Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Membayangkan Bawean

Membayangkan Bawean

Posted by Media Bawean on Rabu, 12 Oktober 2011

Media Bawean, 12 Oktober 2011

Oleh Zamaahsari A. Ramzah

Saya membayangkan, kelak di tahun tertentu di Bawean terdapat pusat pemerintahan. Tempat di mana semua keputusan politik dilahirkan, tempat di mana semua kebijakan strategis dirumuskan, tempat di mana masyarakat begitu mudah mengurus segala keperluan administratifnya, tanpa harus menyeberang ke Gresik.

Saya membayangkan, kelak di tahun tertentu di Bawean terdapat Gedung atau Kantor Kepala Daerah. Tempat di mana seluruh regulasi dan keputusan penting betul-betul diimplementasikan dengan benar—sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Saya membanyangkan, di pusat pemerintahan itu terdapat kantor kepala daerah (entah kantor bupati atau walikota). Di depannya terbentang taman yang luas dipenuhi dengan hiasan tata kota yang asri—siapa pun yang berkunjung ke tempat tersebut merasa betah karena tempatnya nyaman, tenang, mengasyikkan.

Di antara taman itu terdapat tempat khusus (semacam taman demokrasi)—tempat di mana rakyat bisa mengekspresikan segala ide-ide dan gagasan-gagasan perubahannya, keinginan politiknya, keinginan ekonominya, keinginan hukumnya, keinginan sosialnya, keinginan budayanya, keinginan seninya, keyakinan agamanya dan seterusnya.

Saya membayangkan, di tempat ini pula rakyat bisa memberikan segala saran, masukan atau pun kritikan kepada pemerintah. Mengkritik atau memberi saran kepada kepala daerahnya, mengkritik atau memberi saran kepada anggota DPRD-nya, mengkritik atau memberi saran kepada kepala-kepala Dinas-nya, dan seterusnya-dan seterusnya…

Tentunya mengkritik para pejabatnya yang tidak aspiratif, mengkritik pejabatnya yang tidak bertanggungjawab, mengkritik pejabatnya yang tidak amanah, mengkritik pejabatnya yang tidak jujur dan tidak peduli terhadap nasib rakyat, pengkritik pejabatnya karena terlibat KKN, agar segera beruabah dan tidak melakukannya lagi.

Saya membayangkan, ketika para pejabat (legislatif, eksekutif dan yudikatif) itu secara moral sudah tidak “bersih” akibat penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan (abuse of power) itu, mereka dengan suka rela dan kerendahan hati atas dasar kepentingan semua rakyat, mau meletakkan jabatannya tanpa dipaksa.

Saya membayangkan, ketika masyarakat mengespresikan keinginan-keinginannya di “taman demokrasi” itu, pemerintah hadir menyaksikan langsung, menyerap semua saran, masukan dan kritik itu, berdialog dengan mereka, mendengarkan keluahan-keluhan mereka, tanpa terhantui tindakan represif aparat keamanan dengan pembubaran paksa.

Hasil dialog itu kemudian ditampung, dicatat, lalu dirapatkan, didiskusikan, diperdebatkan dengan semua instansi terkait untuk dirumuskan dalam sebuah kebijakan yang strategis. Selang meberapa minggu, rakyat Bawean langsung merasakan dampak positif akibat implementasi dari “kebijakan baru” tersebut. Perubahan dapat dirasakan dengan segera. Dan inilah hakikat sesungguhnya dari sebuah ‘otoritas’ yang mereka miliki oleh pengguasa—untuk kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat.

Saya membayangkan, dengan adanya “taman demokrasi” ini, kelak tidak akan dijumpai lagi aksi long mach yang kerap merusak fasilitas umum, tidak ada lagi aksi chaos yang bisa menelan korban, tidak ada lagi saling dorong antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan yang kerap melahirkan korban jiwa di antara keduanya. 

Saya juga membayangkan, di pusat pemerintahan itu terdapat fasilitas hotspot, di mana seluruh rakyat dari lintas usia, lintas profesi, lintas agama, lintas jabatan, lintas status sosial berkumpul bersama untuk berselancar di dunia maya (internet). Tentu saja tujuannya untuk hal-hal yang bersifat positif, sesuai dengan kebutuhan mereka.

Di sana mereka bisa mengakses apa saja yang dibutuhkan. Mereka yang berstatus pelajar dan mahasiswa bisa mengakses segala hal yang berhubungan dengan dunia akademiknya. Mereka yang berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh, pebisnis juga begitu. Dengan demikian, tidak satu pun rakyat Bawean yang buta huruf atau yang ketinggalan informasi.

Lalu untuk menyiasati mereka yang tidak punya laptop, pemerintah menyediakan fasilitas pinjaman. Syaratnya tidak sulit, cukup dengan menunjukkan kartu tanda penduduk atau tanda anggota dan atau persyaratan lainnya yang tidak berbelit-beliti, tentunya. Dengan model ini, tidak ada kesenjangan antara kaya dan miskin, pejabat dan non pejabat, petani dengan penguasa. Semua bisa menikmati secara adil dan equal.

Saya membayangkan, tidak jauh dari pusat pemerintahan itu terdapat perpustakaan umum. Di dalamnya terdapat jutaan buku. Dari buku-buku kuno sampai buku-buku modern, dari buku-buku impor sampai buku-buku ekspor, dari buku-buku TK sampai buku-buku S3. Dari buku-buku modul sekolah sampai buku-buku ilmiah, dari buku-buku filsafat Barat sampai buku-buku filsafat Islam, dari buku-buku politik sampai buku-buku sosial-budaya, dari buku-buku komik sampai buku-buku sastra. 

Judulnya pun jutaan. Mulai tentang politik sampai fiksi, dari tentang agama sampai filsafat, dari buku tentang ramalan bintang sampai buku tentang percintaan, dari buku memasak sampai buku teori. Semua lengkap tersedia. Buku-buku ini juga bisa diakses di internet.

Setiap hari perpustakaan umum itu penuh sesak dengan pengunjung. Para pengunjung dari lintas usia, pendidikan, profesi, agama, dan status sosial melebur menjadi satu-kesatuan yang utuh, mengakses segala informasi yang dibutuhkan. Tak jadi soal apakah mereka hanya sekedar membaca, mengerjakan tugas kantor dan sekolah, atau serius melakukan penelitian.

Saya membayangkan, kelak di tahun tertentu Bawean menjadi pusat peradaban. Di sana berdiri sekolah-sekolah unggulan, universitas-universitas unggulan, pusat-pusat studi dan penelitian unggulan, serta pusat-pusat cross culture undertanding yang diakui dunia.

Semua masyarakat di seluruh pelosok nusantara Indonesia dan dunia berdatangan untuk tujuan studi, riset dan penelitian. Citra pusat peradaban itu melekat pada semua masyarakat tidak hanya di tingkat lokal, nasional, tetapi juga di tingkat bilateral dan internasional. Sehingga menguat trade mark di masyarakat dunia, “jika ingin tahu tentang sebuah peradaban besar maka datanglah ke Bawean”.

Saya membayangkan, kelak di Bawean trasportasi laut tidak lagi ditempuh 3 atau 7 jam, tetapi lebih cepat dari itu. Kapal yang mengangkut masyarakat Bawean jika ingin pergi ke Jawa berfasilitas istimewah dan nyaman meski harus bertarung dengan gelombang besar.

Saya membayangkan, trasportasi darat (jalan lingkar Bawean) sudah mengalami kemajuan pesat dalam pengaspalan, tidak seperti saat ini yang berlubang, tak beraspal, kotor dan tak terawatt. Jalan di Bawean kualitasnya seperti jalan-jalan di kota-kota besar, mulus dan lebar—yang dapat menghubungkan semua kota-kota atau desa-desa di Bawean dengan terintegrasi.

Saya membayangkan, kelak di tahun tertentu di Bawean terdapat pusat pemerintahan. Di sana kecataman tidak lagi dua: Tambak dan Sangkapura, tetapi lebih dari itu. Ada kecamatan Daun, kecamatan Kepuh, kecamatan Sidogedungbatu, kecamatan A, kecamatan B, dan seterusnya.

Di masing-masing kecamatan itu, pusat-pusat ekonomi rakyat tumbuh pesat. Rakyatnya sejahtera, punya pekerjaan yang layak dengan gaji yang cukup besar. Tidak ada kriminalitas, tidak ada pengangguran dan tidak ada kemiskinan. Tidak ada cerita tentang rakyat yang makan nasi aking, terserang polio, gizi buruk, dan berpenyakitan, apalagi kelaparan dan peminta-minta.

Saya membayangkan, di masing-masing kecamatan pendidikan dan kesehatan dengan segala kelengkapan fasilitasnya tersedia. Keduanya bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat dengan nyaman dan mengasyikkan. Di dua lembaga itu, pemerintah membuat kebijakan free education and healty bagi semua orang.

Karena free, gratis, maka ketika rakyat bersekolah tidak ada lagi ancaman di-DO (drop out), bunuh diri, jual sawah, jual binatang ternak, atau menggadaikan perhiasan karena tidak mampu membayar SPP. Begitu juga ketika rakyat sakit bisa langsung berobat di rumah sakit tampa harus ditelantarkan.

Saya membayangkan, kelak di tahun tertentu di Bawean terdapat pusat pemerintahan. Di sana berdiri gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di dalamnya berisi orang-orang yang jujur, bersih, amanah, bertanggung jawab, berintegritas, visioner, berani melawan ketidakadilan dan tidak korup.

Mereka semua terpilih dari proses pemilihan umum yang jujur, adil, demokratis, transparan dan akuntabel. Dalam pemilihan umum itu, rakyat bebas menentukan pilihan sesuai hati nuraninya, tanpa ada paksaan, tekanan, dan atau intimidasi dari kelompok atau golongan tertentu.

Mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat Bawean itu, kedewasaan politiknya teruji, siap kalah siap menang, tidak mengerahkan massa untuk menekan pihak tertentu, tidak menggunakan uang untuk membeli suara (money politic), tidak melakukan black compaign, dan tidak melakukan depolitisasi.

Saya membayangkan, para wakil rakyat itu setelah terpilih tidak sekedar datang, duduk dan mengisi absensi, tetapi bekerja sungguh-sungguh, mau menyerap, mengaktualisasikan, dan merumuskan semua kepentingan rakyat dalam sebuah kebijakan legislasi, yang berpihak tentunya.

Tidak ada cerita angota dewan yang terlibat korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tidak ada cerita angota dewan yang menjadi calo anggaran, tida ada lagi cerita anggota dewan yang mark up anggaran, tidak ada lagi cerita tentang anggota dewan yang terlibat skandal seks, dan hubungan terlarang.

Saya membayangkan, kelak di tahun tertentu di Bawean menjadi pusat di mana semua wartawan (cetak, elektronik) baik lokal, nasional dan manca negara berdatangan ke Pulau Putri ini untuk meliput sebuah berita penting: tentang sebuah daerah yang masyarakatnya sejahtera, makmur, aman dan sentosa.

Saya membayangkan hal ini sejak kecil, sejak aku bisa menghitung dan membaca, sejak aku merasakan ada penindasan dan ketidakadilan, sejak para pejabat daerah melakukan abuse of power, sejak kepala daerah Gresik tidak lagi peduli terhadap masyarakatnya.

Saya membayangkan, hal ini hingga sekarang dan mungkin hingga bayangan-bayangan tentang Bawean itu belum terwujud. Tetapi aku yakin dan sangat yakin, suatu saat “Bawean dalam bayangan” itu akan terwujud. Mungkin kelak, di tahun tertentu...

Zamaahsari A. Ramzah
Penulis adalah warga Tambak, Bawean berdomisili di Jakarta

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean