Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Peringatan "Molotan" Di Bawean
Sebentuk Upeti Bagi Para Elit

Peringatan "Molotan" Di Bawean
Sebentuk Upeti Bagi Para Elit

Posted by Media Bawean on Rabu, 02 Mei 2012

Media Bawean, 2 Mei 2012

Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012
Kategori Umum

JUARA I

Penulis :Ria Hasbullah
Pekerjaan : Guru di SMA Islamiyah Bawean
ALAMAT : Tambak Barat, desa Tambak, Kecamatan Tambak


Seperti biasa dan sudah menjadi tradisi di Bawean bahwa bulan Rabiul awal adalah bulan yang dikhususkan untuk memperingati hari kelahiran manusia agung nabi Muhammad saw. Masyarakat Bawean menyebutnya ” Molotan”. Banyak hal unik yang bisa kita lihat dari tradisi tersebut, salah satunya adalah tradisi membuat parcel berisi jajanan, minuman khas Bawean yang kemudian dikumpulkan di masjid atau tempat tertentu dimana peringatan maulid digelar. Parcel itu juga berisi aneka ragam makanan, minuman, baik lokal maupun regional, yang dikemas rapi diatas timba atau wadah yang sejenis. Tergantung kesepakatan panitia. Masyarakat Bawean menyebutnya “Angkaan Molot”.

Kaum hawa bersemangat untuk membuat angkaan semewah mungkin, seindah mungkin. Sehingga angkaan tersebut indah dipandang mata, sangat menggiurkan lidah, dan menjadi incaran panitia untuk diberikan pada para tamu undangan, tokoh masyarakat, para elit. Angkaan molot yang menarik tersebut juga bisa membuat anak kecil menangis karena iri dengan bunga telor, minuman kemasan, roti, susu kemasan, dan minuman lain yang menggemaskan.

Sejumlah besar pemerhati sosial menganggap tradisi angkaan molotan sebagai tradisi budaya yang patut dilestarikan dan diwariskan pada generasi berikutnya, sebagai khazanah budaya lokal untuk memperkaya Budaya Nasional. Banyak upaya sudah dilakukan, baik di Bawean atau di luar pulau seperi di Gresik daratan, Batam, bahkan Malaysia dan Singapura. Menurut mereka upaya tersebut dalam rangka menggali kearifan lokal (local genius) di Bawean.

Tidak ada satupun masyarakat yang terlihat menentang atau tidak setuju dengan tradisi angkaan molotan, walaupun ada hanyalah suara-suara parau dari pinggir strata sosial yang tak punya kekuatan untuk didengarkan. Suara itu muncul dari lisan masyarakat yang lemah tak berkecukupan. Mereka tak setuju dengan tradisi angkaan sebab tradisi tersebut bisa membuat kantong kering. Sehingga tak jarang mereka berhutang pada tetangga yang lebih berkecukupan untuk membeli makanan dan minuman molotan. Suara itu pelan hampir tak terdengar, bahkan sengaja tidak didengar. Sebab mereka tak punya kuasa, tak berpengaruh, tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

Ironis memang, disatu pihak ada yang diuntungkan dengan adanya euforia molotan. Kelompok yang diuntungkan umumnya adalah para elit, para tokoh, pejabat publik, para kiyai, para ustad, dan yang selevel. Mereka semua adalah kelompok elit di Bawean yang sam-sama merasakan manisnya angkaan molotan. Karena mereka pasti mendapatkan angkaan molotan pilihan panitia, yang mewah dan menggiurkan.

Dilain pihak lain, masyarakat kecil, kaum yang kurang mampu, tak berkecukupan, kaum duafa’, meraka terpaksa membuat angkaan molot walaupun kadang mesti menanggung hutang. Padahal belum tentu mendapatkan angkaan yang lebih mewah. Mereka rugi secara finansial, rugi secara ekonomis, keberuntungan lagi-lagi tak berpihak padanya.

Penulis berpendapat bahwa kondisi tersebut ibarat pemberian upeti dari rakyat jelata untuk para bangsawan, raja-raja, tumenggung, adipati, tukang pukul, kaum ningrat. Sebuah kondisi yang amat primitif. Tradisi yang terjadi dimasa silam, disaat manusia yang kuat menindas manusia yang lemah.

Tidak ada pilihan bagi kelompok yang lemah, kecuali mereka harus ngangka’ (membuat angkaan molot). Jika tidak ngangka’ mereka akan dicemooh, dimusuhi para tetanggang, dianggap orang pelit. Bahkan mereka dianggap orang yang tidak mencintai Nabi SAW. Tak suka terhadap sunnah rasul, berpaham baru yang aneh.

Di mimbar-mimbar para mubalig mencoba melegitimasi tradisi angkaan tersebut dengan menyampaikan dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun hadist. Mereka berkata bahwa tradisi angkaan molot adalah wujud cinta kita pada nabi saw. Hampir tak ada penceramah yang berani menampilkan dalil-dalil yang tak mendukung tradisi molotan. Maka agama sudah dijual belikan, agama dijadikan alat untuk membela kepentingan elit, agama hanya diartikan sesuai dengan kemauan para elit.

Melihat fenomena ini, penulis memandang perlu adanya sebuah prespektif baru, pendapat baru, paradigma baru, tradisi baru. Sebuah paradigma yang berpihak pada kaum duafa’, paradigma kaum lemah. Itu berarti tradisi angkaan molotan perlu direvisi, direkonstruksi, diturunkan hingga mencapai level yang paling rendah. Bukan berarti peringatan Maulidurrasul SAW. Harus ditiadakan. Namun kita cari formula dan bentuk yang lebih baik. Sebab tak ada yang sempurna di muka bumi ini. Sadarlah...[]

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean