Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Makalah Seminar Oleh Zulfa Usman

Makalah Seminar Oleh Zulfa Usman

Posted by Media Bawean on Jumat, 30 September 2011

Media Bawean, 30 September 2011

Dimuat Dalam Media Bawean, Edisi 21 Maret 2010

URGENSINYA PERATURAN DAERAH KAB. GRESIK

TENTANG PENAMBAHAN STATUS KEC. SANGKAPURA DAN TAMBAK MENJADI KECAMATAN KEPULAUAN ATAU KECAMATAN KHUSUS

(Sebuah Proposal Masyarakat Bawean untuk Membangun Bawean Lebih Serius)

Disampaikan oleh : Zulfa Usman
Pada Seminar Maulidurrasul Internasional Warga Bawean.

Tanggal 16 Maret 2010 di Sangkapura, Bawean, Kabupaten Gresik

MUKADDIMAH

Pecahnya reformasi yang telah dibayar dengan ongkos tinggi dan diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh sebagian rakyat Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan Otonomi Daerah (Otoda). Salah satu tujuan inti diberlakukannya Otoda adalah peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara peninggkatan pelayanan dan peran serta masyarakat.

Disebutkan dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah pada bagian I. Penjelasan Umum (1.b.) : “Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar urusan pemerintah (pusat : penulis) yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiiki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan peningkatan kesejahteraan rakyat”.

Tentu termasuk warga Bawean juga diakomodir oleh undang-undang ini. Akan tetapi apakah di Bawean telah terjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan di era reformasi ini ? Masih perlu penelitian yang lebih khusus, bidang apa saja yang telah mengalami peningkatan dan seberapa persen peningkatan tersebut sebelum reformasi (1998) dan setelah reformasi sampai sekarang.

Ada 4 hal pokok yang dapat dijadikan ukuran maju tidaknya suatu daerah atau kawasan yaitu : listrik, jalan / transportasi, air dan telepon. Keempat hal itulah yang menjadi penentu sejahtera tidaknya suatu daerah. Secara kasat mata keempat hal tersebut tidak terlayani dengan baik kalau boleh dikatakan merosot. Kapal misalnya, tidak ada kemajuan dalam segi pelayanan dan keamanan termasuk juga tarif yang tergolong mahal, juga pelayanan barang baik dari segi perongkosan atau jaminan keamanan. Listrik, pernah terlayani 24 jam tetapi saat ini 1 : 2, satu malam hidup dan dua hari dua malam mati. Jalan umum itu pun tidak ada perkembangan yang berarti, sementara dinamka kegiatan masyarakat semakin padat. Telepon (rumah) pun secara merata selalu terjadi gangguan.

Karena keempat hal tersebut merupakan kebutuhan pokok rakyat maka itu menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya. Bila hal-hal tersebut ada permasalahan, yang bertanggung jawab bukan masyarakat melainkan pemerintah. Jadi akan menjadi aneh apabila warga Bawean mengadukan nasib masyarakat Bawean yang kian terpuruk kemudian menghadap kepada oktnum pejabat, lalu ditanggapinya dengan mengatakan “orang Bawean tidak bisa diurus”. Bisa diurus atau tidak, mungkin kesalahan pada pendekatannya. Dan kewajiban “mengurus” tetap berada pada pemerintah tidak akan berpindah kewajiban itu pada masyarakat disamping juga tetap perlu adanya partisipasi masyarakat.

Atau bisa juga “tidak bisa diurus” karena memang warga Bawean sudah terlalu lama tidak diurus secara baik sehingga bila ada aturan pemerintah yang akan diberlakukan, masyarakat merasa ada hal baru yang menurut mereka kurang wajar. Salah satu contoh di bidang pengaturan lalu lintas dalam menggunakan ikat pengaman atau helm dll. Disamping itu ada “seribu” persoalan yang selalu menghampar pada warga Bawean yang sebenarnya berkaitan dengan pelayanan kurang prima dari pemerintah atau tidak disentuh sama sekali terhadap suatu permasalahan, misalnya pada kasus listrik curah yang amat merugikan konsumen resmi, penertiban plat roda empat, juga kasus izin mendirikan bangunan, dll.

Akan tetapi tunggu dulu, ada sebagian yang berpendapat bahwa semua persoalan itu janganlah ditimpakan kepada pemerintah atau pejabat karena mungkin saja pejabat tersebut tidak bisa berbuat baik atau berbuat adil, karena memang belum ada regulasinya. Satu contoh bila pejabat Sangkapura / Tambak menghadiri kegiatan di Gresik tentu Panitia ingin menambah uang transport yang berbeda dengan yang dari Cerme atau Panceng. Akan tetapi panitia tidak bisa melaksanakan itu karena tidak ada aturan yang membolehkan yang pada ujungnya penanggung jawab kegiatan akan dipersalahkan pihak atasan bila memperlakukan khusus teman-teman dari Bawean.

Begitu juga sebaliknya, akan sulit bagi pejabat dinas, kantor atau unit kerja akan mengunjungi instansi di Bawean secara rutin sebagaimana kunjungan / pembinaan ke Cerme, Ujung Pangkah atau lainnya karena untuk ke Bawean membutuhkan waktu, tenaga, dana serta pengorbanan psikologi yang lebih. Sementara aturan tentang itu belum ada kekhususan misalnya dalam hal biaya perjalanan dan penginapan.

Jadi ada dugaan bahwa oknum Pemkab Gresik dari masa ke masa (mungkin sejak merdeka) kurang perhatian pada Bawean karena memang sulit dilaksanakan. Bisa karena kelalaian oknum tersebut, tidak ada dana, faktor cuaca, kapal ataupun faktor lainnya karena memang letak geografis yang jauh yang tidak memungkinkan untuk itu. Dan bila ada perlakuan pengistimewaan terhadap Bawean, misalnya maka akan diiri oleh Kecamatan lain karena memang tidak ada dasar hukumnya.

Maka diketahuilah bahwa selama status Kecamatan Sangkapura dan Tambak masih sama dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Gresik, akan selalu timbul persoalan, siapa pun dan dari partai mana pun Pemkab itu terbentuk. Karenanya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mendorong DPRD dan Pemkab Gresik agar segera merumuskan dan menerbitkan Perda agar Sangkapura “ditingkatkan” statusnya menjadi “Kecamatan Kepulauan” atau “Kecamatan Khusus”.

Penambahan status ini bertujuan antara lain untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan warga Bawean yang selama ini relatif tertinggal dengan warga kecamatan lain baik dari segi kesehatan, infrastruktur, pendidikan dll. Hal ini sejalan dengan semangat diberlakukannya Otoda khususnya Otonmi yang bertanggung jawab. “Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan Nasional”. (Penjelasan atas UU RI Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada bagian I. Penjelasan Umum 1.b.).

Pada pasal 7 PP No. 41 Th. 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah disebutkan ada 26 urusan yang wajib diselenggarakan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten berkaitan dengan pelayanan dasar, yaitu : 1. pendidikan 2. kesehatan 3. lingkungan hidup 4. pekerjaan umum 5. penataan ruang 6. perencanaan pembangunan 7. perumahan 8. kepemudaan dan olahraga 9. penanaman modal 10. koperasi dan usaha kecil dan menengah 11. kependudukan dan catatan sipil 12. ketenagakerjaan 13. ketahanan pangan 14. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak 15. keluarga berencana dan keluarga sejahtera 16. perhubungan 17. komunikasi dan informatika 18. pertanahan 19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri 20. otonomi daerah, pemerintahan umum, adaminstrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian 21. pemberdayaan masyarakat desa 22. sosial 23. kebudayaan 24. statistik 25. kearsipan, dan 26. perpustakaan.

Pada pelaksanaannya sulitlah warga Bawean terlayani dengan baik dari ke-26 urusan wajib itu sebagaimana warga di kecamatan lain. Contoh kasus : perpustakaan daerah yang ada di Gresik tidak akan terjangkau oleh masyarakat Bawean dengan baik, berbeda dengan masyarakat Panceng, Driyorejo, dll yang dapat menjangkau dalam satu hari pulang-pergi. Contoh lain : pengurusan biaya ukur per bidang tanah yang berbeda antara dataran Gresik dengan Bawean selain biaya tiket kapal, dan kasus lainnya.

Kalaupun penerbitan Perda masih membutuhkan waktu yang relatif lama sementara kehidupan Bawean “tetap merana” (Kompas, 1 Februari 2010) maka Peraturan Bupati dapat digunakan. Sehingga kewenangan Bupati yang selama ini sebagian sudah diberikan kepada Bawean misalnya dengan adanya UPTD Pekerjaan Umum, Kependudukan, Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Perhubungan dan Pendapatan Daerah tetapi perlu ditambah bidang lainnya serta benar-benar disesuaikan dengan kondisi Bawean serta perlu serius.

Yang dimaksud serius antara lain sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 UU RI No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu : “Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan / atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana”. Begitu juga pemberian wewenang dari Bupati ke Camat atau UPTD yang ada, perlu diikuti dengan pemberian dana. Itulah pentingnya status tambahan itu sehingga penganggarannya sudah ada payung hukumnya.

Penambahan status ini tidak bertentangan dengan tata aturan di atasnya, baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau tata aturan lainnya. Bahkan ada peluang untuk segera merealisasikannya apabila dikaitkan dengan UU RI No. 41 Th. 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Bagian Kecamatan Pasal 17 ayat (4) yang menyebutkan, “Pelimpahan sebagian kewenangan bupati / walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan bupati / walikota”. Ayat (2) tersebut berbunyi, “Camat mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati / walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”.



17 ALASAN MENDESAKNYA PERATURAN DAERAH

TENTANG KECAMATAN KEPULAUAN / KECAMATAN KHUSUS

Secara rinci ada 17 alasan mengapa Sangkapura dan Tambak perlu segera di-Perda-kan menjadi “Kecamtan Kepulauan / Kecamatan Khusus”.

1. FAKTA SEJARAH

Pada masa penjajahan Belanda / Jepang ada jalur pelayaran segitiga antara Tanjung Perak, Bawean, Kalimantan dan Singapura atau Johor (tanpa harus mampir di Pelabuhan Gresik). “Kemas Haji Djamaluddin Bin Kms Haji Said yang bersama keluarganya mengembangkan kegiatan ekonomi yang besar di Bawean, menjadi agen dari perusahaan pelayaran Cina (KPM) di Indonesia. Ia memasukkan Bawean sebagai salah satu jalur pelayaran kapal yang menyingahi Pulau Kalimantan, Jawa dan Singapura.” (DR. Drajat Tri Kartono, M.Si., 2004). Ini membuktikan bahwa Bawean memiliki potensi ekonomi.

Kondisi ini dilanjutkan oleh Pemerintah di awal kemerdekaan RI sampai tahun 1968 lalu macet. Kemudian dilanjutkan kembali oleh PELNI sekitar tahun 1992 dan berakhir tahun 2003 dengan jalur Tanjung Perak, Bawean Tanjung Pinang atau Kalimantan. Jalur pelayaran PELNI ini tidak dilanjutkan karena beberapa oknum pengusaha kapal Bawean yang hanya mementingkan pribadi dengan mengirim surat protes kepada Mentri Perhubungan. Celakanya Pemerintah Daerah tanpa cek dan recek merekomendasi usulan tersebut padahal masyarakat masih amat membutuhkan jalur “kapal besar” itu dibuktikan dengan banyaknya penumpang dari waktu ke waktu dan dalam perhitungan bisnis tahunan, pihak PELNI tidak rugi.

Selain itu, Pemerintah Provinsi juga mendirikan Pengadilan Agama di Bawean yang setaraf dengan Kabupaten lain sejak dulu sampai sekarang masih eksis walau kelas kantornya lebih rendah. Di era Orde Baru Pemkab Gresik mendirikan Pengadilan Negeri (Pembantu) di Bawean dan pernah digunakan dua kali persidangan, setelah itu tidak difungsikan lagi karena alasan adminstratif. Berdirinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kantor Pelabuhan Pantai tidak lepas dari sebuah “pemikiran” bahwa di Bawean memiliki potensi ikan laut dan hasil laut lainnya yang luar biasa banyaknya. Hanya karena tindak lanjut dari Pemerintah yang kurang serius dalam pembinaan dan pengawasannya diiringi dengan migrasi besar-besaran penduduk ke Malaysia dan sekitarnya sebagai TKI maka kantor seluas lebih satu hektar tersebut kurang berfungsi dan kehidupan nelayan bergerak secara alami dan tradisional.

Kegiatan masyarakat Bawean yang memang dinamis sejak dahulu membuktikan betapa pentingnya perlakuan khusus ini. Kegiatan yang dinamis ini antara lain dibuktikan dengan semangatnya para pendahulu kita mendirikan Nahdlatul Ulama Cabang Bawean pada tahun 1943, jauh sebelum Cabang NU Gresik terbentuk. Diikuti dengan Cabang Muslimat, Fatayat, GP Ansor, IPNU – IPPNU, LP Ma’arif, Front Pembela Kemerdekaan, dll.

Bank Jatim yang semula “malu-malu” masuk ke Bawean, tetapi sampai kini semakin jaya yang omzetnya selalu naik sehingga ditingkatkan menjadi Cabang yang sebelumnya Cabang Pembantu.

Konon pada masa Dinasti Ming, China, pulau Bawean dijadikan pelabuhan persinggahan sebelum perahu-perahu masuk ke Pulau Jawa. Nama Pajinggahan diduga berasal dari “persinggahan” perahu-perahu dari Kalimantan, Sulawesi dan China. Di Masa Kejayaan Majapahit sampai masa Pemerintahan Islam di Pulau Jawa, beberapa pelabuhan kuno Pulau Bawean diposisikan tempat persinggahan perahu-perahu Kerajaan, ini bisa diamati bekas-bekasnya di Pelabuhan tua di Kumalasa dengan adanya kuburan dan benda-benda pustaka bersejarah.

Dari sisi historis ini saja (tentu perlu dilengkapi dengan fakta lainnya) sesungguhnya Bawean sudah layak dijadikan sebuah Kabupaten. Hanya karena jumlah penduduk yang belum memenuhi syarat --karena persentase perekembangan jumlah penduduk rendah--, Pendapatan Asli Daerah yang masih rendah maka para tokoh Bawean tahu diri untuk tidak melanjutkan usulan Bawean menjadi Kabupaten. Sehingga setidaknya status Kecamatan Kepulauan / Kecamatan Khusus sangat mendesak untuk segera di-Perda-kan.

2. LETAK GEOGRAFIS

Dari konteks pemerintahan, sumber dari segala sumber permasalahan sebenarnya yang paling dominan terpuruknya pelayanan dan kesejahteraan adalah letak geografis Bawean yang berjarak 80 mil laut ke Kota Gresik dan tidak segera dicarikan solusi oleh Pemerintah. Sehingga dari semua sisi dalam menggerakkan kegiatan-kegiatan dan pembangunan di Bawean terkendala jarak yang relatif jauh ini.

Walaupun Bupati Gresik, Wasiadji, SH (1978 – 1983) pernah mengatakan bahwa antara Bawean – Gresik tidak dipisah laut, melainkan disambung oleh laut (artinya laut tidak menjadi hambatan), tetapi kenyataannya tetap saja warga Bawean tidak terlayani dengan adil. Jadi itu hanya sebagai pernyataan pemanis yang tak berfungsi signifikan dari segi kebijakan. Termasuk pejabat yang mengatakan bahwa Pemkab tidak pernah menganaktirikan Bawean. Namun realita dan faktanya warga Bawean dari beberap sisi, bukan saja sebagai “anak tiri”, tetapi mungkin lebih dari itu yaitu sebagai “anak titipan” hal ini kalau dikaitkan dengan bahwa Bawean sebelum tahun 1975 merupakan bagian dari Karisidenan Surabaya (mulai tahun 1975 resminya dititipkan pada Pemkab Gresik). Contoh kasus segi pelayanan kesehatan, listrik, jalan, pendidikan (tinggi), peradilan, harga barang dan jasa ini semua belum terlayani dengan layak bila dibandingkan warga di 16 kecamatan lain di Gresik.

Tidak perlulah lagi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bombastis atau pemanis. Nampak enak didengar dan idealis karena hanya akan membuat “sakit hati” warga Bawean baik yang ada di rantau atau di pulau karena sudah bisa ditebak akan kosong dalam realisasi dalam peningkatan pelayanan. DR. Drajat Tri Kartono, M.Si., 2004 menulis bahwa di sebuah dusun di Bawean, sampai tahun 2004 belum tersentuh pembangunan sama sekali kecuali mereka membangunnya sendiri, yang berupa jalan beton antar dusun, pasokan listrik, bangunan tempat ibadah dan fasilitas umum dan lain-lain dengan dana dari masyarakatnya yang bekerja di Malaysia.

Sehubungan dengan faktor geograris yang amat dominan dalam penumpukan persoalan, maka siapa pun dan dari kelompok mana pun pejabatnya, selagi Sangkapura – Tambak statusnya sama dengan kecamatan lain di Gresik, maka untuk menyejahterakan Bawean setaraf dengan warga kecamatan lainnya di era Otoda ini hanyalah sebuah utopia. Sebab faktor geografis ini akan berkaitan dengan ongkos, tenaga, faktor cuaca, kapal, belum lagi sikap oknum pejabat yang kurang perhatian terhadap kepentingan masyarakat. Semuanya saling berkait dan saling menyalahkan ketika terjadi persoalan di lapangan antara pejabat dengan pejabat, pejabat dengan masyarakat atau kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya padahal persoalannya kadang terletak pada regulasi yang kurang memihak pada Bawean.

3. FLORA DAN FAUNA

Tidak dapat diurai dengan detail di sini betapa kaya sumber daya alam Bawean khususnya flora dan fauna. Di daerah pesisir / pantai misalnya, kaya akan terumbu karang, berbagai jenis udang, penyu dan kura-kura juga kerang-kerangan. Belum lagi seribu jenis ikan tersedia di peraian Bawean. Kejayaan nelayan Bawean di awal kemerdekaan menggambarkan bahwa hasil satu kali musim panen bisa dimakan setahun sehingga pegawai negeri sipil sangat tidak diminati karena gaji pegawai negeri jauh lebih rendah penghasilannya dibanding nelayan. Home industri pindang yang berjumlah 33 pengusaha (Jacob Vredenbregt, 1998) yang produksinya dipasarkan di Surabaya dan sampai jauh menyeberang ke Kota Semarang, Jawa Tengah menggambarkan betapa tingginya potensi ikan di perairan Bawean.

Pemandangan alam bawah lautnya yang memikat para wisatawan merupakan sarana wisata bahari yang masih perawan. Kawasan pasir yang menghampar indah dan hampir mengelilingi pulau menjadikan Bawean lebih cantik. Dilengkapi dengan empat pulau yang mengitarinya menambah sempurnanya keelokan pulau ini yang masing-masing pulau memiliki kekayaan flora dan fauna serta pemandangan laut yang tinggi.

Kawasan suaka marga satwa seluas 1.220 hektar terdiri dari 830 ha hutan alam dan 390 ha hutan jati (Releiht A. Blought, 1979) merupakan habitat Rusa Bawean atau Axis Kuhli yang merupakan satu-satunya jenis rusa di Dunia yang perlu dilestarikan dengan serius. Belum lagi lahan perkebunan dan persawahan yang subur gembur dapat tumbuh berbagai spisies tanaman dan binatang. Ratusan jenis burung mulai glatik, beo, bangau, elang, burung hantu sampai elang termasuk binatang ternak dan binatang buas semua hidup sempurna. Jamaluddin, S.Si. (2005) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa Bawean memiliki ratusan jenis pisang yang hal ini tidak terjadi di kawasan lain pada luas lahan yang terbatas seperti Bawean. Biji-bijian da umbi-umbian, jenis tanaman keras seperti kaju bulu, buah merah, binong, mahoni dan lain-lain serta berbagai jenis tanaman dan tumbuhan obat dan ini merupakan apotek hidup raksasa yang perlu pelestarian, semuanya tumbuh subur.

Luar biasa kekayaan flora dan fauna kita. Akan tetapi seribu sayang, karena tidak dikawal dengan kebijakan terpadu dan kontinyu dari pemerintah, maka sebagian besarnya tinggal menjadi kenangan dan akan disusul dengan dengan musnahnya flora dan fauna yang masih tersisa karena sampai saat ini perusakan terumbu karang, penambangan yang tidak berwawasan lingkungan, serta penebangan pohon (lindung) terus terjadi oleh yang memiliki izin tebang atau oknum yang pura-pura punya izin.

4. LINGKUNGAN

Menurut Hoogerwerf (The WWF, 1979) Pulau Bawean terbentuk dari sisa-sisa gunung berapi tua, dengan ketinggian maksimal 655 meter. Kawah yang tertua sulit diketahui. Telaga Kastoba merupakan kawah muda yang menjadi telaga. Bukit-bukit kecil terdapat dalam jumlah banyak, yang konon sebanyak 99 bukit / gunung. Gunung Tinggi merupakan krucut terbesar dan Gunung Besar merupakan krucut tertinggi.

Tanah di dekat pantai sebagaian besar terdiri dari lumpur kelabu dan pasir yang mengendap. Tanah liat berwarna coklat merupakan tanah tua yang berasal dari sungai atau laut banyak terdapat di di ketinggian 10 – 30 meter merupakan areal persawahan. Tanah merah tua merupakan hasil reaksi asam yang banyak di dataran tinggi. Sekitar 85 % Bawean merupakan batu-batuan yang bermunculan akibat ledakan. Batu-batu terlempar keluar melalui batu sedimen tua yang terutama terdiri dari batu lumpur dengan lapisan pasir, tanah liat dan batu bara muda.

Struktur dan komposisi tanah dan bebatuan ini merupakan perpaduan yang sempurna sehingga semua flora dan fauna yang merupakan jaringan simbiosis – mutualisme dapat hidup baik dan terjaga kelestariannya. Sekali lagi seribu sayang, akibat oknum yang hanya untuk kepentingan pribadi dan kepentingan sesaat tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan terjadilah pengrusakan lingkungan di pantai, darat dan penggundulan hutan.

Longsor di sekitar Telaga Kastoba, tepatnya di Dusun Candi, cukuplah merupakan pelajaran berharga sekaligus teguran Allah SWT, betapa sudah rusaknya lingkungan kita. Ketika kita sudah tidak ramah lagi dengan lingkungan maka lingkungan akan menjawabnya dengan bencana pada kita. Maka bila suatu ketika air Telaga Kastoba sudah tidak ada penyanggah, bisa saja akan menjadi bencana waduk Situginting kedua, sehingga tamatlah riwayat pulau ini yang lambat laun menjadi gersang dan menjadi padang pasir yang panas dan tandus. Pengelolaan lingkungan ini pun perlu segera ada kebijakan tersendiri yang kuat, terpadu, menyentuh dan perlu pendanaan untuk menjaganya. Ini perlu disuarakan, siapa tahun Pemkab kurang peduli terhadap besarnya potensi kekayaan alam yang sekaligus bencana mulai menganga yang siap menerkam kehidupan warga Bawean. Na’dzubillah.



5. KESEHATAN

Jamak orang memahami bahwa telah banyak korban jiwa akibat faktor teknis atau transportasi, mungkin juga faktor medis khususnya kurang lengkapnya fasilitas kesehatan serta dokter spesialis atau para medis lainnya sehingga kasus-kasus melahirkan, kecelakaan, penyakit menular dan lain-lain pemerintah tidak dapat melayani warga Bawean dengan baik sebagaimana pemerintah melayani kesehatan pada warga kecamatan lain di Gresik.

Selagi status Sangkapura dan Tambak sama seperti 16 kecamatan lain, maka masyarakat Bawean tidak bisa mendesak untuk mendirikan misalnya Rumah Sakit Umum walau tipe D atau mengirimkan para dokter spesialis karena tidak ada dasar hukumnya.

6. KEGIATAN KEAGAMAAN

Ada 114 masjid di Bawean artinya rata-rata tiap desa memiliki hampir 4 masjid. Tidak satupun dusun dari 160 dusun yang tidak memiliki surau / langgar. Pondok Pesantren sekitar 15, belum lagi sejumlah madrasah diniyah dan sekolah keagamaan formal seperti RA, MI, MTs, dan MA yang tersebar rata di pelosok. Itu semua merupakan sarana pembinaan keagamaan pada masyarakat.

Sulit dicari dusun yang tidak memiliki ustadz atau kiyai. Secara rutin sepanjang tahun potensi tersebut melaksanakan kegiatan Maulidurrasul, Isra’ Mi’raj, Sya’banan, Nuzulul Qur’an, Idil Fitri, dan Idul Adha yang biasaya dijadikan sarana memberikan pencerahan / mauidah hasanah kepada masyarakat. Disamping itu ada acara khitanan, selamatan haji, pernikahan, tasyakuran pembangunan, pengajian sebulan puasa, imtihan madrasah, dan lain-lain yang juga menempatkan ceramah agama pada acara pokok.

Tambahan pula organisasi keagamaan di Bawean boleh dikata hanya dua yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dan agama penduduk hampir seratus persen Islam, tidak lebih dari 20 orang yang beragama lain itupun hanya pendatang. Dan peluang berbuat jahat sebenarnya cukup sempit karena pulau ini tertutup dengan wilayah lain yang digaris dengan laut sebagai pembatas sekeliling pulau.

Maka layak bila ada orang menyebut denyut kehidupan masyarakat di Bawean amat islami dan wajar bila disebut pulau santri atau ada gagasan penambahan pulau sebagai Bawean Serambi Madinah (walaupun sekedar sebuah gagasan untuk memberi motivasi kepada penduduk “kesana” cita-cita kita). Lalu apakah segampang dan seindah itu dalam kenyataannya ?

Tetapi cukup kecewa kita karena realitanya tidak seindah ilustrasi di atas. Seiring gegap gempitanya kegiatan religi, marak pulalah kegiatan maksiat, baik sabung ayam, pencurian, perampokan, kasus rentenir, minuman keras beredar secara bebas, pembunuhan, perkosaan (perzinahan) dan pencabulan, judi, dan penyakit masyarakat lainnya.

Catatan kepolisian membuat kita terbelalak betapa di tahun 2009 di Tambak menurut pejabat kepolisian banyak penjudian, kasus miras, sabung ayam yang mendominasi, sedangkan di Sangkapura pada tahun yang sama kasus yang mendominasi : pencabulan / pemerkosaan, pencurian dan kasus rentenir.

Itulah pentingnya diadakan pengaturan khusus di bidang religi untuk Pulau Bawean, karena tidak imbang antara potensi yang begitu besar yang dimiliki masyarakat Bawean dalam upaya mempersempit maksiat dengan peluang berbuat maksiat. Tetapi mengapa maksiat berjalan mulus dan meluas ? Sementara sudah ada regulasi dalam bentuk Perda Maksiat baik Perda No. 7 Th 2002 tentang Pelarangan Pelacuran dan Perbuatan Cabul atau Perda No. 15 Th 2002 dan No. 19 Th. 2004 tentang Larangan Peredaran Minuman Keras. Sebenarnya regulasi itu cukuplah efektif membantu mempersempit atau meminimalkan perbuatan maksiat, tetapi nampaknya tak ada gema dan tak ada tindakan yang berarti. Kalau ada itupun parsial dan insidental yang tidak berpengaruh apa-apa terhadap pelaku dan calon pelaku.

7. HUKUM DAN KRIMINAL

Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sekitar 80 ribu jiwa di Bawean, kasus-kasus kriminal dan kasus lainnya yang masuk ke pengadilan Negeri cukuplah rendah. Akan tetapi ketika ada kasus Bawean masuk ke aparat penegak hukum maka sebagian besar warga Bawean “tidak mau repot” dan ingin segera selesai. Hal ini dapat dipahami mengingat besarnya biaya layar, penginapan, transportasi di Gresik dan lain-lain disamping juga mereka meninggalkan keluarga dan kegiatannya di Bawean berhari-hari sehingga memilih jalan pintas bagaimana perkaranya segera selesai. Kondisi inilah yang mungkin terbaca sejak dulu oleh oknum ataupun maklar kasus. Maka terjadilah transaksi di luar pengadilan. Dengan tradisi seperti inilah para oknum merasa senang menangani kasus-kasus warga Bawean apa pun perkaranya karena bisa “dipermainkan”.

Disinilah pentingnya dicarikan solusi sekaligus melindungi warga Bawean ke depan di bidang hukum misalnya untuk persidangan terntentu bisa dilaksanakan persidangan di Bawean atau solusi lainnya tentu harus melalui rintisan payung hukum yang mengatur khusus perkara-perkara warga Bawean sehingga berlakunya tidak hanya sesaat saja.

8. ASET NEGARA

Beberapa aset negara yang ada di Bawean baik tanah, bangunan atau inventaris dan lain-lain sebagiannya mulai terbengkalai. Kalau ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan bisa digunakan secara tetap atau dikuasai pribadi. Apabila sudah pada tahap dikuasai atau diklaim menjadi miliknya permasalahannya akan semakin rumit.

Sementara Pemkab dari tingkat pendataan ke pendataan kadang kurang valid karena tenaga pendata kadang tidak dilengkapi dengan data sebelumnya sehingga hanya bergantung kepada siapa dan pihak mana yang memandu. Ini membayakan aset negara karena kurang valid dan kurang akurat. Aset-aset negara yang terlihat jelas dan kurang optimal atau sudah berubah fungsi misalnya : batas-batas tanah negara di beberapa bangunan pemerintah, tanah dan perumahan dinas SDN, GNI Sangkapura, pengadilan negeri, perumahan dinas beberapa instansi, tanah bekas bangunan pemerintah, kantor duana dan syahbandar, pelabuhan perikanan pantai, dermaga perikanan, dan dermaga pelabuhan yang baru, dan lain-lain.

9. WISATA

Sudah tepat sebenarnya Pemkab Gresik membentuk UPT Dinas Pariwisata di Bawean sejak lima tahun lalu karena Pulau Bawean memang berpotensi di sektor wisata bila dikembangkan. Tetapi kenyataannya kegiatan yang menyentuh pada masyarakat rasanya tidak terdengar dan kantornya pun sangat tidak representatif untuk dikatakan sebagai pusat pengelola pariwisata. Jadi adanya sama dengan tidak adanya karena pembentukan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) tersebut tidak diiringi dengan ketenagaan yang memadai, sarana prasarana yang cukup, fasilitas kantor dan dana operasional.

Mungkin akan berbeda apabila Bawean sudah memiliki Perda khusus, sehingga bisa membekali teman-teman di legislatif untuk “berkreasi” dalam membangun cita-cita masyarakat Bawean menjadi Kawasan Religi (pulau wisata relegius) termasuk juga beberapa UPT yang lain benar-benar diusulkan pendanaannya sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (4) Bab III UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Disamping itu harapan masyarakat untuk menjadikan Pulau Bawean sebagai Kawasan Religi bisa dilaksanakan dengan segera. Daripada seperti sekarang ini yang sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat-tempat wisata sebagian besar dijadikan sarana pacaran, perzinahan, mabuk-mabukan dan maksiat lainnya karena tidak ada yang menjaga secara khusus. Tentu ada pula yang memang digunakan untuk studi wisata dan lain-lain.

10. BUDAYA DAN BAHASA

Dari buku Kecamatan Sangkapura Dalam Angka dan Kecamatan Tambak dalam Angka yang diterbitkan oleh Biro Statistik Tahun 2007, jumlah penduduk Bawean 88.027 terdiri dari 43.675 laki-laki dan 44.348 perempuan. Penduduk Bawean memiliki kekhususan tersendiri dan berbeda jauh manakala dibandingkan dengan penduduk di 16 kecamatan lainnya di Gresik. Pada makalah DR. Ayu Sutarto yang disampaikan pada seminar adat di Jember menyatakan bahwa Bawean termasuk salah satu dari 10 etnik yang ada di Jawa Timur.

DR. KH. Dhiyauddin Quswandi dan Abdul Latiff, SH. dalam bukunya Waliyah Zainab yang diterbitkan Yayasan Waliyah Zainab, 2008 menyimpulkan bahwa kekhasan Bawean terletak pada bahasa, pakaian, seni dan budaya. Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat di Desa Diponggo dengan segala perbedaannya merupakan peninggalan Waliyah Zainab yang lestari hingga sekarang karena Diponggo tidak bisa dipengaruhi masa pemerintahan sesudahnya.

Masa pemerintahan sesudahnya adalah pengiriman Juru Dakwah dan penyiar agama Islam dari Raja-Raja di Madura yang menggunakan bahasa Madura kemudia bahasa tersebut berasimilasi dengan bahasa penduduk setempat yang beragam baik dari Jawa, Sumatra, Sulawesi dan bahasa lainnya termasuk juga Bahasa Arab maka lahirlah Bahasa Bawean sebagaimana yang digunakan masyarakat Bawean saat ini baik di rantau atau di pulau. Di bidang seni dan pakaian banyak kesamaan dengan Melayu. Bidang bela diri ada perbaduan antara Suku Mandar di Sulawesi, Jawa dan Melayu. Olah raga sepak takraw yang para atletnya yang selalu mendapat prestasi Nasional di perkirakan berasal dari Tanjung Pinang dan Bangka Belitung. Sedangkan tradisi dan keagamaan ada pengaruh Hindu Budha yang dulu diduga berpusat di Dusun Candi, misalnya masih adanya sesajen dan lain-lain.

Dengan kekhasan ini menjadi penambah kuatnya untuk mengeluarkan Perda dalam rangka melindungi dan mengembangkan bahasa, olahraga, tradisi dan seni budaya etnik Bawean.

11. EKONOMI DAN PRESTASI

Diakui atau tidak jasa Bawean terhadap pemerintah baik pusat ataupun pemerintah daerah cukuplah besar. Di bidang ekonomi dari segi menyumbang devisa antara lain fiskal teman-teman kita yang bekerja di luar negeri sebagai TKI di Negara tetangga, jasa transaksi dana lewat perbankan antar negara, dan lain-lain. Pada tahun 1984 data dari PBS Singapura tidak kurang dari 250 ribu dan PBM Malaysia 750 ribu warga Bawean yang berada di sana. Mereka terdiri dari penduduk asli dan yang berstatus perantau / TKI. Bila 20 persen saja dari mereka sebagai TKI maka ini merupakan sumber devisa yang cukup besar belum lagi mereka harus menggunakan jasa transportasi dan perbelanjaan di Indonesia sebagai perantau. DR. Drajat Tri Kartono, 2004 melukiskan, “...kunjungan ke pulau itu (Bawean) telah mencengangkan karena di pulau yang terpencil itu, sebagian besar penduduknya baik di puncak gunung maupun di pinggiran pantai telah berpengalaman mencari nafkah dengan menjelajah mancanegara.”

Bidang lainnya seperti H. Arfa’e, yang memenangkan Juara I Kalpataru bidang Penyelamatan Lingkungan, Khatib Zen penyelamatan populasi Rusa Bawean, Aisyah Azis dan Nikmatuzzuhra juara MTQ Nasional, para pelajar dan remaja Bawean yang selalu menjuarai Cabang Sepaktakraw baik di tingkat Daerah atau Nasional, juga Harun bin Mahdar putra Diponggo yang dikokohkan sebagai Pahlawan Nasional. Belum lagi putra-putra terbaik Bawean yang “digunakan” daerah lain baik sebagai pebisnis, profesional muda, tenaga fungsional dan struktural di pemerintahan, dosen, petinggi partai dan anggota legislatif di berbagai tingkatan.

Namun prestasi-prestasi tersebut rasanya hanya diberi “piagam” oleh Pemerintah, setidaknya penghargaan dari Pemerintah amatlah tidak berimbang bila dibandingkan dengan jasa dan prestasi yang diberikan Bawean. Contohnya : Pasir Putih yang begitu megah dikala mendapatkan juara, tetapi kondisinya kini berantakan dan tak nampak lagi keindahan dan kekayaan kayu sentiginya karena tidak ada dana perawatan ataupun sumbangan sarana walau seribu rupiah pun.

Diharapkan dengan Perda peningkatan status Bawean perekonomian akan tumbuh signifikan baik di bidang kelautan, perikanan dan pertanian, peternakan, perhubungan, home insustri, perdagangan, pertukangan, dan lain-lain karena sesungguhnya banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan pada bidang-bidang ini dengan catatan dikelola secara modern dan dicarikan solusi dalam pendistribusiannya (pemasaran) dari produk-produknya. Tentu saja peran masyarakat yang selama ini eksis tetap sangat dibuthkan sebagai penyangga utama pengembangan perkonomian berikutnya.

Apabila ini tidak terjadi 10 tahun ke depan sementara pemulangan TKI ke Bawean khususnya dari Malaysia terus menerus, maka akan terjadi penumpukan tenaga kerja usia produktif. Dilain pihak lapangan kerja semakin sempit, potensi alam yang tidak bisa diperbarui kian punah seperti batu onix, pasir, batu dan lain-lain maka dimungkinkan akan terjadi bencana sosial. Tentu bila ini terjadi yang akan repot dan akan menjadi beban tersendiri bagi Pemkab Gresik. Akankah kita harus menunggu bencana sosial itu ?

Dan indikasi ke arah sana sudah mulai nampak dengan adanya pencurian, perampokan, kasus-kasus rentenir, penipuan, nelayan yang telah menggantung jaringnya karena sulitnya mencari ikan, petani yang telah mengistirahatkan alat-alat pertaniannya karena kekurangan air dan lain-lain.



12. PENDIDIKAN

Hasil tidaknya sebuah pendidikan, baru akan diketahui dalam waktu 20 – 30 tahun, artinya satu generasi. Apabila lulusan pendidikan yang saat ini sedang berkarya di masyarakat dianggap berhasil maka keberhasilan itu berarti keberhasilan pendidikan 20 tahun silam, begitu juga sebaliknya. Betapa pentingnya bidang pendidikan ini sehingga sesungguhnya ketika seseorang terjun di dunia pendidikan berarti ia telah mempertaruhkan nasib generasi (bangsa) 20 tahun yang akan datang, apakah ia bisa mencetak generasi prestasi atau hanya memberi generasi yang penuh masalah dan hanya memberi beban masyarakat. Jadi kita harus jujur berbicara masalah pendidikan ini karena demi nasib masyarakat kita di masa datang.

Kasus yang cukup krusial pada satu dasawarsa terakhir ini terdapat di dunia pendidikan tinggi di Bawean. Pendidikan tinggi di Universitas Terbuka (UT) di Bawean misalnya, walaupun ini merupakan program penyetaraan --artinya para mahasiswanya diharapkan dari mereka yang sudah bekerja di bidangnya kemudian ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan bidang kerjanya-- akan tetapi dari segi kuantitas perkuliahan / tutorial yang dijatah 8 kali pertemuan minimal dalam satu semester tiap mata kuliah sering tidak sampai terpenuhi karena faktor teknis yang rata-rata sebagai “dosen terbang” disamping faktor lainnya. Tentu hal ini akan mempengaruhi secara negatif bagi kualitas lulusannya.

Kasus kedua adalah pendidikan yang dikelola di luar UT yang dikenal kampus jarak jauh atau apa pun sebutannya yang marak terjadi di Bawean sampai saat ini. Kasus dominannya berkutat pada karya tulis ilmiah.

Padahal seorang mahasiswa paripurna akan layak menyandang gelar sarjana antara lain apabila sebelumnya mereka telah diuji dan lulus pada ujian Tugas Akhir / pendadaran antara lain melalui penyusunan skripsi dengan melewati tahapan-tahapan kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi validitas dan reliabilitas angket penelitian, metodologi, hubungan antar variabel, sistematika, daftar pustaka, dan lain-lain termasuk keaslian karyanya. Selain mereka harus mampu menyusun skripsi juga masih harus mempertanggung jawabkan secara lisan pada forum ujian di depan tim penguji dalam waktu yang cukup.

Mungkin sudah menjadi rahasia umum, ternyata diantara mereka diduga melakukan plagiat terhadap karya ilmiah orang lain. Indikasinya kita jarang melihat mahasiswa kita sibuk mengadakan penelitian di lapangan atau sibuk mencari sumber bacaan untuk skripsi / tugas akhir. Yang kita saksikan sehari-hari hanyalah mereka sibuk di tingkat pengetikan dan di ruang fotocopi. Ini bisa ditanyakan kepada lima mahasiswa terbaik setiap angkatan, apakah skripsi mereka memplagiat atau asli. Sering ditemukan ke-5 mahasiswa ini ternyata memplagiat karya mahasiswa lain. Apalagi mahasiswa peringkat di bawahnya Sungguh ironis.

Walaupun ini merupakan kasus nasional, sesungguhnya tidak perlu terjadi secara hampir merata pada mahasiswa kita karena kondisi geografis dan sosiologis Bawean memang beda dan khas. Perguruan tinggi di kota-kota besar, tidak secara “koor” plagiat, banyak di antara mereka yang benar-benar asli karyanya karena dipandu dosen profesional dan berkompeten, sarana prasarana kampus memadai, perpustakaan tinggal milih, laboratorium dan fasilitas lainnya amat mendukung, minimal berdekatan dengan fasilitas kampus atau lembaga lainnya.

Saya katakan kasus besar karena institusi pendidikan merupakan lembaga terpenting yang saat ini menjadi perhatian dunia untuk digunakan sebagai tolok ukur maju tidaknya suatu daerah atau bangsa, setelah sebelumnya diukur dengan inkam perkapita penduduk. Apalagi institusi tersebut merupakan pencetak sarjana guru yang akan mengawal dan mencetak generasi berikutnya. Sementara proses pencetakannya ada alur yang tidak dilewati yang mengakibatkan produknya tidak sempurna kalau tidak bisa dikatakan tidak wajar. Kalau ini dibilang sebuah kesalahan maka ini kesalahan kita bersama yang tidak boleh terjadi berlarut-larut, di sinilah pentingnya ada intervensi pemerintah disamping peran serta para tokoh yang sayang akan nasib generasi Bawean.

13. SUMBER DAYA MANUSIA

Diharapkan apabila telah berstatus Kecamatan Kepulauan / Kecamatan Khusus, putra-putra terbaik Bawean yang sudah menyandang sarjana, magister dan doktor, praktisi dan tenaga profesional atau memiliki keahlian khusus yang setara akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pemikirannya secara serius untuk menggerakkan kegiatan dan perekonomian di Bawean sesuai dengan bidang keahliannya.

Setidaknya dengan adanya peningkatan status Bawean diharapkan kegiatan warga dan lembaga-lembaga di Bawean akan semakin dinamis dan mereka lebih fokus dalam berkoordinasi dan mengundang tenaga ahli putra Bawean di rantau untuk membangun Bawean lebih maju lagi.

Ini penting dicarikan solusi mengingat kontribusi mereka selama ini banyak dinikmati di tempat mereka berdomisili atau dimanfaatkan daerah lain sementara kampung halamannya amat membutuhkan. Mereka pun tidak perlu disudutkan dengan asumsi, “apa yang harus mereka perbuat” dengan kondisi Bawean dan “ilmu” yang mereka miliki.

14. LAPANGAN TERBANG

Di masa awal reformasi sebenarnya amat menjanjikan untuk peningkatan kesejahteraan warga Bawean asalkan usulannya logis serta dikawal oleh pihak yang berkompeten.

Ada catatan penting pada perjalanan DPRD Kabupaten Gresik periode 1999 – 2004. Kala itu warga Bawean diwakili dua orang yaitu KH. Ali Dhafir dan Bp. Zulfan Hasyim, SH, M.Hum. Kedua beliau menyimpulkan ada beberapa kebutuhan pokok warga yang mutlak dipenuhi, antara lain transportasi laut, lapangan terbang, bank dan dermaga pelabuhan perahu di Tambak.

Bersama tokoh Bawean lainnya, menghadaplah wakil rakyat tersebut ke Gubernur Jawa Timur, Bp. Basofi Sudirman untuk “meminta” kapal cepat (pasca Jet Foil yang tidak bisa beroperasi lagi ke Bawean), dermaga di Tambak, Bank Jatim dan Lapangan Terbang. Sambutan Gubernur begitu hangat mungkin karena tamu dari pulau terjauh di Jawa Timur, tambahan pula salah seorangnya adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gresik. Hasilnya, respon Gubernur amat positif maka dilengkapilah persyaratan administrasinya.

Kapal cepat terealisir lewat ASDP berupa kapal Serayu, Barito, Pangrango dan lain-lain dengan masa tempuh empat jam (yang kemudian terhenti karena diprotes oknum pengusaha kapal Bawean yang hanya mementingkan pribadi). Bank Jatim terealisasi sampai sekarang kian eksis. Dermaga yang semula akan dibangun di Tambak, entah karena kebijakan apa sehingga dimutasi ke Sangkapura, dibarter dengan lapangan terbang untuk Tambak.

Untuk proses lapangan terbang, Bupati Gresik mengajukan lapter Bawean via suratnya bulan Mei 2003 kepada Mentri Perhubungan. Dan nasib baik, langsung disetujui bersamaan dengan lapter di Banyuwangi, Jember, Sumenep dan lain-lain. Pada 2007 dimulailah pembangunannya dengan ketentuan bahwa Pemkab Gresik berkewajiban dari sisi pembebasan tanah. Akan tetapi seribu sayang karena duet anggota DPRD tersebut tidak berlanjut ditengarai karena situasi politik Bawean tidak kondusif ditambah permasalahan di internal partai, juga mungkin anggota legistatif masa berikutnya tidak dapat mengawal program ini dengan ketat timbullah banyak permasalahan. Niatan kita adanya lapter tersebut untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan, tetapi karena “salah urus” telah memakan korban pejabat kita, setidaknya di awal tahun ini.

Sebenarnya lapter Bawean ini sudah dianggarkan oleh APBN sampai tahun 2014 (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Departemen Perhubngan 2005 - 2025). Maka apabila warga Bawean amat menginginkan terselesaikannya lapter tersebut, jalan yang mesti ditempuh antara lain mendorong wakil rakyat kita khususnya untuk mengawal dengan serius, sebelum pemerintah provinsi atau pemerintah pusat “ngambhul” dan ini akan menjadi supersulit untuk diperjuangkan kedua kalinya.

15. POLITIK DAN ORMAS

Bawean dengan segala kekhasannya perlu pendekatan khusus dalam menyikapi banyak kegiatan termasuk bidang politik. Walau “diluar” terdengar gonjang-ganjing dan keributan dan menyatakan bahwa politik itu kotor, sesungguhnya harus ada ambang batas dan ini peran tokoh masyarakat sehingga jangan sampai anggota dewan yang kita “kirim” ke Gresik di bawah standar.

Ini penting, alasannya wakil rakyat Bawean itulah yang pada hakikatnya menjadi “bupati” orang Bawean yang tahu watak, nasib, potensi SDM, SDA, keunggulan dan kekurangan alam Bawean serta langsung memiliki ikatan emosional tinggi. Kalau di kecamatan lain, tidak menjadi urusan terpenting, bahkan kendatipun tidak memiliki anggota dewan, pembangunannya masih akan jalan karena bisa dikawal oleh kepala dinas, badan, atau bahkan oleh pejabat tinggi Pemkab sebab setiap saat bisa dipantau.

Berbeda dengan Bawean yang jauh di mata menjadikan kendala tersendiri bagi mereka yang bukan putra Bawean bila untuk berkunjung atau memperbaiki nasib warga Bawean. Maka ke depan para Partai yang akan mengusung “bupatinya” mesti hati-hati dan selektif dalam memilih karena satu periode saja kita salah memilih maka korbannya masyarakat Bawean secara umum dalam waktu yang relatif lama. Sebuah Partai atau tokoh masyarakat yang mendukung / mengusung berdasarkan selera dan keuntungan pribadi sudah waktunya untuk ditinggalkan. Inilah PR besar kita di bidang politik sehingga tokoh kita ke depan selalu mengutamakan kepentingan dan manfaat yang berlipat kepada masyarakat, bukan menjadi beban dan racun masyarakat.

Termasuk di luar gelanggang politik praktis seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan lainnya perlu cermat dalam memilih pimpinannya karena kebijakan apapun dari pemerintah dan kegiatan apapun dari masyarakat akan bersentuhan dengan ormas ini. Apalagi mengingat saat ini terbentang permasalahan yang kompleks, rumit, dan saling berkait ini terus mengalir liar di Bawean tanpa ada solusi yang solutif seperti persoalan infra struktur, kriminal, lingkungan, dll karenya dibutuhkan para pimpinan yang kuat dalam pengetahuan, piawai dalam komunikasi dan lobi, berwibawa, simpati, tidak cacat moral, penuh keteladanan serta selalu mementingkan nasib Bawean. Kalau tidak ada, ya setidaknya yang paling mendekati pada kriteria tersebut.

16. PENGAWASAN

Satu hal lagi yang perlu penekanan adalah bidang pengawasan, baik pengawasan melekat (pengawasan dari atasan) atau pengawasan masyarakat. Ada asumsi bahwa semakin jauh suatu daerah dari pusat kota maka pengawasan akan semakin lemah. Di Gresik yang paling jauh adalah Bawean, berarti pengawasan yang paling lemah dari pemerintah adalah pelaksanaan pengawasan di Bawean. Kalau asumsi ini benar maka perlu ada kebijakan khusus untuk Bawean karena bagaimanapun pengawasan merupakan bagian penting dari rangkaian organisasi dan programnya yang tidak boleh diabaikan atau dinafikan.

Satu contoh : Di bidang pendidikan lanjutan / menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik dalam kondisi sekarang, apa mungkin Pengawas mata pelajaran bisa mengawasi dan membina guru-guru mata pelajaran di SMP / SMA di Bawean sementara mereka tetap bertengger dan berkantor di Gresik, termasuk juga guru-guru mata pelajaran di MTs / MA di Bawean. Guru-guru sekolah menengah / lanjutan kita selama ini berlangsung secara alami tanpa pengawasan dan pembinaan dalam arti rutin pembinaan di tingkat kelas, kecuali mereka hanya sempat mengikuti pelatihan-pelatihan dan seminar yang sifatnya insidental dan parsial padahal yang lebih penting adalah bagaimana pengawasan dalam pelaksanaan di sekolah. Salah satu tawaran solusi mungkin segera menempatkan para pengawas tersebut di Bawean atau menugaskan mereka secara berkala atau bergantian atau mengangkat guru-guru Bawean yang sudah layak menjadi Pengawas kemudian ditempatkan di Bawean atau dengan solusi lain sesuai dengan kondisi yang ada.

Adapaun pengawasan di bidang pembangunan fisik dari program kegiatan yang dibiayai APBD II inipun perlu adanya pengaturan khusus, misalnya memilih pengawas-pengawas yang teruji dan terpuji untuk ditugaskan ke Bawean ataupun membukan unit khusus yang dititipkan di Kecamatan yang tentunya diiringi dengan pendanaannya. Termasuk juga pengawasan serius dari pihak berwenang terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat yang menyimpang aturan.

Di bagian pengawasan masyarakat, nampaknya juga kurang berfungsi efektif karena LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang murni dan sungguh-sungguh mengawal dan memperjuangkan kepentingan masyarakat belum nampak pengaruhnya. Karena kemungkinan masih berkutat pada sulitnya pendanaan lembaganya dan belum ada pihak yang serius dan kontinyu mendanai mereka sehingga di lapangan mereka kuat dalam mencari data dan fakta, tetapi tidak kuat dalam segi “rupiah”.

17. PELUANG DALAM REGULASI

Berdasarkan beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan tata aturan perundangan lainnya, yang sebagiannya telah kami kutip pada bagian awal tulisan ini, nampaknya semua memberi peluang apabila Pulau Bawean yang saat ini baru memiliki dua kecamatan ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan Kepulauan atau Kecamatan Khusus. Lagi pula bahwa pada saat dulu wakil rakyat Bawean menduduki Wakil Ketua DPRD telah dapat “menyumbang” Bank Jatim, Dermaga, Kapal Cepat, dan Lapangan Terbang, maka diharapkan pada kesempatan emas ini Bp. Zulfan Hasyim, SH.MM yang menjabat Ketua DPRD menjadi modal 50 % untuk mengegolkan Perda ini.

Tentu harapan dikeluarkannya Perda itu bukan menjadi kontra produktif dalam artian fasilitas yang sudah ada sekarang dikurangi / ditiadakan karena kekhususannya, akan tetapi kandungan dari status tambahan itu adalah menambah, melengkapi dan menyempurnakan dari yang ada sekarang.

Pemkab seharusnya tidak perlu ragu karena ada sinyal beberapa tahun lalu bahwa baik Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Pusat selalu memandang Pulau Bawean itu berstatus terpencil. Ini dibuktikan dengan seringnya para tenaga fungsional baik di Kesehatan, Pertanian, Perikanan, Guru dan lainnya selalu diundang pelatihan, lokakarya, dan kegiatan lainnya bahkan sekedar diundang ke Jakarta hanya untuk menerima pengahargaan sebagai Guru Daerah Terpencil. Tambahan pula pada empat tahun terakhir PNS kita yang fungsional tersebut menerima Tunjangan Terpencil dari provinsi / pusat.

Ketika Otoda diberlakukan maka kewajiban memposisikan keterpencilan Bawean berada di Kabupaten / Kota. Disinilah perlunya Pemkab segera membuat payung hukum agar Bawean termasuk terpencil atau daerah khusus. Ironis bila sebelum Otoda para PNS kita menerima tunjangan terpencil, namun ketika ada Otoda yang intinya menngkatkan kesejahteraan, malah tunjangan terpencil terhapus. Yang menggiurkan pula bahwa UU RI No. : 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberi peluang memperoleh tunjangan khusus termasuk di dalamnya bagi guru negeri ataupun guru swasta yang bertugas di daerah terpencil. Nah, betapa urgennya Perda itu segera bisa diterbitkan!

PENUTUP

Tulisan ini disusun hanyalah untuk sekedar sumbangan pemikiran yang mencoba memberikan salah satu alternatif solusi bagi permasalahan di Bawean yang nampaknya tidak terurus padahal ada yang mengurus. Atau tidak terurus karena memang tidak diurus. Dan tidak bisa diurus karena sudah salah urus.

Yang tentunya dengan adanya Perda tersebut, Bawean diharapkan tidak selalu menjadi urusan tetapi menjadi penyanggah Pemkab dalam meraih prestasi-prestasi di masa datang.

Akhirnya jika pemikiran ini sahih, bergantung kita sejauh mana menyikapi dan mendorong pihak terkait untuk mengegolkannya. Dan apabila kurang tepat, cukuplah sebagai wacana.

Yang paling penting manakala kebijakan itu benar-banar direspon baik oleh Pemerinah Kabupaten Gresik, maka nantinya tidak dinikmati oleh beberapa kelompok saja. Atau kawallah bersama agar tidak membuka peluang permasalahan yang lebih besar di masa datang. Semoga.



DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gresik, Tanpa tahun. Undang-Undang RI Nomor : 14 Th. 2005.

Kartono, Drajat Tri, 2004 : Orang Boyan Bawean : Perubahan Lokal dalam Transformasi Global. Surakarta : Pustaka Caraka Surakarta.

Koordinator Statistik Kecamatan Sangkapura, 2008. Kecamatan Sangkapura dalam Angka. Gresik : Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik.

Koordinator Statistik Kecamatan Tambak, 2008. Kecamatan Sangkapura dalam Angka. Gresik : Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik.

Latif, Abdul, HS dkk : Mencipta Bawean : Antologi Gagasa Orang-orang Boyan, 2003. Bawean : Boyan Publishing.

Peraturan Pemerintah RI No. : 41 Th. 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Quswandhi, M. Dhiyauddi : Waliyah Zainab Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar, 2008. Bawean : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo.

The World Wildlife Fund Indonesia Prgramme, 1979 : Usulan Suaka Margasatwa Pulau Bawean.

Undang-Undang RI No. 32 Th. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang RI No.33 Th. 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang – Undang RI Nomor 14 Th 2005 tentang Guru dan Dosen.

Usman, Zulfa : Petodhu Bhesa Bhebien, 1996. Bawean : Next Generation Foundation.

Vredenbregt, Jacob, 1990 : Bawean dan Islam. Jakarta : INIS.

SHARE :

3 comments

esont 1 Oktober 2011 pukul 00.05

semoga "bos-bos" yg di Gresik, Surabaya, dan Jakarta membaca makalah yg bersemangat ini. Dan setelah membaca mengerti dan memahami, dan..lekas-lekas mengurus Pulau Bawean.

Semoga amal ibadah alm diterima di sisiNya dan ilmu yang diwariskan bermanfaat buat kita semua dan generasi selanjutnya, amin.

selamat jalan Pak Zulfa.
(yusuf hidayat)

Anonim 1 Oktober 2011 pukul 08.41

selamat jalan guru bhs indonesiaku............... semoga keluarga yg di tinggalkan di beri ketabahan, dan amal belio di terima di sisiNya amin.( dida bwn )

Anonim 1 Oktober 2011 pukul 12.06

Semoga tulisa ini bisa ada generasi putra putri Bawean yang bisa melanjutkan, demi kemajuan masyarakat Bawean ke depan. Pak zulfa sudah meletakkan dasar dasar yang kuat untuk pengembangan bawean ke depan, sekarang generasi muda yang wajib melanjutkannya. patah satu tumbuh seribu lagi

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean