Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Hari IBu, Refleksi
Perjuangan Perempuan

Hari IBu, Refleksi
Perjuangan Perempuan

Posted by Media Bawean on Selasa, 21 Desember 2010

Media Bawean, 21 Desember 2010

Oleh Musyayana (Penasehat Media Bawean)

Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di gedung Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Jika membaca sejarah gerakan perempuan di masa lalu, kita akan menemukan bahwa perempuan banyak menuntut soal roti. Theroigne de Mericourt, seorang feminis perancis, telah memimpin 8000 perempuan
berbaris meminta roti. Di Amerika, tahun 1908, puluhan ribu perempuan juga menuntut roti. Dan di Rusia, ketika perempuan yang mengawali bergemanya revolusi oktober, mereka telah berteriak “roti, tanah, dan
perdamaian”.

Ada yang mengatakan, isu semacam itu terlalu “urusan perut” dan sedikit sekali berbau tuntutan gender. Akan tetapi, bagi perempuan kalangan bawah yang kurang terpelajar dan terlalu tertekan karena
masalah ekonomi, tuntutan “roti’ jauh lebih nyata dan konkret dibanding isu lainnya. Dan, seketika tuntutan roti bisa menjadi pemberontakan politis, tatkala rejim berkuasa tidak cakap dalam
meresponnya.

Sekarang ini, di era yang disebut neoliberalisme, perempuan terkena dampak buruk tidak saja karena posisi yang tak adil di dalam kelurga ataupun masyarakat, tetapi juga dihasilkan oleh pembagian kerja secara
seksual. Perempuan sangat menderita karena fleksibilitas pasar tenaga kerja, terkena dampak privatisasi, dan penghapusan subdisi.

Dengan tujuan memudahkan perampokan sumber daya alam dan kekayaan nasional yang diakumulasi secara kolektif, neoliberalisme melakukan penyusutan atau deformasi negara, terutama aspek negara yang baik-
buruknya berhubungan dengan kepentingan kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Akibatnya, perempuan yang sudah tidak berdaya secara sosial harus berhadapan dengan “kapitalisme ganas”.

Ada tiga persoalan krusial yang sangat genting untuk dipenuhi bagi perempuan; pekerjaan yang layak, pendidikan, dan kesehatan. Disamping persoalan-persoalan lainnya, seperti kesehatan reproduksi,
perlindungan dari kekerasan dan pelecehan seksual, perdagangan perempuan, diskriminasi, dan lain sebagainya.

Secara politik, suka atau tidak suka, gerakan perempuan harus menjadi bagian paling aktif dalam konvergensi gerakan anti-neoliberal dan anti-imperialisme. Dan, karena neoliberalisme juga melahirkan polarisasi
kelas yang sangat tajam di kalangan perempuan sendiri, maka perempuan kalangan bawahlah yang sangat berkepentingan dan terbukti aktif dalam mobilisasi-mobilisasi menuntut kesejahteraan.

Ada pengalaman menarik dari gerakan perempuan Indonesia di masa lalu sehubungan dengan kerja-kerja di tengah massa. Bahwa gerakan perempuan sangat aktif dalam melakukan pembelaan hak-hak perempuan sebagai ibu, pekerja, dan warga negara, menyokong pendidikan dan kesejahteraan, dan
memperjuangkan hak anak-anak untuk hidup.

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) aktif memberikan ketrampilan kepada perempuan, seperti menjahit, merenda, menyulam, dan masak-memasak. Mereka juga aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf dan gerakan pendidikan hingga ke desa-desa. Untuk anak-anak, organisasi yang dicap komunis ini mendirikan TK.Melati. Untuk menarik dukungan pedagang menengah dan kecil yang sebagian besar adalah perempuan, gerwani juga mendirikan tempat penitipan anak di pasar-pasar.

Dalam lapangan perjuangan lain, gerwani juga aktif bersama organisasi lain dalam membela ibu dan anak-anak terlantar karena suami kurang bertanggung-jawab, mengorganisir buruh perempuan yang dirugikan sistim kerja, hingga turun ke sawah atau ladang untuk membela kaum tani dan hak atas tanah garapan dari tuan tanah dan perusahaan besar.

Karenanya, tugas mendesak gerakan perempuan adalah mendirikan sekretariat atau komite-komite di tengah massa, mempelajari dengan detail situasi masyarakat dan kaum perempuan di suatu tempat, dan mengorganisasikan mereka menurut kebutuhan-kebutuhan paling real.

Bergaris massa bukan berarti mengabaikan orientasi atau perspektif politik, tetapi keduanya bersifat satu kesatuan, yaitu, bekerja ditengah massa sambil memberikan arah atau perspektif perjuangan
politik. Karena, bagaimanapun, perjuangan perempuan hanya akan berjangkauan luas jika mengambil bentuk-bentuk perjuangan politik dan didasarkan pada teori-teori revolusioner.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean