Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Kilap Onyx Bawean Di Tulungagung
Berkilauan di Eropa

Kilap Onyx Bawean Di Tulungagung
Berkilauan di Eropa

Posted by Media Bawean on Kamis, 06 Oktober 2011

Media Bawean, 6 Oktober 2011

Sumber : Berita Jatim
Reporter : Rahardi Soekarno J.

Tulungagung (beritajatim.com) - Wilayah Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung terkenal sebagai penghasil marmer dan produk turunannya. Tapi, sejak lima tahun lalu, ekspor kerajinan marmer dan onyx kabupaten ini semakin lesu. Kelesuan terjadi akibat krisis keuangan global dan pembeli mengalami kejenuhan.

Sekarang, pembeli mulai beralih ke pasar batu alam untuk kebutuhan eskterior. Salah satu alasannya karena harga lebih murah. Lantas, bagaimana nasib marmer dan onyx ke depan?

Kecamatan Campurdarat terletak di sebelah Selatan dari Ibu Kota Kabupaten Tulungagung yang jaraknya sekitar 14 kilometer dengan luas wilayah 44.71 km2. Sedangkan jumlah penduduknya 54.228 yang terbagi di sembilan desa. Industri rakyat ini menyerap hingga sekitar dua ribu perajin dan 650 orang tenaga kerja dengan hasil produksi sebesar 4.570.000 unit per tahun.

Tambang yang terletak di Kecamatan Campurdarat ini menjadi komoditas utama karena memiliki deposit yang cukup besar, yaitu 124.062.500 meter kubik. Itu artinya, terbuka peluang yang cukup luas bagi calon investor untuk berinvestasi.

Sang surya bersinar cerah di depan showroom 'Mutiara Onyx', Jalan Raya Popoh, Desa Gamping Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung di awal bulan September 2011. Seperti biasa, toko yang menjual aneka kerajinan marmer dan batu oniks (onyx) di kawasan itu membuka lebar-lebar pintu mereka menunggu pembeli.

Tapi, hari itu, tak tampak aktivitas jual beli. Supriyono, pemilik 'Mutiara Onyx', bilang, sudah beberapa bulan belakangan, penjualan kerajinan marmer dan batu oniks memang sepi. Penjual bak menanti hujan di musim kemarau. "Sudah sepi, dihajar pula oleh serbuan barang marmer dari China. Pembeli juga sudah mulai jenuh dan beralih ke batu alam, karena harga lebih murah 40 persen dibanding marmer dan onyx," kata Supriyono kepada beritajatim.com di gerai miliknya baru-baru ini.

Ya, selain pasar lokal dan luar Jawa, produk-produk kerajinan marmer dan batu oniks yang lahir dari tangan perajin Campurdarat memang menyasar pasar ekspor. Contoh, Supriyono menjual produknya ke banyak negara, mulai dari Perancis, Polandia, Amerika, Belanda, dan Belgia.

Produk kerajinan yang paling banyak dipesan pembeli asing adalah ubin dan perlengkapan kamar mandi. Semisal wastafel dan tempat sabun.

Tampaknya, masa emas kerajinan marmer dan batu oniks Tulungagung dikhawatirkan akan berakhir. Padahal, sentra ini berjaya sejak 1980-an. Tahun 1991, pamor produk marmer dan oniks Tulungagung semakin mengkilap setelah kijing atau batu nisan dan lantai kompleks pemakaman keluarga besar mantan Presiden RI Soeharto, Astana Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah memakai produk marmer dari Tulungagung. Kijing itu dibuat dari batu marmer jenis 'Kawi Agung' yang merupakan marmer terbaik asal Tulungagung.

Tulungagung menjadi sentra kerajinan marmer lantaran kabupaten ini memang merupakan penghasil marmer yang besar. Tambang marmer terbesar ada di Campurdarat dan Desa Besole, Kecamatan Besuki.

Tapi, pengusaha ini juga mengambil bahan baku marmer dari daerah lain seperti Trenggalek, Pacitan, dan Blitar. Sedangkan untuk bahan baku onyx didatangkan dari Pulau Bawean menggunakan angkutan kapal. "Kami biasa mendatangkan onyx dari Bawean 2-3 bulan sekali dan sekali pengiriman menghabiskan biaya Rp 200 juta. Kami menunggu adanya pesanan dulu, baru membeli bahan baku onyx dari Bawean," imbuh Idawati, istri Supriyono.

Saat ini, Idawati mencatat, pengusaha marmer dan batu oniks yang tersisa di Tulungagung tersisa 300 orang saja. Padahal, pada tahun 2000, jumlahnya dua kali lipat lebih, sekitar 500 pelaku usaha. Selain membuat aneka kerajinan, semisal vas bunga, lampu meja, hingga guci, mereka juga membikin ubin.

Para pengusaha dan perajin mulai jeli dalam memproduk suatu barang. Batu onyx telah diproduksi dan memiliki ribuan bentuk jenis kerajinan. Harga jual kerajinan batu onyx mulai dari yang seharga Rp 1.500 hingga Rp 30 juta. Untuk harga yang murah, biasanya berupa gantungan kunci, piala dan peralatan rumah tangga. Sedang yang harganya hingga puluhan juta adalah berupa patung dan arca. Ukurannya pun juga berbeda-beda ada yang sekecil bolpoin, ada juga yang sebesar rumah.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, baru senang kemudian. Pepatah itu pas menggambarkan perjalanan usaha kerajinan marmer dan onyx yang digeluti pasangan suami istri Supriyono dan Idawati sejak 1992. Saat mendirikan usaha itu dengan hanya bermodalkan Rp 1 juta dan masih memiliki 10 karyawan, mereka harus memeras keringat dan jatuh bangun mengembangkan usahanya. Tetapi kini, mereka merasakan hasilnya dan telah memiliki tidak kurang dari 150 orang karyawan.

Supriyono yang hanya lulusan SMP menjadi salah seorang pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) kerajinan marmer dan onyx yang cukup terkenal di Tulungagung. Ekspor hasil kerajinan onyx miliknya rata-rata 5 kontainer/ bulan. Hasil produk yang banyak diminati pasar ekspor adalah kitchen set, perlengkapan kamar mandi, serta berbagai bentuk model hewan.

"Untuk ekspor, kami tidak langsung berhubungan dengan buyer (pembeli). Tapi masih pakai jasa pihak kedua. Kami percayakan semuanya mulai pengangkutan, perjalanan dan perijinan di pelabuhan sampai pengapalan. Biayanya juga lumayan besar untuk membayar agen yang mengurusinya," ujarnya.

Idawati menambahkan, buyer dari Amerika saat ini mulai berpindah ke barang marmer buatan China. Ini karena harga lebih murah, bahan baku lebih bagus dan pengerjaannya lebih modern. "Mereka pembeli dari Amerika bilang 'wah ternyata barang marmer dari Tulungagung masih tradisional pembuatannya. Di China lebih murah dan barangnya lebih bagus'. Meski begitu, kami tetap optimis bisa bersaing dengan barang China, asal pemerintah juga mendukung akses permodalan dan pemasarannya," pintanya.

Seluruh proses pembuatan kerajinan marmer dan onyx dilakukan dengan metode masih tradisional. Hal itu terlihat dari pengambilan bahan baku di pegunungan sekitar, mengangkut, memotong, mengukir, memoles untuk mendapatkan hasil mengkilap, hingga proses akhir semua dilakukan tangan manusia.

"Di sini, semua pekerjaan masih dilakukan dengan tangan manusia, itulah yang membuat ongkos produksi juga tinggi. Sebaliknya China telah menggunakan berbagai peralatan yang canggih," tuturnya.

Supriyono menceritakan, dirinya bersama keluarga tidak serta merta bisa menikmati hasil usahanya dalam waktu singkat. Sukses saat ini, berawal dari upaya yang sangat berat, jatuh bangun dan terseok-seok. Jauh sebelum tahun 1992, dia rela tidak melanjutkan pendidikan SMA karena memilih bekerja untuk menambah keuangan keluarga.

Sebagai anak tertua dari keluarga pas-pasan, dia harus ikut mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Berkat bakat seni yang dimilikinya cukup kuat, Supriyono memilih menjadi pekerja di salah satu perusahaan onyx di sekitar rumahnya. Justru bekerja di lokasi kerajinan, ia banyak menimba ilmu, mulai dari proses produksi, pemilihan bahan, pemilihan disain, hingga pemasaran.

Tak ayal, setelah lima tahun sebagai pekerja, mulailah ia berpikir untuk membuka usaha sendiri. Dengan bermodalkan uang Rp 1 juta, Supriyono memberanikan diri membuka usaha sendiri. Ia mulai memproduksi beberapa kerajinan onyx meskipun hanya mengandalkan polesan tangan, karena saat itu ia belum memiliki mesin-mesin yang canggih.

Kerja keras itu pun mulai menunjukkan hasil. Sedikit demi sedikit, barang produksinya laku terjual. Dari situlah ia mulai berpikir untuk mengambangkan usaha. Tapi sayang, ia terbentur oleh modal. "Saat itu kami kesulitan mendapatkan modal. Kredit di bank tidak mudah, sehingga kami harus mencari pinjaman ke sana-ke mari. Baru tahun 2010 lalu, kami dapat pinjaman kredit di BPR Jatim sebesar Rp 200 juta," kenangnya.

Pada awalnya, Supriyono merupakan satu-satunya pengrajin dari kalangan muda. Karena itu, ia berani mengklaim dirinya sebagai pemuda perintis usaha kerajinan onyx di daerahnya. Sukses Supriyono di bidang ini, menarik perhatian para pemuda di desa sekitar.

"Saat ini sudah sekitar 150 usaha serupa di desa ini, dan juga menyebar hingga ke desa-desa lain di wilayah kecamatan Campurdarat," kata Supriyono yang tidak bersedia menyebutkan omzet penjualan secara blak-blakan. Kalau dlihat dari aktivitas penjualan, dalam satu bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Pemprov Jatim, Fattah Jasin mengakui bahwa selain batik, perkembangan marmer dan batu onyx di Tulungagung sangat menggembirakan. Data menunjukkan tren positif.

Dijelaskannya, Jatim sekarang sudah tumbuh 4,3 juta unit UMKM. Pemprov akan berusaha meningkatkan jaringan dan peningkatan sumber daya mineral serta memfasilitasi usaha perkembangan koperasi dan UMKM.

"UMKM itu beberapa di antaranya juga usaha penjualan batu marmer dan onyx," kata Fattah.

Sementara itu, di Kabupaten Tulungagung, terdapat 31 ribu unit UMKM berbagai produk dan jenis. Keberhasilan mayoritas usaha membuat nilai kontribusi terhadap pemerintah daerah sangat terbantu.

Pihaknya juga memiliki klinik UMKM untuk memajang hasil kerajinan dan potensi daerah Tulungagung. "Tahun 2010 saja kontribusinya mencapai 60 persen, atau naik 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya," pungkas Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Tulungagung, Sungkono. [tok/but]

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean