Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Mari Kreatif
Sebuah Catatan Perjalanan

Mari Kreatif
Sebuah Catatan Perjalanan

Posted by Media Bawean on Selasa, 25 Oktober 2011

Media Bawean, 25 Oktober 2011

Oleh : Ali Asyhar *
(Catatan Perjalanan ke Kampung Penambangan Pasir Emas
Tradisional di Pesanggaran Banyuwangi)

Ahad, 23 Oktober 2011 , penulis pergi ke Banyuwangi. Tepatnya di desa Pesanggaran, kecamatan Pesanggaran. Tujuan utama penulis adalah untuk meneliti gejala dan perubahan social yang terjadi akibat ramainya penambangan pasir emas tradisional. Penulis memakai istilah penambangan emas tradisional bukan penambangan emas illegal. Karena legal dan illegal adalah konstruk penguasa. Penelitian ini merupakan tugas kelas mata kuliah Humaniora di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

Penulis berangkat dari terminal Purabaya (Bungurasih) Ahad malam jam 22.00 WIB. Tepat adzan subuh penulis tiba di terminal Jajag Banyuwangi. Selepas shalat subuh penulis berbincang dengan penjaga warung kopi sambil menunggu bis yang akan membawa ke lokasi. Penulis mendapat banyak informasi awal tentang praktek penambangan pasir tradisional, pengepul, aparat, harga pasir emas yang sudah di raksa (sepuh), PT. IMN dan perubahan gaya hidup warga setempat. Tepat jam 6.00 WIB bis dekil datang. Sepanjang perjalanan dari terminal Jajag menuju lokasi penambangan tidak ada yang istimewa. Disamping suara bis yang terguncang-guncang, kiri-kanan jalan adalah area persawahan yang subur. Jalanan bergelombang dan berdebu karena kualitas aspal yang tidak bagus. Penulis bertanya kepada salah satu penumpang tentang kondisi jalanan yang rusak ini. Penumpang ini menjawab bahwa bupati sekarang ( Abdullah Azwar Anas) sedang giat-giatnya membangun Banyuwangi. Insya Allah jalanan ini juga segera tergarap. Selama lima tahun periode bupati sebelumnya pembangunan infrastruktur tidak tersentuh. Bupati (Ratna) sibuk berjibaku mempertahankan kekuasaannya dari serbuan para penentangnya.

Tiba di pasar desa Pesanggaran, penulis melanjutkan perjalanan dengan ojek. Setelah 30 menit menaiki pegunungan maka mulai terlihat lobang-lobang menganga di sela-sela bebatuan pegunungan. Ratusan lobang itu di dalamnya terdapat puluhan manusia yang sedang berburu pasir emas. Warung-warung kopi dan makanan berderet. Sejumlah pekerja yang sedang beristirahat tampak santai sambil menghisap rokok. Penulis segera berbaur dengan mereka dan bertanya ini-itu.

Informasi yang penulis dapatkan sungguh menggelitik. Dari ribuan penambang pasir emas ini sebagian besar adalah bukan warga lokal. Mereka berasal dari luar daerah bahkan luar propinsi. Dari Jember, Lumajang, Solo, Ciamis, Lampung bahkan dari Aceh. Mereka bisa berbulan-bulan berada di lokasi demi nafkah keluarga. Siklus pekerjaan yang mereka jalani adalah tetap dari hari-ke hari. Siang mencari pasir, malam menghitung dan menjualnya ke pengepul yang jumlahnya puluhan. Satu gram pasir kadar 15 dihargai Rp. 340.000,- sedangkan kadar 19 bisa mencapai Rp.400.000,-. Jumlah yang sangat menggiurkan bagi mereka. Sebab setahun lalu harga pasir emas per-satu gramnya hanya berkisar Rp. 120.000,- sampai Rp. 180.000,-. Dalam satu harinya tiap pekerja mendapatkan bagian antara 1 sampai 3 gram pasir emas. Jadi tiap hari para pekerja ini mendapatkan hasil antara 340 ribu sampai satu juta-an. Tetapi pekerjaan ini sangat beresiko. Disamping tidak terjaminnya keselamatan kerja, perilaku aparat juga menjadi momok. Hampir tiap hari tiap-tiap kelompok harus membayar uang keamanan. Aparat berdalih bahwa praktek penambangan pasir emas ini adalah illegal. Praktis mereka harus rela berbagi hasil.

Bagi masyarakat setempat hadirnya ribuan orang di desa mereka membawa berkah financial. Bukan hanya karena mereka bisa menjadi penambang dan pengepul, mereka juga menyediakan berbagai fasilitas hidup. Mulai dari warung makanan sampai kebutuhan penambangan. Desa Pesanggaran menjadi sangat hidup. Rumah-rumah penduduk berganti dari sesek menjadi beton. Rumah-rumah penduduk desa sudah di desain dengan mewah lengkap dengan garasi mobilnya. Eouforia kemewahan ini juga berdampak dalam perilaku keseharian. Perbincangan di warung-warung adalah perbincangan harga emas, mobil, haji, beli tanah dan sebagainya. Namun dalam hal apakah bertambahnya financial mereka menyebabkan bergesernya nilai spiritualitas ? maka penulis belum bisa menjawab. Sebab ketika mampir shalat ‘ashar di masjid dekat pasar Pesanggaran makmumnya cukup banyak. Sama seperti kebanyakan di masjid lain.

Ada gula ada semut. Lokasi penambangan ini sudah menjadi kota kecil. Disamping warung juga berdiri fasilitas hidup yang lain. Seperti tempat persewaan untuk mandi, cuci pakaian, pijat capek, pijat keseleo, toko pakaian, toko penjualan peralatan penambangan dan sebagainya. Mereka tidak perlu jauh-jauh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hanya untuk transfer uang saja mereka harus turun di desa Pesanggaran. Disana tersedia bank BRI dan Mandiri.

Dari pengamatan penulis pemerintah daerah wajib membuat regulasi yang baik, memikirkan dampak negatif dari penambangan pasir ini untuk 10 tahun ke depan terhadap kelestarian lingkungannya. Sebab ketika pasir emas ini habis maka akan meninggalkan ribuan lobang menganga. Juga harus diperjelas status penambangan tradisional tersebut dan yang sangat-sangat penting melindunginya dari obyek pemerasan aparat. Bila penambangan ini dikatakan illegal maka bagaimana solusi yang terbaik sebab menggusur mereka adalah tindakan yang tidak manusiawi. Mereka adalah warga negara Indonesia yang mencari nafkah yang dilindungi undang-undang dasar 1945. Bila pemerintah berdalih bahwa segala kekayaan negara yang menjadi kepentingan hajat hidup orang banyak dikuasai negara, maka prakteknya adalah penguasaan negara atas kekayaan alam ini tidak menetes kepada kesejahteraan masyarakat setempat. Penguasaan negara atas kekayaan alam hanya dinikmati sebagian kecil golongan. Di sisi lokasi penambangan tradisional ini juga berdiri PT. IMN yang menjadi anak perusahaan Freepot di Papua.

Setelah puas mengambil banyak data, penulis meninggalkan lokasi jam 15.00 WIB. Dalam perjalanan pulang ke Surabaya penulis sempat menyaksikan pemandangan yang membikin hati gundah. Di kawasan gunung Gumitir Banyuwangi jalanan sangat mulus dan berkelok tajam. Kanan kiri jurang terjal membuat sopir bus super hati-hati. Di tiap tikungan berdiri gubug-gubug kecil di pinggir jalan. Cukup untuk berteduh satu-dua orang. Tempat ini ternyata digunakan oleh warga untuk menjulurkan tangan. Meminta uang recehan dari para penumpang yang lewat. Duh…pemandangan apa lagi ini. Apa mereka tidak ada pekerjaan lain sehingga sampai hati menjulurkan tangannya meminta belas kasihan orang? berapa hasil yang di dapat dalam sehari? Bukankah mereka masih muda-muda? Mengapa jumlahnya puluhan orang? Berbagai pertanyaan yang menggelisahkan menumpuk di kepala. Ingin rasanya penulis turun dari bis dan bertanya kepada mereka. Tetapi karena hari menjelang gelap maka penulis mengurungkannya. Menurut salah seorang penumpang, aktifitas ini sudah berlangsung lama. Mereka dari pagi sampai sore terus menjulurkan tangannya. Mungkin perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan siapa mereka? Kenapa menjadi demikian? Apakah mereka tidak memiliki lahan sejengkalpun untuk dikerjakan? Dengan tanpa bermaksud menghakimi, penulis ber-asumsi bahwa bangsa ini belum menjadi bangsa yang kreatif. Masyarakat kita juga belum menjadi masyarakat yang kreatif. Dahlan Iskan pernah menulis bahwa banyak kita yang mati di lumbung padi. Mati bukan karena tidak ada makanan tetapi karena tidak tahu cara makan dan lebih celaka lagi tidak tahu bahwa di bawah kakinya ada tumpukan makanan.

Menumbuhkan kreatifitas harus dumulai sejak dini di keluarga. Kemudian berlanjut di lembaga pendidikan. Sudah kuno bila mahasiswa masih menggantungkan biaya studynya dari orang tua. Apalagi hanya untuk beli pulsa saja mereka harus memelototi ibunya. Celaka bila pulsa itu hanya digunakan untuk merayu perempuan. Lebih celaka lagi bila ada perempuan yang mau digombalin mahasiswa tukang peras . Sudah saatnya masyarakat pendidikan tidak membebek dengan juklak dan juknis kurikulum drop-dropan dari atas. Sudah saatnya kita berani mengembangkan pendidikan kita dengan tidak takut ditegur atasan karena tidak sesuai dengan kurikulum, silabus dan bla-bla yang lain. Pendidikan yang tidak mengembangkan kreatifitas manusia terbukti hanya akan menghasilkan out-put tukang peminta-minta.

*Ali Asyhar, Dosen STAIHA Bawean dan
Mahasiswa Doctoral di Pasca Sarjana IAIN Surabaya

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean