Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Karena Waliyah Zainab
Mereka Berbahasa Jawa

Karena Waliyah Zainab
Mereka Berbahasa Jawa

Posted by Media Bawean on Rabu, 02 Mei 2012

Media Bawean, 2 Mei 2012


Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012
Kategori Pelajar

JUARA III

Nama Penulis : Saiful Anam
Penulis adalah Siswa SMP “UMMA” PUDAKIT, Kelas : IX (Sembilan)
Alamat Rumah : Dsn. Lomaer Pudakit timur Sangkapura


Menelisik kisah masa lalu Desa Diponggo

Waliyah Zainab mendarat Di Bawean diperkirakan lebih awal di bandingkan dengan kedatangan Maulana Umar Mas’ ud. Tujuan utama kedatangan Waliyah Zainab ke Bawean (Diponggo) tidak hanya menyiarkan agama islam, tapi melaikan juga bersilaturahmi. Kehadiran beliau di tengah - tengah masyarakat Diponggo memberikan suasana baru. Dalam keseharian orang Diponggo Waliyah Zainab dijadikan idola dalam pergaulan. Masyarakat Diponggo bukan hanya tertarik pada kepribadian beliau, melainkan tertarik terhadap bahasa yang di bawa beliau. Awalnya masyarakat Diponggo meniru bahasa yang digunakan beliau karena dianggap lucu. Tapi pada akhirnya mereka pun juga menggunakan bahasa yang di bawa beliau antar mereka, antar tetangga hingga antar kampung. Sementara itu Waliyah Zainab merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Diponggo karena tidak bisa berbahasa Bawean dengan baik sehingga beliau mencampuradukkan bahasa Jawa dan Bawean. Dari bahasa yang di bawa beliau maka lahirlah bahasa Diponggo yang ada pada saat sekarang ini. Tapi uniknya, bahasa ini tidak tersebar ke desa lain karena faktor geografis. Karena letak perkampungan Desa Diponggo agak jauh dari desa - desa yang ada disekitrnya. Sehingga bahasa ini hanya di gunakan antar tetangga dan antar kampung di Desa Diponggo. Waliyah Zainab sendiri hanya memilih untuk bergaul dengan orang - orang Diponggo, dan akhirnya beliau keburu meninggaal dunia sebelum beliau berkomunikasi dengan orang - orang di luar Desa Diponggo. Sedangkan sepeninggalan Waliyah Zainab, orang - orang Diponggo merasa malu menggunakan bahasa Diponggo jika berkomunikasi dengan orang - orang di luar Desa Diponggo, atau memang tidak perlu karena belum tentu orang - orang di luar Desa Diponggo mengerti bahasa Diponggo. Dengan begitu bahasa Diponggo tidak berkembang meluas ke desa - desa lain di Bawean, cukup dimiliki masyarakat Diponggo sampai saat sekarang ini. Ternyata Waliyah Zainab memiliki banyak kelebihan, baik sewaktu hidupnya maupun setelah wafatnya. Sehingga masyarakat Diponggo menggelarinya Waliullah Zainab. Penilaian tersebut rasaanya tidak berlebihan karena ada beberapa potong cerita yang berkembang sampai saat ini yang menunjang alasan masyarakat menggelari beliau.

Beliau mempunyai benda peninggalan yang disebut “ Gelebung ”, benda Gelebung ini adalah bejana yang digunakan untuk menempatkan nasi setelah di ambil dari periuk. Bahannya terbuat dari kuningan yang berukuran 25 cm dan berdiameter 75 cm dengan tebal sekitat 5 mm. Gelebung tersebut pada masa hidup beliau di gunakan untuk tempat nasi untuk selamatan atau hajatan. Konon, jika Gelebung tersebut di isi dengan nasi tidak akan penuh walaupun di isi terus menerus, sebelum mencukupi untuk di hidangkan. Jika Gelebung tersebut sudah penuh, berarti nasi yang ada di dalam Gelebung tersebut akan mencukupi berapapun jumlah orangnya.

Selain itu, juga ada peninggalan Waliyah Zainab yang lain berupa Keris, Tombak, dua piring kuno yang diperkirakan berasal dari Dinasti Ming dan Tsing, Sendok dan lainya. Masing - masing benda tersebut memiliki cerita ter sendiri. Sekarang benda - benda tersebut disimpan di kompleks Masjid Diponggo yang konon katanya Masjid tersebut di bangun Waliyah Zainab bersama para muridnya hanya dalam waktu semalam. Menurut cerita empu disana, pada masa dahulu benda - benda peninggalan Waliyah Zainab tersebut akan bergerak - gerak dan setidaknya hujan akan turun dengan tiba - tiba jika ada orang Komalasa memasuki kawasan Desa Diponggo. Pada masa kecilnya Waliyah Zainab bernama Dewi Wardah, putri Kiai Agen Bungkul, salah seorang Pembesar Kota Surabaya keturunan Raja Majapahit. Dewi Wardah dinikahi oleh Raden Paku, tetapi Raden Paku sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan ampel. Karena Dewi Wardah tidak ingin di madu, maka beliau pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki “ Sentong ” atau kelopak bunga kelapa. Maka sampailah beliau di sebuah pulau disebelah utara laut Jawa yang kita kenal dengan Pulau Bawean. Konon beliau mendarat tepat di pesisir pantai Desa Komalasa, dan kemudian beliau mengganti namanya dengan Siti Zainab. Kedatangan Siti Zainab di sambut dengan tidak sepenuh hati oleh masyarakat setempat. Karena beliau dianggap wanita yang bepergian seorang diri dan mengenakan pakaian compang - camping. Pada saat itu segenap masyarakat Komalasa sedang dilanda wabah penyakit kulit yang banyak menjangkit para masyarakat Komalasa. Kedatangan Waliyah Zainab di pesisir pantai Komalasa di ketahui sejumlah masyarakat setempat, melihat penampilah Siti Zainab yang compang - camping, masyarakat Komalasa beranggapan bahwa beliau lah yang membawa penyakit kulit tersebut.

Maka masyarakat Komalasa dengan ramai - ramai megusir beliau untuk pergi dari Komalasa, lalu Waliyah Zainab segera pergi dengan hati yang sedih ke atas pegunungan untuk bersembunyi, dengan hatinya yang sedih beliau pergi meninggalkan Desa Komalasa karena beliau merasa “ tak etangghek” oleh masyarakat Komalasa. Dengan menyusuri pegunungan, ngarai, sawah dan sungai akhirnya beliau beristirahat sejenak di dusun Pedalaman atau “ Padhelemman ” ( Lebak ). Waliyah Zainab terus berjalan kearah timur mencari air untuk di minum karena beliau sangat haus, tapi yang menyakitkan ketika beliau sampai di dusun Sungairaya beliau meminta air minum, namun tak ada yang sudi untuk memberinya. Karena beliau merasa marah, beliau berkata dalam hatinya “ mudah - mudahan orang Sungairaya juga kehausan ” dan mungkin itulah sebabnya pada sampai saat sekarang tidak ada sumber mata air. Walaupun beliau sudah dalam keadaan lunglai, tapi beliau tetap melanjutkan perjalanannya dengan membawa barang – barang pusakanya. Waliyah Zainab terus berjalan tak menentu kemana arah tujuanya, sawah, sungai, ladang, padang rumput, dan pegunungan pun juga beliau lalui, maka sampailah beliau di sebuah pesisir pantai di daerah Tambak Timur. Disana beliau menemukan sebuah rumah yang di huni sebuah keluarga sepuh suami istri. Karena Waliyah Zainab sudak tidak kuat lagi menahan rasa haus, maka beliau meminta air minum kepada salah seorang penghuninya yaitu Emba Buuk. Akhirnya Emba Buuk memberi air minum dan Emba Buuk juga menawari beliau untuk bermalam dan beristirahat di rumahnya. Akan tetapi Waliyah Zainab menolak penawaran Emba Buuk dan memilih melajutkan perjalanannya, konon setelah Emba Buuk di tinggal Waliyah Zainab, harta yang di miliki Emba Buuk semakin bertambah dan sehingga Emba Buuk terkenal sebagai orang yang sangat kaya di kalangan masyarakat Tambak. Waliyah Zainab melajutkan perjalanannya menuju kearah timur, Kini beliau sampai di sebuah tanjung desa Diponggo, beliau bingung sebab jika beliau meneruskan perjalanannya maka beliau harus mengarungi lautan lagi, maka akhirnya beliau memilih untuk mengadukan nasibnya di tanjung tersebut dengan menagis sejadi - jadinya, akhrirnya tanjung tersebut di namakan Tanjung Menagis. Pada suatu hari Waliyah Zainab bermaksud ingin mencari sesuap nasi ke perkampungan namun beliau tidak berani karena takut akan disambut dengan lebih menyakitkan hatinya, maka beliau hanya mondar - mandir di tumbuhan perdu.

Tiba - tiba disebuah lereng gunung Diponggo beliau bertemu dengan Embah Rambut (Dikatakan Embah Rambut karena rambutnya sangat panjang). Waliyah Zainab berkenalan dengan Embah Rambut, Embah Rambut menawarkan beliau untuk bermalam dan tinggal di rumahnya, Diponggo. Akhirnya Waliyah Zainab menerima permintaan Embah Rambut dengan senag hati, atas jasa Embah Rambut lah Waliyah Zainab mulai bergaul dengan masyarakat setempat. Ternyata Desa Diponggo benar - benar menjadi tempat terakhir sebagai persinggahan beliau.

Waliyah Zainab atau Dewi Wardah istri kedua Sunan Giri wafat dan di kubur di Desa Diponggo, bukan yang ada di Giri, Gresik. Dalam sebuah riwayat Waliyah Zainab atau Dewi Wardah yang masih tertulis di daun lontar yang berbahasa Arab – Pegon di Museum Sultan Hasanuddin, Baten, Jawa Barat. Pada daun lontar tersebut di ceritakan kehidupan Dewi Wardah yang akhirnya wafat dan di kuburkan di Desa Diponggo, Bawean, yang tidak lain adalah Waliyah Zainab yang kini makamnya terletak di belakang Masjid Diponggo. Wallahu a’ lam bissawaab !!!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean