Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Dampak Globalisasi
Terhadap Peradaban

Dampak Globalisasi
Terhadap Peradaban

Posted by Media Bawean on Rabu, 23 Maret 2011

Media Bawean, 23 Maret 2011

Lomba Menulis Berita Dan Opini
Oleh : Oleh: Basyari,

Semenjak dari sekolah dasar bahkan dari taman kanak-kanak kita sudah dihafalkan dengan kata-kata beradab, kita juga dianjurkan untuk menjalani hidup di masyarakat secara beradab, namun hingga beranjak dewasa banyak diantara kita yang belum bisa mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena kata beradab hanya sekedar dihafal dan kurang difahami apa maknanya. Beradab memiliki pengertian berbudaya, yakni sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan norma kesusilaan atau moral.

Dalam sila yang kedua Pancasila dan alenia keempat UUD 1945 tercantum kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Dengan itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan ekspresi dari keluhuran budi dan semangat dari bangsa Indonesia yang oleh para founding father dirumuskan menjadi suatu tata nilai bagi kehidupan kebangsaan. Jadi dapat dilihat bahwa bangsa Indonesia secara filisofi merupakan bangsa yang beradab sebab budaya-budaya kesopanan, kesusilaan, saling monghormati dan menghargai sudah diturunkan dari para leluhur Indonesia.

Era globalisasi yang datang bak gelombang air pasang telah meracuni sebagian masyarakat Indonesia, peradaban kita semakin terkontaminasi oleh gaya hidup borjuis, materialis dan kapitalis. Grafik mental masyarakat terus menurun, terlihat dari banyaknya penjarahan, pembajakan, premanisme, serta bentuk-bentuk anarkis lainnya. Berbeda dengan negara-negara maju yang tetap tangguh dalam peradaban, bila kita mengikuti berita beberapa hari yang lalu tentang Bencana Tsunami di Jepang, itu adalah sebuah contoh betapa mereka benar-benar sebuah bangsa yang beradab, kuat dan beretika. Ketangguhan Jepang dalam menghadapi bencana telah memukau dunia, hingga beberapa hari pasca bencana tidak terdengar aksi penjarahan dan tindakan tercela lainnya. Pemandangan ini berbanding terbalik dengan kejadian bencana di negara-negara lain seperti gempa di Haiti, dimana terjadi penjarahan, perampokan bahkan pemerkosaan. Begitu juga dengan bencana perang saudara di Somalia yang telah menjadikan rakyatnya berprofesi sebagai bajak laut dan menerapkan hukum rimba. Namun yang lebih ironis lagi adalah negara kita, walau tidak ada bencana tapi penjarahan uang rakyat terjadi dimana-mana, walau bukan negeri bajak laut tapi pembajakan hasil karya cipta seperti karya seni, karya ilmiah semakin merajalela.

Kategori negara maju sebenarnya bukan hanya diukur dari pendapatan perkapita penduduknya, tapi juga dilihat dari kemajuan ilmu serta tehnologinya yang semuanya dibangun dengan peradaban, bukan dari pembajakan dan hasil korupsi. Demikian juga seseorang dikatakan sukses bukan dilihat dari kekayaan atau ketinggian jabatannya, akan tetapi apakah dengan cara beradab dia memperoleh harta kekayaan dan jabatannya. Hartanya bukan dari menjual kekayaan negara, jabatannya bukan dari memanipulasi kotak suara, dan lain sebagainya. Mengenai hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shiratul mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Tirmidzi dan Ad-Darimi).

Belakangan ini masyarakat semakin terbius oleh kemilau harta dan tahta, bila ada orang yang kaya dan punya jabatan maka dengan serta merta diakui sebagai kerabatnya, mereka juga selalu membangga-banggakan kekayaannya atau tentang sanak saudaranya yang menjadi pejabat. Padahal orang-orang bijak dahulu pernah berkata, bahwa “Tidak semua yang berkilau itu adalah emas” (All that glitters is not a gold). Terbukti seperti kasus-kasus yang terjadi di beberapa daerah di luar Bawean, orang-orang yang mereka eluk-elukkan dan bangga-banggakan ternyata hanya seorang pecundang. Dipuja sebagai putra daerah terbaik nyatanya terdepak dari kursi jabatannya karena terlibat kasus asusila (berselingkuh), dibilang pengusaha “dermawan” waktu kampanye pemilu, namun setelah itu dipenjara karena uangnya ternyata hasil korupsi, dan berita ter-update dari salah satu media elektronik yang mengekspos tentang orang-orang yang membanggakan gelar sarjananya namun ternyata didapat secara tidak beretika yaitu membeli.

Ajaran agama hanya menjadi retorika dan semakin terkikis oleh budaya, materialisme sudah semakin menenggelamkan adab dan aqidah. Segala cara dilakukan demi harta dan gengsi, ingin kaya dengan cara riba dan me-mark up dana APBD, agar bisa diterima kuliah di universitas negeri dengan cara memanipulasi nilai, mau menjadi pegawai negeri sipil dengan menyuap puluhan juta rupiah, dan sebagainya. Yang menggelikan adalah mereka-mereka itu ahli ibadah, rajin sholat, puasa bahkan berhaji, namun uang yang dipergunakan berasal dari yang “mustakmal”. Sedangkan agama Islam sendiri tidak mentoleran cara-cara seperti money laundrying, Mari sejenak kita renungkan sebuah hadits berikut, Rasulullah bersabda, Seorang lelaki bermusafir sehingga rambutnya menjadi kusut dan mukanya dipenuhi debu. Dia menadah tangannya dan berdoa kepada Allah, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mulutnya disuap dengan sesuatu yang haram. Bagaimana akan diperkenankan permohonannya? (HR. Muslim).

Kita tidak boleh hidup dalam kemunafikan seperti mereka, berkedok ingin membangun padahal hasil korupsi atau memasang gelar sajana dari hasil kuliah fiktif dengan tujuan menaikkan jabatan atau mencalonkan diri jadi anggota dewan. Generasi muda Bawean sudah harus lebih dididik dengan kecerdasan emosi dan spiritual sejak dini, masyarakat Bawean tidak boleh terpengaruh seperti daerah lain yang hidup materialis dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pujian, gengsi, uang dan kekuasaan. Kita harus hidup dengan cara beradab agar tidak terkesan biadab. Bertahta dan berhartalah dengan mengharumkan nama baik Bawean, tapi jangan sebaliknya. Sebagai penutup, ada satu nasehat dari Haji Abdul Karim Abdullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka, sesungguhnya “Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.” Wassalam..


Oleh: Basyari, Warga desa Pekalongan Bawean, menetap di Balungpanggang Gresik

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean