Media Bawean, 14 Mei 2010
Sumber : Antara Jatim
Bawean - Rusa Bawean (Axis kuhlii) adalah salah satu jenis rusa yang hanya ditemukan di Pulau Bawean. Spesies langka ini diklasifikasikan sebagai hewan yang terancam punah.
Saat ini satu-satunya tempat penangkaran hewan langka itu hanya berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang dilakukan oleh warga setempat dengan dana pribadi.
Sudirman, adalah warga yang rela mengeluarkan biaya operasinal untuk perawatan dan pengembangbiakan rusa bawean tersebut. Lokasi penangkaran itu itu ramai dikunjungi warga setempat atau wisatawan nusantara dan mancanegara, baik pada liburan sekolah atau hari libur nasional lainnya.
"Biaya operasional untuk perawatan mencapai Rp 1,5 juta per bulan," katanya. Namun, diakui, sekalipun banyak pengunjung di hari libur, seperti hari raya, tahun baru, atau liburan sekolah, dikenai tiket masuk sebesar Rp3.000,00 itu belum bisa menutup biaya operasional.
"Tapi saya percaya, rusa Bawean ini adalah aset termahal, tidak hanya di Indonesia tapi, juga di mancanegara, karena rusa ini habitat asliya di Bawean, buktiya saat ini orang dari luar negeri datang ke sini," kata Sudirman saat di kunjungi ditempat penangkaranya itu.
Wisatawan dari luar negeri, kata Sudirman, biasanya berasal dari Polandia, Australia, Belgia, Perancis, Jepang, Australia, Malaysia, dan Singapura. Kedatangan mereka ada yang sekedar berwisata ada juga yang melakukan penelitian. "Tapi kedatangan pengunjung dari luar negeri tidak bisa dipastikan jumlah tiap tahunnya," jelas Sudirman
Sudirman berharap ada perhatian dari pemerintah untuk pengembangan penangkaran spesies langka ini menjadi tempat wisata pendidikan, penelitia, dan ekowisata. "Untuk wisata edukasi sangat potensial, karena potensi Bawean i banyak yang belum diketahui oleh masyarakat Jawa Timur," tandasnya.
Secara bertahap, Sudirman akan memperluas areal penangkaranya meski terpaksa dengan uang pribadinya. Saat ini luas lahan penangkaran hanya 0,7.hektare. Lahan seluas itu sangat sempit untuk populasi rusa Bawean yang saat ini teah berjumlah 20 ekor itu, sebelas diantaranya betina, sedangkan sembilan lainnya jantan.
"Tahun 2003, awal mula penangkaran ini dirintis dengan hanya dua ekor rusa. Dua rusa itu dari hutan yang terlantar masuk kampung itu saya rawat di kandang yang saya bangun di kawasan rumah saya di Pudakit Barat, yang letaknya tidak jauh dari penangkaran ini. Tidak lama kemudian, ada tiga ekor rusa lagi yang terlantaruntuk ditampung, selanjutnya saya bangun penangkaran ini untuk merawat lima ekor rusa asal hutan itu," katanya.
Dari lima ekor rusa itu sekarang kini menjadi 20 ekor, hasil perkembangbiakan secara alami di penangkaran ini," jelasnya.
Sudirman menjelaskan, selain perluasan areal kandang penangkaran, rencananya di areal penagkaran ini akan dibangun kolam renang, lesehan yang menyajikan makanan khas Bawean, serta taman bermain untuk anak-anak.
"Untuk pengunjung anak-anak, selain tujuan utama mengenalkan rusa Bawean, kita juga akan mendekatkan mereka dengan lingkungan alam, mengajak mereka peduli dengan penghijauan, kita ajak mereka menanam tanaman di sekitar areal penangkaran ini," ungkap pria yang juga mantan guru di salah satu sekolah dasar di Surabaya itu.
Selain pemerintah provinsi, Pemerintah Kabupaten Gresik sendiri juga tidak peduli dengan keberadaan rusa Bawean ini. "Padahal, kami memberikan sumbangan retribusi dari karcis masuk pengunjung. Karcis masuknya Rp3.000,00 per orang.
Mengenai jumlah pengunjung, ia menyebutkan, bisa mencapai 6.000 orang pada saat liburan dan uang itu masuk untuk sumbangan PAD (pendapatan asli daerah) kabupaten, tapi apa yang diberikan pemkab Gresik untuk penangkaran ini," cetusnya.
Bantuan yang pernah dia terima dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor berupa pengembangan kandang rusa, kemudian bantuan dari Universitas Gajah Mada (UGM) berupa penkaderan, dan bantuan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur.
Sementara, untuk mencapai lokas cukup susah, karena berada di kaki Gunung Gadung dan berbatasan langsung dengan hutan konservasi Bawean itu. Bagi pngunjung luar Bawean terpaksa harus menyewa kendaraan pribadi, baik mobil atau sepeda motor, atau naik ojek untuk bisa menuju penangkaran yang sebenarnya hanya berjarak sekitar enam kilometer dari Pelabuhan Sangkapura itu, sebab tidak ada angkutan umum menuju ke sana.
Jalanya terjal dan sempit, apalagi sekitar satu kilometer sebelum lokasi penangkaran jalannya tidak beraspal, hanya bebatuan dan tanah, tidak jarang juga becek dan licin ketika musim hujan.
Menurut Sudirman, ini adalah bukti kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pengembangan penangkaran ini. “Jalan itu dulu dibangun atas swadaya masyarakat setempat,” tandas pria yang juga pengelola Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan yaitu, Lembaga Masyarakat Berwawasan Hayati (Lembah) itu.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Suwarto mengatakan, semua jenis rusa, ketika dipamerkan tanpa diberi nama, orang menilainya akan sama saja jenis-jenis rusa itu. Untuk itu, diperlukan promosi untuk mengenalkan rusa bawean ini kepada masyarakat.
Untuk penangkaran rusa Bawean di Pudakit Barat ini, Suwarto menilai ada perkembangan, artinya berhasil mengembangbiakkan meskipun jumlahnya sedikit. “Karena penangkaran ini satu-satunya di Pulau Bawean perlu ada keterlibatan pemerintah setempat untuk mengenalkan ke masyarakat menjadi objek wisata terbatas untuk penelitian dan pendidikan. Apalagi rusa ini termasuk langka dan nyaris punah,” kata pria yang juga mantan Kabid TU BKSDA Jawa Timur itu saat berkunjung ke penangkaran rusa bawean di Pudakit Bara.
Selain itu, Suwarto meminta Sudirman supaya mengajukan usulan kepada pemerintah daerah setempat supaya lokasi penangkaran miliknnya itu menjadi salah satu bagian paket-paket wisata di Bawean. "Materi sudah ada, tinggal upaya pemerintah mengembangkannya," kata Suwarto sambil menegaskan ketika infrastruktur jalan dan listrik sudah bagus, pariwisata di Bawean tidak akan kalah dengan Bali.
BKSDA
Kepala Resort BKSDA Bawean Ponimon mengatakan, berdasarkan penelitian terakhir kerjasama antara UGM dengan BKSDA tahun 2005, tinggi Rusa Bawean sekitar 60-70 cm, populasinya hanya tinggal 300 ekor. Jumlah ini berkurang jauh dibanding dulu seblum tahun 1932. Berkurangnya populasi rusa bawean ini karena ada perubahan habitat. Saat ini, populasi rusa bawean di hutan konservasi lebih banyak tinggal di daerah Gunung Besar, Gunung Cina, dan Komalasa.
"Pada zaman Belanda, hutan di Bawean ini adalah hutan lindung, jadi populasi rusa bawean ini berkembangbiak dengan pesat dan mencapai ribuan, tapi kemudian tahun 1932 hutan di bawean ini diubah menjadi hutan produksi, sebagian tanaman di lahan di hutan Bawean ini diganti dengan tanaman jati, jadi habitat rusa baawean semakin sempit, dan ini berpengaruh dengan perkebangbiakannya, bahkan banyak rusa bawean waktu itu yang terlantar ke kampung, sehingga ditangkap oleh warga sekitar," jelas Ponimon.
Namun kemudian tahun 1979 diubah lagi dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Dikatakan Poniman, perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi ini atas jasa Rolic, peneliti asal Amerika dari lembaga konservasi world wildlife fund (WWF), Rolic meneliti populasi rusa bawean di sini dengan didampingi Mohammad Taha yang saat ini menjadi staf Ponimon di Resort BKSDA Bawean.
Sementra itu, Mohammad Taha menceritakan, keberangkatan Rolic ke Bawean waktu itu setelah dia membaca buku yang ditulis oleh Blowd, orang dari Belanda pada era penjajahan Belanda dulu. Di buku Blowd itu dituliskan ada rusa yang di dunia ini keberadaannya hanya di Bawean. Karena itu Rolic kemudian tertarik dan datang ke Bawean untuk meneliti rusa bawean.
"Saat itu mulai tahun 1977, selama dua tahun. Setiap petak di hutan Rolic memberi plot, setiap hari pula Rolic masuk hutan dan memeriksa plot-plot tersebut. Dengan telaten dia mencatat jejak kaki rusa dan kotoran rusa. Baik jejak kaki maupun kotorannya dia ukur dan timbang. Dari penelitian Rolic tahun itu kemudian diketahui ada sekitar 200 hingga 300 ekor rusa bawean," cerita Mohammad Taha.
Karena populasi rusa Bawean terjadi kemerosotan yang signifikan jika dibandingkan dengan zaman Belanda, waktu itu Rolic mengusulkan hutan Bawean yang telah diubah menjadi hutan produksi, diubah lagi menjadi hutan suaka alam.
Sumber : Antara Jatim

Saat ini satu-satunya tempat penangkaran hewan langka itu hanya berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang dilakukan oleh warga setempat dengan dana pribadi.
Sudirman, adalah warga yang rela mengeluarkan biaya operasinal untuk perawatan dan pengembangbiakan rusa bawean tersebut. Lokasi penangkaran itu itu ramai dikunjungi warga setempat atau wisatawan nusantara dan mancanegara, baik pada liburan sekolah atau hari libur nasional lainnya.
"Biaya operasional untuk perawatan mencapai Rp 1,5 juta per bulan," katanya. Namun, diakui, sekalipun banyak pengunjung di hari libur, seperti hari raya, tahun baru, atau liburan sekolah, dikenai tiket masuk sebesar Rp3.000,00 itu belum bisa menutup biaya operasional.
"Tapi saya percaya, rusa Bawean ini adalah aset termahal, tidak hanya di Indonesia tapi, juga di mancanegara, karena rusa ini habitat asliya di Bawean, buktiya saat ini orang dari luar negeri datang ke sini," kata Sudirman saat di kunjungi ditempat penangkaranya itu.
Wisatawan dari luar negeri, kata Sudirman, biasanya berasal dari Polandia, Australia, Belgia, Perancis, Jepang, Australia, Malaysia, dan Singapura. Kedatangan mereka ada yang sekedar berwisata ada juga yang melakukan penelitian. "Tapi kedatangan pengunjung dari luar negeri tidak bisa dipastikan jumlah tiap tahunnya," jelas Sudirman
Sudirman berharap ada perhatian dari pemerintah untuk pengembangan penangkaran spesies langka ini menjadi tempat wisata pendidikan, penelitia, dan ekowisata. "Untuk wisata edukasi sangat potensial, karena potensi Bawean i banyak yang belum diketahui oleh masyarakat Jawa Timur," tandasnya.
Secara bertahap, Sudirman akan memperluas areal penangkaranya meski terpaksa dengan uang pribadinya. Saat ini luas lahan penangkaran hanya 0,7.hektare. Lahan seluas itu sangat sempit untuk populasi rusa Bawean yang saat ini teah berjumlah 20 ekor itu, sebelas diantaranya betina, sedangkan sembilan lainnya jantan.
"Tahun 2003, awal mula penangkaran ini dirintis dengan hanya dua ekor rusa. Dua rusa itu dari hutan yang terlantar masuk kampung itu saya rawat di kandang yang saya bangun di kawasan rumah saya di Pudakit Barat, yang letaknya tidak jauh dari penangkaran ini. Tidak lama kemudian, ada tiga ekor rusa lagi yang terlantaruntuk ditampung, selanjutnya saya bangun penangkaran ini untuk merawat lima ekor rusa asal hutan itu," katanya.
Dari lima ekor rusa itu sekarang kini menjadi 20 ekor, hasil perkembangbiakan secara alami di penangkaran ini," jelasnya.
Sudirman menjelaskan, selain perluasan areal kandang penangkaran, rencananya di areal penagkaran ini akan dibangun kolam renang, lesehan yang menyajikan makanan khas Bawean, serta taman bermain untuk anak-anak.
"Untuk pengunjung anak-anak, selain tujuan utama mengenalkan rusa Bawean, kita juga akan mendekatkan mereka dengan lingkungan alam, mengajak mereka peduli dengan penghijauan, kita ajak mereka menanam tanaman di sekitar areal penangkaran ini," ungkap pria yang juga mantan guru di salah satu sekolah dasar di Surabaya itu.
Selain pemerintah provinsi, Pemerintah Kabupaten Gresik sendiri juga tidak peduli dengan keberadaan rusa Bawean ini. "Padahal, kami memberikan sumbangan retribusi dari karcis masuk pengunjung. Karcis masuknya Rp3.000,00 per orang.
Mengenai jumlah pengunjung, ia menyebutkan, bisa mencapai 6.000 orang pada saat liburan dan uang itu masuk untuk sumbangan PAD (pendapatan asli daerah) kabupaten, tapi apa yang diberikan pemkab Gresik untuk penangkaran ini," cetusnya.
Bantuan yang pernah dia terima dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor berupa pengembangan kandang rusa, kemudian bantuan dari Universitas Gajah Mada (UGM) berupa penkaderan, dan bantuan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur.
Sementara, untuk mencapai lokas cukup susah, karena berada di kaki Gunung Gadung dan berbatasan langsung dengan hutan konservasi Bawean itu. Bagi pngunjung luar Bawean terpaksa harus menyewa kendaraan pribadi, baik mobil atau sepeda motor, atau naik ojek untuk bisa menuju penangkaran yang sebenarnya hanya berjarak sekitar enam kilometer dari Pelabuhan Sangkapura itu, sebab tidak ada angkutan umum menuju ke sana.
Jalanya terjal dan sempit, apalagi sekitar satu kilometer sebelum lokasi penangkaran jalannya tidak beraspal, hanya bebatuan dan tanah, tidak jarang juga becek dan licin ketika musim hujan.
Menurut Sudirman, ini adalah bukti kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pengembangan penangkaran ini. “Jalan itu dulu dibangun atas swadaya masyarakat setempat,” tandas pria yang juga pengelola Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan yaitu, Lembaga Masyarakat Berwawasan Hayati (Lembah) itu.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Suwarto mengatakan, semua jenis rusa, ketika dipamerkan tanpa diberi nama, orang menilainya akan sama saja jenis-jenis rusa itu. Untuk itu, diperlukan promosi untuk mengenalkan rusa bawean ini kepada masyarakat.
Untuk penangkaran rusa Bawean di Pudakit Barat ini, Suwarto menilai ada perkembangan, artinya berhasil mengembangbiakkan meskipun jumlahnya sedikit. “Karena penangkaran ini satu-satunya di Pulau Bawean perlu ada keterlibatan pemerintah setempat untuk mengenalkan ke masyarakat menjadi objek wisata terbatas untuk penelitian dan pendidikan. Apalagi rusa ini termasuk langka dan nyaris punah,” kata pria yang juga mantan Kabid TU BKSDA Jawa Timur itu saat berkunjung ke penangkaran rusa bawean di Pudakit Bara.
Selain itu, Suwarto meminta Sudirman supaya mengajukan usulan kepada pemerintah daerah setempat supaya lokasi penangkaran miliknnya itu menjadi salah satu bagian paket-paket wisata di Bawean. "Materi sudah ada, tinggal upaya pemerintah mengembangkannya," kata Suwarto sambil menegaskan ketika infrastruktur jalan dan listrik sudah bagus, pariwisata di Bawean tidak akan kalah dengan Bali.
BKSDA
Kepala Resort BKSDA Bawean Ponimon mengatakan, berdasarkan penelitian terakhir kerjasama antara UGM dengan BKSDA tahun 2005, tinggi Rusa Bawean sekitar 60-70 cm, populasinya hanya tinggal 300 ekor. Jumlah ini berkurang jauh dibanding dulu seblum tahun 1932. Berkurangnya populasi rusa bawean ini karena ada perubahan habitat. Saat ini, populasi rusa bawean di hutan konservasi lebih banyak tinggal di daerah Gunung Besar, Gunung Cina, dan Komalasa.
"Pada zaman Belanda, hutan di Bawean ini adalah hutan lindung, jadi populasi rusa bawean ini berkembangbiak dengan pesat dan mencapai ribuan, tapi kemudian tahun 1932 hutan di bawean ini diubah menjadi hutan produksi, sebagian tanaman di lahan di hutan Bawean ini diganti dengan tanaman jati, jadi habitat rusa baawean semakin sempit, dan ini berpengaruh dengan perkebangbiakannya, bahkan banyak rusa bawean waktu itu yang terlantar ke kampung, sehingga ditangkap oleh warga sekitar," jelas Ponimon.
Namun kemudian tahun 1979 diubah lagi dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Dikatakan Poniman, perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi ini atas jasa Rolic, peneliti asal Amerika dari lembaga konservasi world wildlife fund (WWF), Rolic meneliti populasi rusa bawean di sini dengan didampingi Mohammad Taha yang saat ini menjadi staf Ponimon di Resort BKSDA Bawean.
Sementra itu, Mohammad Taha menceritakan, keberangkatan Rolic ke Bawean waktu itu setelah dia membaca buku yang ditulis oleh Blowd, orang dari Belanda pada era penjajahan Belanda dulu. Di buku Blowd itu dituliskan ada rusa yang di dunia ini keberadaannya hanya di Bawean. Karena itu Rolic kemudian tertarik dan datang ke Bawean untuk meneliti rusa bawean.
"Saat itu mulai tahun 1977, selama dua tahun. Setiap petak di hutan Rolic memberi plot, setiap hari pula Rolic masuk hutan dan memeriksa plot-plot tersebut. Dengan telaten dia mencatat jejak kaki rusa dan kotoran rusa. Baik jejak kaki maupun kotorannya dia ukur dan timbang. Dari penelitian Rolic tahun itu kemudian diketahui ada sekitar 200 hingga 300 ekor rusa bawean," cerita Mohammad Taha.
Karena populasi rusa Bawean terjadi kemerosotan yang signifikan jika dibandingkan dengan zaman Belanda, waktu itu Rolic mengusulkan hutan Bawean yang telah diubah menjadi hutan produksi, diubah lagi menjadi hutan suaka alam.
Posting Komentar