan pada ukuran diri ataupun kelompok, bagai orang buta yang hanya menangkap bagian tubuh gajah, ditangkapnya belalai, ia katakan gajah bulat panjang, yang lain lagi menangkap di bagian perut gajah, lalu dikatakannya bahwa gajah itu rata bagai tembok di rumahnya, kadang pula bagai memirsakan fatamorgana yang hanya masuk dalam alam bayang semata, dan terdapat pula diantaranya bagai si pendusta yang berkata merah walau telah nyalang di depannya bentangan putih mulus tak terbantahkan, belum lagi yang bagai orang dungu yang hendak mengajari si cerdik pandai, disamping pula terdapat si arif bijak yang mengikut irama nurani, bagai salju dengan dinginnya, bagai api dengan panasnya.
Alam sanjungan dan kritik, dalam tataran yang paling ektrim sekalipun akan selalu dialami oleh setiap insan, baik dalam ranah individu maupun kolektifa. Adakah sesuatu yang bebas dari kritik?.
Dalam hemat penulis ada beberapa mutifasi orang melakukan kritik, setidaknya beberapa hal pokok dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kepedulian Apa Adanya
Si pengeritik melakukan kritik semata-mata atas dasar keikhlasan, tidak terdapat pretensi apa-apa, kecuali hanya sapaan hati nurani, bagai kaedah air yang datang ke tempat yang rendah. Hanya saja dalam hal ini terkadang terdapat pengeritik yang berharap terlalu tinggi bagai tangan hendak memeluk gunung, bagai kail sejengkal hendak menjajaki dalamnya lautan.
2. Pretensi
Si pengeritik melakukan kritik disebabkan adanya sangkaan atas dasar tegangan kepentingan sepihak yang disifatkan negatif. Dalam hal ini dapat dibagi dalam:
2.1. Iri Hati (Dengki)
Karena tidak suka bila orang lain berhasil, sedang dirinya tidak mampu berbuat.
2.2. Tinggi Hati (Congkak)
Karena merasa dirinya lebih tinggi, lebih paham, dan lain-lain, walau sebetulnya bisa jadi tidak demikian adanya, namun ia ingin menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya lebih dari yang menjadi sasaran kritik.
2.3. Berlawanan Kepentingan
Karena adanya kepentingan yang berlawanan dengan pihak yang menjadi sasaran kritik, misalnya pihak koruptor melakukan kritik terhadap media yang memberitakan.
2.4. Sentimen
Karena sudah mempunyai sikap apriori sehingga segala yang dilakukan pihak yang menjadi sasaran kritik selalu tidak benar, tidak bagus dan lain sebagainya. Dalam kata lain selalu tidak disukai.
Adapaun menurut sifatnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: Menurut sifat tensinya dan menurut sifat kedewasaannya.
1. Menurut Sifat Tensinya
Ini dapat dibagi tiga kategori, yaitu:
1.1. Keras
Si pengeritik melakukan kritik secara keras, hal ini bisa disebabkan adanya perbedaan pandang yang mendasar. Keras berbeda dengan kasar. Kasar berkaitan dengan etika, maka kasar dapat diartikan tidak sopan, tidak mengindahkan tatakrama, misalnya dengan cara melecehkan, sinis, mengumpat, dengan menggunakan kata-kata kasar yang sepatutnya tidak digunakan dalam pergaulan masyarakat yang berperadaban. Sedang keras lebih pada pendekatan substansial.
1.2. Lunak
Si pengeritik melakukan kritik dengan menggunakan perinsip kehati-hatian.
1.3. Middle
Si pengeritik melakukan kritik secara keras, tapi tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam hal ini biasanya si pengeritik selalu menawarkan solusi.
2. Menurut Sifat Kedewasaannya
Sedang menurut sifat kedewasaannya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:
2.1.Kekanak-kanakan
Si pengeritik melakukan keritiknya bagai sifat si kanak-kanak, ia melakukan kritik seenak hatinya, kasarpun dilakukan, ia berharap adanya perhatian dari orang lain, dengan cara begitu ia ingin menunjukkan eksistensi dirinya.
2.2. Dewasa
Si pengeritik melakukan kritiknya secara bijak, ia lebih mengarah pada substansi dengan memperhatikan tatakrama dalam berkomunikasi.
Selanjutnya, berdasar bentuknya dapat dibagi dalam empat kategori, yaitui:
1. Lisan
Melakukan kritiknya secara lisan.
2. Tulisan
Melakukan kritiknya secara tertulis.
3. Isyarat
Melakukan kritiknya dengan menggunakan isarat (bahasa isyarat)
4. Aksi
Melakukan kritiknya secara aksi (biasa digunakan istilah unjuk rasa).
8. Media Bawean dan Kritik
Media Bawean melayani berbagai lapisan masyarakat, baik yang berdomisili di Bawean ataupun di luar daerah dan mancanegara. Dengan demikian dapatlah dipahami bila terdapatnya berbagai cara pemahaman terhadap suatu hal. Bisa jadi suatu hal yang menarik bagi mereka yang berada di luar daerah dan/atau di mancanegara tidak demikian halnya bagi yang berada di Bawean itu sendiri, bisa jadi fokus tulisan dan/atau berita dan/atau gambar dan sebagainya adalah merupakan isu yang dianggap menarik dan urgen untuk daerah dan/atau wilayah dan/atau Negara lain dan sebagainya belum tentu dipandang menarik dan/atau urgen untuk di daerah dan/atau wilayah dan/atau Negara lain. Memperhatikan hal itu saja tentu betapa rumitnya memang!!, bukankah konteks ruang saja telah berperan dalam membentuk alam gagasan dan metode, walau dalam kesamaan waktu sekalipun?!, dan orang yang bijak tentu akan memahami hal itu. Pada konteks itu pulalah yang merupakan salah satu kekuatan dan urgensi eksistensi Media Bawean untuk menciptakan diskursus yang positif dan luar biasa. Dalam hemat penulis, di situ pulalah menariknya Media Bawean, dan sekaligus justru menjadi beban yang amat berat bagi pengelola Media Bawean.
Dari berbagai uraian diatas, dapatlah dipahami bila Media Bawean tidak mungkin untuk menghindar dari terpaan kritik.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya dengan adanya berbagai kritik itu merupakan suatu pertanda adanya pengakuan dan perhatian terhadap eksistensi Media Bawean. Dalam hemat penulis berbagai kritik sumbang yang ditujukan kepada Media Bawean telah ditanggapi secara proporsional.
9. Ketokohan
Berbagai kritik itu juga tanpa tedeng aling-aling menohok pada Abdul Basit Karim selaku aktor. Apa maknanya itu?!, itu bermakna bahwa figur sentral dan ketokohan Abdul Basit Karim telah memperoleh pengakuan dalam masyarakat. Dengan kata lain berbagai kritik itu menunjukkan adanya pengakuan terhadap keberadaan Abdul Basit Karim sebagai tokoh Media Bawean (ciri tokoh adalah disamping mempeloleh dukungan juga kontra dukungan). Oleh karena Media Bawean adalah lembaga pers Bawean yang berorientasi umum dengan skala jangkauan yang amat luas, dan belum pernah dibuat oleh apa dan/atau sesiapa sebelumnya, maka dengan jujur, dan terlepas dari persoalan rasa suka dan tidak suka, tidak berlebihanlah kiranya bila penulis berpendapat, bahwa Abdul Basit Karim adalah merupakan tokoh dan perintis pers Bawean. Kedepan, tentu tugas Abdul Basit Karim hendaknya membina kader, sebab sering suatu kejayaan menjadi pudar oleh sebab ketiadaan kader yang mumpuni.
Western Austraalia, 19 Juli 2009
DAFTAR BACAAN
Bachtiar Ali, Kebangkitan Pers Nasional, Seputar Indonesia, Kliping, Humas Universitas Indonesia, 10 Mei 2008, dalam kebangkitan_pers_nasional
Kirrlee Hughes, Wajah Pers Malang, Laporan Studi Lapangan, Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan Australia Consurtium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS), 2001
Mohammad Riza Fahlevi, Medianya Orang Bawean, Media Bawean, 8 Juli 2009
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers
Oleh: A.Fuad Usfa
1. Institusi Media Bawean
Media Bawean merupakan institusi pers, yaitu melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencarai, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi khususnya tentang pulau Bawean dan yang berkaitan dengan segala hal ikhwal pulau Bawean dan masyarakatnya.
Keberadaan Media Bawean merupakan wujud kepedulian terhadap eksistensi daerahnya menuju cita ideal dalam bergerak menggapai kemajuan di berbagai bidang dengan menggunakan media pers sebagai sarana perjuangan strategis.
2. Cuplikan Perkembangan Pers di Indonesia
Dinamika perkembangan pers di Indonesia telah mengalami berbagai pasang surut, hingga berakibat pula pada terjadinya beberapa perubahan identitas. Pada 1945 di saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia telah terdapat industri pers yang memperjuankan kemerdekaan Republik Indonesia, pada periode itu pers Indonesia merupakan pers perjuangan yang bertujuan nasionalis. Pada periode 1950an dan 1960an bergeser menjadi pers partisan daripada partai-partai politik, dan selanjutnya pada periode 1970an dan 1980an menjadi periode pers komersial, dan sejak awal 1990 hingga 1997 pers Indonesia mengalami ‘repolitisasi’ yaitu mulai melakukan penentaangan pada pemerintah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap baik tokoh-tokoh maupun kebijakan Orde Baru. Pada bulan Juli 1997 Indonesia dilanda krisis moniter, demikian pula hal tersebut berdampak terhadap indistri pers. Selanjutnya pada 1998 di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibi merupakan periode pers bebas, dan pada 23 September 1999 disahkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. (Hughes, 2001:21,26,28,29).
3. Pers Lokal
Menurut Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pers dimaknakan sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kirrlee Hughes, mahasiswa Australia yang mengikuti program ‘Australia Consurtium for In-Country Indonesian Studies’ (ACICIS) dalam Laporan Studi Lapangan-nya membagi pers berdasar kewilayahan menjadi pers daerah atau pers lokal, pers regional dan pers nasional, namun dalam laporannya itu hanya membatasi dalam pengertian pers khusus pada media surat kabar, walau begitu dapatlah diikuti pembagian pers atas dasar kewilayahan ke dalam tiga kategori tersebut dengan didasarkan atas fokus konten pemberitaannya. Maka dengan demikian dapatlah dimaknakan, bahwa pers lokal adalah pers yang konsentrasi pemberitaannya sifatnya terbatas pada suatu wilayah tertentu. Sedang berdasar pada penyelenggaraannya berdasar UU No 40 tahun 1999, pers dapat dibagai dalam dua kategori, yaitu Pers Nasional dan Pers Asing. Pers Nasional adalah Pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia, sedang Pers Asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing. Media Bawean adalah tergolong dalam kategori pers daerah atau pers lokal.
Bilamana pers regional muncul dan berkembang pada 1980an sebagai salah satu akibat diversifikasi dalam bidang pers, maka sejak masa reformasi muncul fenomena pers daerah atau pers lokal (Hughes, 2001:30). Masa sekarang adalah merupakan masa otonomi daerah yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan lebih banyak untuk daerah, maka mau tidak mau kepentingan daerah-daerah meningkat, dan sebagai konsekwensinya warga jadi lebih tertarik akan peristiwa dan isu-isu yang terjadi di daerahnya. (Hughes, 2001:31).
4. Fungsi Pers (Nasional)
Pers Indonesia merupakan bagian integral daripada sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan oleh karena sikap oponen menentang penindasan, berjuang bersama para pejuang dan pemimpin pada masa kolonial Belanda. Peranan pers nasional antara lain menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya suprimasi hukum dan pemenuhan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinnikaan. Selain itu juga berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Oleh sebab itu bangkitnya pers nasional haruslah mampu memberi penjelasan dan pencerahan kepada masyarakat atas semua kebijakan penyelenggara pemerintahan serta memberi motifasi dan harapan kepada bangsa Indonesia bahwa semua masalah bangsa ada solusinya. (Bachtiar Ali, Seputar Indonesia, 10 Mei 2008:7, dalam Kliping Humas Universitas Indonesia, dalam kebangkitan_pers_nasional.pdf)
Berdasar UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa fungsi pers nasional adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta dapat pula berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Media Bawean sebagai bagian daripada pers nasional (dengan merujuk pada UU No. 40 Tahun 1999 dan pandangan Bachtiar Ali) tidak bisa terlepas dari fungsi-fungsi tersebut di atas.
5. Pers Bawean
Bila merujuk pada pemaknaan pers sebagaimana ketentuan UU No. 40 tahun 1999, bermakna pers termasuk juga Bulletin. Jika itu yang dimaksudkan maka sesungguhnya pers telah dikenal sejak lama di Pulau Bawean, namun sifatnya masih amat terbatas baik luas cakupan konten, sebaran, lingkup isu, maupun masa terbitnya. Baru Media Baweanlah yang telah mampu membuka keterbatasan itu pada ranah yang jauh lebih luas dan terbuka. Sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan dan kepedulian yang kuat terhadap eksistensi daerahnya serta kesiapan menghadapi berbagai terpaan dalam dinamika perjuangan telah berada dibalik eksistensi Media Bawean. Dalam hemat penulis, dengan tanpa ada pretensi apapun, jujur saja, dengan melepaskan diri dari rasa suka dan tidak suka, Media Baawean telah memberi jawaban terhadap apa yang belum dilakukan oleh institusi dan/atau sesiapapun sebelumnya dalam pergulatan pers Bawean untuk membuka Bawean.
6. Media Bawean dan Keterbatasan
Eksistensi Media Bawean tidak terlepas daripada peran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Media Bawean dikelola dengan menggunakan teknologi modern, sedari bagaimana harus datang ke lokasi obyek, pengambilan dan pengumpulan data, pemerosesan sampai dengan penyajian dan lain sebagaainya. Oleh sebab itu pengelola dituntut mampu menguasai berbagai teknis penggunaan teknologi di bidangnya. Tentu sumber daya manusia yang berkiprah di dalamnya di samping harus memiliki tekad mental yang kokoh dan idealisme serta keakhlian khusus, juga harus berupaya mengatasi berkenaan dengan finansial, tenaga serta kemampuan menegerial.
Kita sama paham ada masa awal bergeraknya Media Bawean hanya memiliki sumber daya manusia saja dan belum memiliki alat teknologi yang diperlukan untuk pengelolaannya, melainkan hanya tambal sulam saja, oleh sebab itu pengelola harus pandai-pandai dalam seni pengelolaan, dan ternyata berhasil dengan menakjubkan. Dalam hal ini penulis jadi teringat akan kisah perjuangan Adam Malik dalam perintisan berdirinya Kantor Berita Antara di tahun 1937, beliau (waktu itu berusia 20 tahun) bersama Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim dan Pandu Kartawiguna bergerak dengan hanya bermodalkan satu meje tulis tua, satu mesin tulis tua serta satu mesin roneo tua.
7. Kritik
Manusia adalah makhluk sosial, tak kan bisa manusia hanya hidup sendirian, di situlah letak kekuatan manusia yang sekali gus juga merupakan kelemahan manusia. Bila ketinggian peradaban telah dicapai oleh karena kebersamaan, maka penghancuran terhadap peradaban itu juga akibat kebersamaan manusia. Dengan kebersamaannya berbagai interes telah menghiasi tangan-tangan manusia dengan untaian mas permata, demikian juga mereka telah melumuri tangan-tangannya dengan genangan lumpur kehinaan. Sering pergulatan antara yang hak dan yang batil telah menggiring manusia kepada ketidak pahaman. Diskursus sosial tidak mungkin dielakkan daripada eksistensi manusia itu sendiri. Sering ukuran kebenaran dinisbatkan pada ukuran diri ataupun kelompok, bagai orang buta yang hanya menangkap bagian tubuh gajah, ditangkapnya belalai, ia katakan gajah bulat panjang, yang lain lagi menangkap di bagian perut gajah, lalu dikatakannya bahwa gajah itu rata bagai tembok di rumahnya, kadang pula bagai memirsakan fatamorgana yang hanya masuk dalam alam bayang semata, dan terdapat pula diantaranya bagai si pendusta yang berkata merah walau telah nyalang di depannya bentangan putih mulus tak terbantahkan, belum lagi yang bagai orang dungu yang hendak mengajari si cerdik pandai, disamping pula terdapat si arif bijak yang mengikut irama nurani, bagai salju dengan dinginnya, bagai api dengan panasnya.
Alam sanjungan dan kritik, dalam tataran yang paling ektrim sekalipun akan selalu dialami oleh setiap insan, baik dalam ranah individu maupun kolektifa. Adakah sesuatu yang bebas dari kritik?.
Dalam hemat penulis ada beberapa mutifasi orang melakukan kritik, setidaknya beberapa hal pokok dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kepedulian Apa Adanya
Si pengeritik melakukan kritik semata-mata atas dasar keikhlasan, tidak terdapat pretensi apa-apa, kecuali hanya sapaan hati nurani, bagai kaedah air yang datang ke tempat yang rendah. Hanya saja dalam hal ini terkadang terdapat pengeritik yang berharap terlalu tinggi bagai tangan hendak memeluk gunung, bagai kail sejengkal hendak menjajaki dalamnya lautan.
2. Pretensi
Si pengeritik melakukan kritik disebabkan adanya sangkaan atas dasar tegangan kepentingan sepihak yang disifatkan negatif. Dalam hal ini dapat dibagi dalam:
2.1. Iri Hati (Dengki)
Karena tidak suka bila orang lain berhasil, sedang dirinya tidak mampu berbuat.
2.2. Tinggi Hati (Congkak)
Karena merasa dirinya lebih tinggi, lebih paham, dan lain-lain, walau sebetulnya bisa jadi tidak demikian adanya, namun ia ingin menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya lebih dari yang menjadi sasaran kritik.
2.3. Berlawanan Kepentingan
Karena adanya kepentingan yang berlawanan dengan pihak yang menjadi sasaran kritik, misalnya pihak koruptor melakukan kritik terhadap media yang memberitakan.
2.4. Sentimen
Karena sudah mempunyai sikap apriori sehingga segala yang dilakukan pihak yang menjadi sasaran kritik selalu tidak benar, tidak bagus dan lain sebagainya. Dalam kata lain selalu tidak disukai.
Adapaun menurut sifatnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: Menurut sifat tensinya dan menurut sifat kedewasaannya.
1. Menurut Sifat Tensinya
Ini dapat dibagi tiga kategori, yaitu:
1.1. Keras
Si pengeritik melakukan kritik secara keras, hal ini bisa disebabkan adanya perbedaan pandang yang mendasar. Keras berbeda dengan kasar. Kasar berkaitan dengan etika, maka kasar dapat diartikan tidak sopan, tidak mengindahkan tatakrama, misalnya dengan cara melecehkan, sinis, mengumpat, dengan menggunakan kata-kata kasar yang sepatutnya tidak digunakan dalam pergaulan masyarakat yang berperadaban. Sedang keras lebih pada pendekatan substansial.
1.2. Lunak
Si pengeritik melakukan kritik dengan menggunakan perinsip kehati-hatian.
1.3. Middle
Si pengeritik melakukan kritik secara keras, tapi tetap menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam hal ini biasanya si pengeritik selalu menawarkan solusi.
2. Menurut Sifat Kedewasaannya
Sedang menurut sifat kedewasaannya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:
2.1.Kekanak-kanakan
Si pengeritik melakukan keritiknya bagai sifat si kanak-kanak, ia melakukan kritik seenak hatinya, kasarpun dilakukan, ia berharap adanya perhatian dari orang lain, dengan cara begitu ia ingin menunjukkan eksistensi dirinya.
2.2. Dewasa
Si pengeritik melakukan kritiknya secara bijak, ia lebih mengarah pada substansi dengan memperhatikan tatakrama dalam berkomunikasi.
Selanjutnya, berdasar bentuknya dapat dibagi dalam empat kategori, yaitui:
1. Lisan
Melakukan kritiknya secara lisan.
2. Tulisan
Melakukan kritiknya secara tertulis.
3. Isyarat
Melakukan kritiknya dengan menggunakan isarat (bahasa isyarat)
4. Aksi
Melakukan kritiknya secara aksi (biasa digunakan istilah unjuk rasa).
8. Media Bawean dan Kritik
Media Bawean melayani berbagai lapisan masyarakat, baik yang berdomisili di Bawean ataupun di luar daerah dan mancanegara. Dengan demikian dapatlah dipahami bila terdapatnya berbagai cara pemahaman terhadap suatu hal. Bisa jadi suatu hal yang menarik bagi mereka yang berada di luar daerah dan/atau di mancanegara tidak demikian halnya bagi yang berada di Bawean itu sendiri, bisa jadi fokus tulisan dan/atau berita dan/atau gambar dan sebagainya adalah merupakan isu yang dianggap menarik dan urgen untuk daerah dan/atau wilayah dan/atau Negara lain dan sebagainya belum tentu dipandang menarik dan/atau urgen untuk di daerah dan/atau wilayah dan/atau Negara lain. Memperhatikan hal itu saja tentu betapa rumitnya memang!!, bukankah konteks ruang saja telah berperan dalam membentuk alam gagasan dan metode, walau dalam kesamaan waktu sekalipun?!, dan orang yang bijak tentu akan memahami hal itu. Pada konteks itu pulalah yang merupakan salah satu kekuatan dan urgensi eksistensi Media Bawean untuk menciptakan diskursus yang positif dan luar biasa. Dalam hemat penulis, di situ pulalah menariknya Media Bawean, dan sekaligus justru menjadi beban yang amat berat bagi pengelola Media Bawean.
Dari berbagai uraian diatas, dapatlah dipahami bila Media Bawean tidak mungkin untuk menghindar dari terpaan kritik.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya dengan adanya berbagai kritik itu merupakan suatu pertanda adanya pengakuan dan perhatian terhadap eksistensi Media Bawean. Dalam hemat penulis berbagai kritik sumbang yang ditujukan kepada Media Bawean telah ditanggapi secara proporsional.
9. Ketokohan
Berbagai kritik itu juga tanpa tedeng aling-aling menohok pada Abdul Basit Karim selaku aktor. Apa maknanya itu?!, itu bermakna bahwa figur sentral dan ketokohan Abdul Basit Karim telah memperoleh pengakuan dalam masyarakat. Dengan kata lain berbagai kritik itu menunjukkan adanya pengakuan terhadap keberadaan Abdul Basit Karim sebagai tokoh Media Bawean (ciri tokoh adalah disamping mempeloleh dukungan juga kontra dukungan). Oleh karena Media Bawean adalah lembaga pers Bawean yang berorientasi umum dengan skala jangkauan yang amat luas, dan belum pernah dibuat oleh apa dan/atau sesiapa sebelumnya, maka dengan jujur, dan terlepas dari persoalan rasa suka dan tidak suka, tidak berlebihanlah kiranya bila penulis berpendapat, bahwa Abdul Basit Karim adalah merupakan tokoh dan perintis pers Bawean. Kedepan, tentu tugas Abdul Basit Karim hendaknya membina kader, sebab sering suatu kejayaan menjadi pudar oleh sebab ketiadaan kader yang mumpuni.
Western Austraalia, 19 Juli 2009
DAFTAR BACAAN
Bachtiar Ali, Kebangkitan Pers Nasional, Seputar Indonesia, Kliping, Humas Universitas Indonesia, 10 Mei 2008, dalam kebangkitan_pers_nasional
Kirrlee Hughes, Wajah Pers Malang, Laporan Studi Lapangan, Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan Australia Consurtium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS), 2001
Mohammad Riza Fahlevi, Medianya Orang Bawean, Media Bawean, 8 Juli 2009
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers
Posting Komentar