Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Problematika Gagasan Pengembangan Pulau Bawean Sebagai Kawasan Wisata

Problematika Gagasan Pengembangan Pulau Bawean Sebagai Kawasan Wisata

Posted by Media Bawean on Senin, 19 Oktober 2009

Media Bawean, 19 Oktober 2009

Oleh; A. Fuad Usfa

1. Pendahuluan
Perbincangan perihal pengembangan P. Bawean sebagai kawasan wisata telah bergulir sedemikian rupa. Konon Pemerintah telah melakukan langkah-langkah dalam upaya mewujudkannya. Persoalannya bagaimana kesadaran (pemahaman sadar) kita tentang konsep pengembangan kawasan wisata yang tentu akan membawa berbagai konsekwensi.

2. Apa Product Kita?
Kepariwisataan merupakan industri, dengan demikian tentu harus punya product, dan dari product itu kita mesti memasarkan, yaitu memasarkan ke tengah-tengah masyarakat luas, melintas daerah dan Negara. Bilamana product itu menarik, maka akan makin banyaklah peminat, demikian pula sebaliknya. Si peminat (calon pembeli) tentu akan menakar kesesuaian dengan selera dan kepentingannya, sama halnya sebagaimana kita juga bila berposisi sebagaimana mereka. Bisa jadi selera atau kepentingan mereka sama dengan kita, bisa jadi pula berbeda. Kita sebagai tuan rumah (produsen) tentu dituntut mampu menawarkan hasil produksi yang sesuai dengan harapan mereka.

Sasaran wisata disebut obyek, oleh sebab itu si wisatawan bermakna subyek, dengan demikian mereka berhak menentukan. Mereka mempunyai timbangan yang beragam, dan kita tidak bisa menggiring mereka untuk menerima begitu saja atas dasar penilaian kita, kita hanya bisa menunjukkan pada mereka bahwa apa yang kita miliki memanglah unggul baik dalam takaran kita maupun (utamanya) mereka. Artinya janganlah kita bicara panorama Pulau Bawean indah, bagus jangan hanya dalam takaran kita saja, kita sudah harus bicara dalam konteks skala pasar, untuk itu pula kita mesti memetakan tentang apa yang kita miliki dan pangsa pasar. Setelah itu, lalu mau diapakan?!!, apakah akan dibiarkan begitu saja seperti apa adanya, lalu si wisatawan akan ‘dipaksa’ untuk seperti kita saja yang datang ke pantai, lalu bakar ikan dan sebagainya, selanjutnya manggut-manggut seraya bergumam, ‘indahnya pantai kita ini…!!!’, lalu pulang, ataukah akan dikelola secara professional sesuai pola bisnis?, lalu dibangunnya hotel-hotel berskala domestik dan internasional, pantai yang alamipun dipoles sedemikian rupa walau tanpa menghilangkan nuansa alaminya, dan sebagainya. Demikian pula dengan gunung-gunung, air terjun, danau, dan sebagainya. Belum lagi pengembangan obyek wisata baru. Oleh sebab mereka yang datang selalu pula dalam satu keluarga sehingga fasilitas untuk anak-anak mereka harus disediakan, sebagai satu kesatuan paket. Orang-orang kayapun akan datang membangun villa-vila di lembah-lembah, di bukit-bukit ataupun di pantai-pantai sebagai tempat peristirahatan dan sebagainya.

Selanjutnya untuk memasarkan product kita harus mengenalkan, yaitu dengan jalan mempromosikan product kita.

3. Sarana dan Prasarana
Kita punya product, namun bagaimana harus mencapai dan mendapatkan product kita itu?. Untuk itu tentu diperlukan sarana dan prasarana, oleh sebab sasarannya adalah domistik dan mancanegara (wisdom dan wisman), maka sarana dan prasarana itu haruslah memenuhi standard baik domistik maupun internasional. Sebagaimana ulasan di atas juga, dalam hal ini tentu diperlukan pihak penanam modal (investor) berskala besar, menengah serta kecil, adapun investor tentu akan menghitung dari aspek kelayakan dalam skala bisnis.

Tak terkecuali dengan sarana transportasi yang tentu harus rutin dan berkelayakan (baik domistik maupun internasional), sebab wisatawan mesti menjangka lama perjalanan oleh sebab biasanya mereka berwisata di saat waktu luang/libur (holiday) saja, sehingga bagi mereka waktu sangatlah diperhitungkan, apa lagi bilamana sasaran wisata tidak hanya ke P. Bawean saja.

4. Suatu yang Menjanjikan
Bilamana pengembangan wisata ini berjalan dengan baik, maka kawasan Pulau Bawean akan dipoles sedemikian rupa, sarana dan prasarana ataupun berbagai fasilitas umum akan dibangun dengan pola modern, maka secara ekonomis akan mampu membantu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, oleh sebab akan terjadi perputaran uang yang cepat. Dengan demikian akan bermunculanlah pasar (sentra-senra usaha) yang amat kondusif untuk pengembangan semua sektor uasaha. Sebagai illustrasi, katakana misalnya bila dalam satu minggu saja datang seribu wisatawan, dan rata-rata setiap wisatawan mengeluarkan uang satu juta rupiah, maka berarti tambahan uang yang beredar dari sektor itu sudah mencapai satu milyard rupiah, yang berarti dalam satu bulan akan mengucurkan tambahan dana yang akan mengalir dan berputar sebesar empat milyard rupiah, demikian seterusnya. Hanya saja persoalan yang muncul kemudian adalah di arus mana uang itu mengalir dan berputar?, berapa yang mampu diserap oleh pribumi (penduduk tetap), dan dari serapan pribumi tersebut berapa prosenkah yang berputar di arus bawah. Pada konteks ini peran Pemerintah sangat diharapkan dalam mengeluarkan berbagai kebijakan (regulasi) yang bisa diharapkan dapat memberi perlindungan terhadap pemodal kecil/menengah dan arus bawah (pribumi), sehingga kalangan masyarakat kita tidak justru menjadi obyek. Demikian pula peran daripada tokoh-tokoh masyarakat. Persoalannya mungkinkah?!. Secara ideal, tentu harus!!!. Banyak pembelajaran yang mesti kita telaah, bila kita mau.

5. Antisipasi
Salahsatu kelemahan kita adalah pada ketiada mampuan mengantisipasi. Sering kita melakukan suatu pengambilan keputusan untuk jangka waktu kini (mengikut trend), dan hanya untuk jangka waktu pendek (sesaat) saja, padahal masa kini akan tertinggal untuk hari esok, sehingga begitu hari esok tiba kita mesti menyesuaikan lagi dengan masa itu, yang dengan demikian kita akan selalu berada dalam posisi tertinggal dari mereka. Sering kita selalu berpikir terlalu teknis, tidak antisipatif. Berkaitan dengan daya antisipasi ini sebagai illustrasi penulis teringat akan apa yang pernah diutarakan oleh Lukman Harun (almarhum), beliau mengutarakan suatu contoh, tatkala kita memilih sekolah, sering kita memilih yang menjadi trend masa kini, padahal untuk empat tahun ke depan (tergantung tingkatan, maksudnya di masa kita telah lulus kelak) bidang tersebut sudah tidak diperlukan lagi, kalaupun diperlukan sudah overloud (sudah mencapai titik jenuh), sudah terjadi kondisi masyarakat yang berpendidikan berlebih. Kalangan Cina berbeda, mereka mencari sekolah yang bilamana mereka telah lulus kelak maka bidang yang ditekuninya itu memang diperlukan, misalnya bidang internet, sehingga pada masanya yang tepat merekalah yang menguasai bidang internet, pihak lain belum, dengan demikian merekalah yang menguasai bidang itu tepat pada masanya, demikian seterusnya. Mereka selalu memperhitungkan prospek dengan cermat. Suatu illustrasi lain lagi misalnya apa yanag pernah diutarakan oleh Amin Rais, pada masa lalu kompeni batik di jawa tengah dikuasai oleh kangan pribumi, oleh sebab dalam tingkatan struktur masyarakat Jawa –(nusantara)-- pengawai negeri memiliki tingkatan status sosial yang lebih tinggi, maka putra-putra mereka disekolahkan untuk menduduki status pegawai itu, sehingga di saat arus modal terbuka lebar, bidang tersebut telah diambil alih kalangan non pri, sedang kalangan pribumi tadi sudah tercerabut dari buminya, sedang bidang bisnis yang sangat menjajikan itu terlepas dari genggamannya.

Adapun yang penulis maksudkan dalam kontek ini, persoalannya, bilamana P. Bawean kelak sudah menjadi kawasan wisata, sejauh mana antisipasi kita di sektor ini?, apakah menunggu menggelindingnya bola di hadapan kita ataukah akan menyambut bola?. Ataukah hanya akan menjadi penonton?, tentu tidak!!!.

6. Dampak
Segala perubahan, di mana dan kapanpun juga pasti akan menumbuhkan dampak baik positif maupun negatif, hal tersebut merupakan konsekwensi logis. Terhadap dampak negatif yang dapat kita lakukan adalah mengatasi dampak negatif yang terjadi dan yang mungkin terjadi. Dampak tersebut berupa dampak lingkungan (DAL) dan dampak sosial (DAS). Dampak lingkungan misalnya bisa terjadi terhadap kesediaan air bumi manakala telah dibangunnya hotel-hotel serta tempat-tempat pengiapan lain, pemandian, tempat-tempat rekreasi buatan dan sebagainya, sehingga berdampak terhadap menurunnya tingkat kecukupan air untuk keperluan rumahtangga dan sektor usaha kecil maupun tingkat kesuburan tanaman secara luas dan sebagainya. Adapun dampak sosial bisa terjadi disebabkan terjadinya gesekan dengan berbagai suku dan bangsa lain yang beragam budaya, gaya hidup, pendidikan, status sosial dan sebagainya, yang mana kalangan wisatawan selalunya berasal dari kalangan kelas berpunya sehingga daya pengaruhnya akan lebih tinggi, dan terutama bagi mereka yang sedang dalam usia pencarian patron tentu lebih kondusif, serta berbagai yang lainnya.

7. Konstruksi

Tidak semua kawasan wisata mempunyai konstruksi yang sama, coba perhatikan di Indonesia (Bali, Malang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Padang, Toba, dan sebagainya), Singapore, Malaysia, Thailand, Mesir, Australia dan sebagainya. Lalu kita hendak membangun pola wisata yang bagaimana?, atau kita akan menggunakan pola tersendiri?, mungkinkah?!!, atau gabungan dari itu?, kemana saja kita harus belajar, lalu yang mungkin dicontoh?!!, atau pasrahkan saja pada Pemerintah atau para pemilik modal?, atau biarkan saja bergulir secara alami tanpa perlu akselarasi ataupun pengelolaan secara professional?!!.

8. Penutup

Adapun yang pasti, waktu akan terus bergulir, masa depan adalah keniscayaan. Perubahan terjadi karena gerak, gerak akan selalu dinamik. Takkan ada perubahan tanpa gerak, yang disebut diampun adalah gerak, karena gerak itulah maka berubah, secara sadar gerak menuntut ke pilihan, pilihan adalah tantangan, apapun pilihannya. Satu kata kunci, optimis!!!.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean