Media Bawean, 12 Januari 2011
Sumber : Surabaya Post
SURABAYA- Target Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur membuka tiga bandara intercity di 2012 mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Namun, baru bandara Bawean yang menurut hitungan bisa eksis dan mendatangkan keuntungan.
“Saya kira Bawean punya potensi untuk lebih ramai. Banyak penduduk Bawean yang bekerja diluar pulau tersebut, sedangkan pilihannya selama ini hanya lewat jalur laut saja,” ujar Pakar transportasi asal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Haryo Sulistiarso saat dihubungi Rabu (12/1).
Dari analisa pasar, Bawean memiliki potensi demand yang tinggi. Bila permintaan atau penumpang banyak, menurutnya, tanpa diundang pun maskapai dipastikan mau melayani penerbangan menuju bandara tersebut.
“Jika lokasi yang dipilih kecil, siapa nantinya yang akan menanggung biaya operasional penerbangan yang tinggi. Masyarakat juga akan berpikir ulang untuk menggunakan transportasi udara jika terlalu mahal,” jelasnya.
Menurut hitungannya, tiap penerbangan ke bandara kecil menggunakan pesawat berpenumpang sepuluh orang setiap satu jam biaya operasionalnya mencapai hampir Rp 10 juta. Jika dibagi berdasarkan jumlah penumpang, berarti satu penumpang wajib merogoh saku minimal Rp 1 juta. Jumlah itu pun hanya akan impas bagi maskapai tanpa meraup untung.
“Lantas, jika tingkat okupansinya kurang dari itu siapa yang akan menanggung biaya operasionalnya, ini yang juga harus dipikirkan oleh Pemda. Mungkin dengan memberikan subsidi terlebih dulu,” ujarnya.
Mengenai, idealnya sebuah bandara intercity, setidaknya membutuhkan runway sepanjang 1.200 meter. Untuk mewujudkan itu, minimal dibutuhkan investasi sebesar Rp 50 miliar. Jumlah ini akan membengkak jika harga lahan yang dibebaskan makin mahal serta panjang runway yang berbeda. Jika memungkinkan, Haryo menyarankan panjang runway ditambah menjadi 1.500 meter sehingga pesawat ‘tanggung’ yang berkapasitas 50 hingga 70 penumpang bisa mendarat.
“Jika mencapai 1.500 meter runway-nya bisa digunakan untuk pesawat jenis ATR yang mampu terbang lebih lama. Sehingga dari Jakarta bisa langsung menuju Bawean,” katanya.
Di urutan kedua, bandara di Sumenep juga masih menjanjikan. Ini karena masih banyak ekspatriat yang tinggal untuk mengeksplorasi sumber minyak. Tetapi untuk Jember kondisinya mungkin akan lebih sepi. Ini karena letak Jember yang terkesan berada di tengah-tengah dan ‘tanggung’.
Haryo juga mengingatkan untuk sesegera mungkin menambah kapasitas bandara Juanda yang dijadikan ‘induk’ bagi tiga bandara intercity tersebut. Jika tidak ada pembenahan dan penambahan fasilitas, bandara Juanda akan semakin ruwet dikarenakan lalu lintas penerbangan semakin bertambah.
Potensialnya pasar Bawean dibenarkan Anggota Komisi D DPRD Jatim, Irwan Setiawan. Alternatif moda transportasi udara harus didorong terutama di Bawean yang selama ini masyarakatnya sering terisolir akibat cuaca. “Kerapkali, aktivitas penyeberangan terhenti gara-gara gelombang tinggi. Padahal aktivitas ekonomi masyarakatnya harus tetap berjalan,” katanya.
Sayangnya untuk bandara di Bawean, masih belum ada gerojokan dana yang memadai. Padahal, saat ini diprogramkan pembebasan lahan 2,3 hektar untuk kepentingan perpanjangan runway. Pihaknya berencana untuk meminta penjelasan ke Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) Jatim mengenai ketiadaan alokasi tersebut. “Seharusnya untuk di Bawean juga bisa dapat dana seperti dua bandara yang lain,” tuturnya.
Proses Pembebasan
Perkembangan di lapangan, pembebasan lahan lapangan terbang (lapter) Bawean di Desa Tanjungori Kecamatan Sangkapura Kabupaten Gresik tahap I masih terganjal 2 pemilik lahan dengan luas total 500 meter persegi. Kedua orang ini meminta ruislagh atau tukar guling.
“Rencananya ada 9,5 hektar lahan yang akan dibebaskan. Karena keterbatasan anggaran, pembebasan ini dibagi dua tahap. Tahap pertama seluas 3,2 hektar dan tahap kedua 6,3 hektar sisanya. Saat ini, dari 28 pemilik lahan yang akan dibebaskan tahap pertama ini, hanya dua yang masih belum sepakat dengan jual beli yang ditawarkan pemerintah kabupaten, mereka meminta tukar guling,” kata Suropadi,Camat Tambak, Rabu (12/1) pagi tadi.
26 pemilik lahan lainnya sudah sepakat dengan harga yang ditawarkan oleh pemkab, Rp 60 ribu per meter persegi. Sedangkan, pemilik lahan yang belum sepakat, tambah dia, adalah Raib dan Sardini Hasan, luas lahan masing-masing sekitar 200 meter persegi dan 300 meter persegi.
Lahan seluas 3,2 hektar ini, lanjut Suropadi, akan digunakan untuk penambahan runway yang sekarang ada. “Sementara, untuk lahan 6,3 hektar sisanya kami menunggu instruksi lagi dari Pemkab. Pastinya, untuk tahun ini Pemkab menyediakan anggaran Rp2,1 miliar untuk pembebasan lahan tahap pertama seluas 3,2 hektar,” ujar Suropadi.
Sementara itu, jika tidak terkendala cuaca, rencananya Jumat (14/1) Bupati Gresik, Sambari Halim Radianto akan berkunjung ke Bawean untuk meninjau lokasi dan memberikan panjar atau uang muka kepada masing-masing pemilik tanah yang telah sepakat lahannya dibebaskan.
"Rencananya, Bupati dalam kunjungannya bersama muspida nanti memberikan DP (Down of Payment) sebesar Rp 10 juta kepada pemilik lahan yang telah sepakat tanahnya dibebaskan. Pelunasan sisanya, menunggu urusan surat-surat tanahnya selesai," kata Suropadi.
Sedangkan Yetty Sri Suparyati, Sekretaris Tim Anggaran (Timang) Pemkab Gresik sebelumnya mengatakan dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kaupaten Gresik awalnya Timang dan Badan Anggaran (Banang) DPRD Kabupaten Gresik awalnya tidak mengalokasikan dana untuk pembebasan lahan lapter, tapi karena mendapatkan ‘ancaman’ dari pemprov Jatim, akhirnya dalam finalisasi dianggarkan Rp 2,1 miliar.
"Pemprov me-deadline tahun 2011 Pemkab Gresik harus sudah menuntaskan pembebasan lahan lapter Bawean. Jika tidak, Pemrov memastikan tidak akan memberikan dana sharing untuk pembangunan fisiknya," kata Yetty Sri Suparyati, yang juga Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Gresik.yop,sit,sep


Posting Komentar