Media Bawean, 25 Februari 2012
Badai politik dan huru-hara perilaku amoral politisi, birokrat dan penegak hukum terasa kian menyesakkan dada. Masyarakat dipaksa menoleh ke kiri-kanan untuk mencari pegangan keteladanan yang nyaris habis. Saat reformasi bergulir, besar harapan masyarakat kepada para generasi muda. Namun realitanya jauh panggang dari api. Tontonan Nazarudin, Gayus Tambunan, Malinda Dee dan Angelina Sondakh menegaskan bahwa generasi muda jauh lebih rakus, serakah dan buta hati.
Sebenarnya, bangsa ini memiliki bejibun tokoh teladan. Sikap dan pandangan mereka bisa menjadi oase. Sebutlah : Kiai Ahmad Dahlan, Jendral Soedirman , Kiai Mas Mansur dan Pak AR Fachrudin.
KH. Ahmad Dahlan
Tokoh yang nama kecilnya Mohamad Darwis ini secara apik divisualkan oleh Hanung Bramantyo dalam filmnya “ Sang Pencerah”. Keteguhan dan kesederhanaan pendiri persyarikatan Muhammadiyah ini sangat memukau. Ketika ia berusaha meluruskan arah kiblat sesuai ilmu falak yang dikuasainya maka tantangan hebat menghadang. Ketika surau kecilnya berbeda arah dengan masjid besar Kauman, maka suraunya dirobohkan secara paksa oleh masa atas perintah Kanjeng penghulu , Khalil Kamaludiningrat. Namun ia bersabar. Ia dirikan kembali suraunya itu dengan menghadap kiblat sesuai dengan masjid besar Kauman. Namun ia memberi tanda khusus yakni 24 derajat kearah barat laut.
Murid Syeikh Mahfudz Termas dan Kyai Asy’ari Bawean ini terkenal dengan petuahnya “ Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Nasehat ini adalah tamparan keras bagi siapapun yang menjadikan organisasi atau partai sebagai tempat untuk memperkaya diri dan menaikkan status social. Ormas atau partai adalah alat untuk berbuat kemaslahatan bagi sesama.
Jendral Soedirman
Sosoknya ringkih namun disegani kawan dan lawan. Ia hidup*dengan paru-paru sebelah. Ia naik turun gunung dan lembah untuk memimpin perang gerilya. Ia tak kuat berjalan. Ia harus dipapah oleh dua orang bahkan ditandu. Namun, semangatnya menjadi api dahsyat bagi perjuangan. Belanda pun selalu kecele saat menggerebek. Jendral besar ini sudah menghilang tanpa jejak. Bila intel Belanda melaporkan bahwa Soedirman berada di kota Kediri, maka saat itu juga kota Kediri langsung dihajar bom. Namun Soedirman sudah berada di lereng gunung Wilis.
Guru Muhammadiyah ini selalu menyuarakan “ Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara adalah politik negara”. Jargon pak Dirman ini masih sering terdengar. Namun sayang, hanya ramai di kuping namun sepi di hati.
KH. Mas Mansur
Santri Syaikhona Khalil B`ngkalan ini seangkatan dengan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan keduanya adalah perintis berdirinya lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan. Namun karena perbedaan metode maka Mas Mansur memilih keluar dan mendirikan Hizbul Wathan yang selanjutnya berganti nama menjadi madrasah Mufidah.
Mas Mansur adalah sosok yang tegas dan konsisten. Ia pernah mengajak Bung Karno untuk mendukung pembrontakan PETA Supriyadi melawan Jepang. Namun Soekarno menolak. Soekarno lebih memilih jalur diplomasi. Mas Mansur berang “ Dia akhirat nanti Bung Karno akan saya tuntut”.
Mas Mansur memang cerdik. Ia menggunakan banyak akal untuk mengelabui penjajah Jepang. Pernah di akhir bulan Juli 1945 dalam sebuah acara di Kramat Raya Jakarta ia menari-nari mengikuti suara gambus usai membaca do’a. Perilaku ganjil ini tentu sangat mengagetkan. Karena Mas Mansur adalah tokoh besar. Siti Badillah Zubeir menyatakan “ Mas Mansur sengaja berbuat demikian sebagai taktik untuk mengelabui penjajah Jepang. Tujuannya agar ia terbebas dari perintah-perintah yang bertentangan dengan nuraninya sementara ia tak kuasa menampik”.
AR Fachrudin
Abdul Rozak Fachrudin. Orang akrab memanggil pak AR. Ia dikenal sebagi “pabrik senyum”. Tokoh kelahiran Kulonprogo ini selalu ditunggu nasehat-nasehatnya. Ia piawai menyelipkan humor di sela-sela nasehatnya. Bahkan mengkritik-pun juga dengan humor sehingga tidak menyinggung pihak lain. Saat Sri Yohannes Paulus II berada di Jogjakarta maka pak AR tak lupa menyampaikan kritiknya dengan lembut. Pak AR mengingatkan kepada Paus untuk menghentikan praktek – praktek kristenisasi yang tidak sportif. Yakni memanfaatkan umat islam yang lemah ekonomi dan pendidikan.
Pak AR juga patuh hukum. Ketika memperbarui SIM-nya maka ia rela menjalani tes ujian SIM. “ Priiiit……mulai!” Motor Yamaha bebek butut tahun 70-an warna orange meluncur pelan. Ketika mendekati tonggak kayu yang yang zig-zag maka pak AR turun. “ Lho, kok dituntun pak?” tegur polisi. Ya, kalau ada jalan seperti ini saya memilih turun daripada jatuh” jawap pak AR. Sontak polisi terpingkal-pingkal.
Pak AR selalu membahasakan ajaran agama dengan simple dan mudah. Tidak berbelit-belit apalagi mempersulit. Ketika berdialog dengan mahasiswa UGM, seorang mahasiswa bertanya “ Pak AR, dalam hadits disebutkan bahwa selama Ramadlan semua setan dan Iblis dibelenggu. Kenyataannya masih banyak orang yang berbuat maksiat?”. Dengan khasnya pak AR menjawab “ Yah, itulah manusia. Banyak lemah imannya. Dengan setan yang dibelenggu saja kalah, apalagi melawan setan lepas-lepasan”.
Waba’du.
Tulisan ini tidak cukup untuk menampilkan keteladanan para tokoh Muhammadiyah yang lain. Nyai Ahmad Dahlan, Kiai Ibrahim, K. Hisyam, Moh. Sudjak, Ki Bagoes Hadikusumo, Sutan Mansur, Buya Hamka, Ahmad Badawi, Mohamad Roem, Djarnawi Hadikusumo dan lain-lain. Semoga kita bisa meneladani, paling tidak mendekati.