Media Bawean, 20 Februari 2012
Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012
Kategori Pelajar
Nama Penulis : Rositamala
Alamat Rumah : Menara, desa Gunungteguh
Sekolah : SMAN 1 Sangkapura
Alamat : Jl. Wiyatamandala No.10
Kelas/Jurusan : XII/ IPA-3
Suatu adat dan tradisi yang masih berkembang sampai saat ini di Pulau Bawean adalah mempercayai petuah-petuah sebagai warisan nenek moyang. Petuah itu berisi suatu larangan atau untuk tidak melakukan suatu hal karena akan menyebabkan suatu hal yang merugikan diri sendiri. Contoh, ajjhek ngakan ghetdheng se arangkek tong anakna lakghik kembher tak e kenning pesah. Artinya, jangan makan dua pisang yang berdempet dan melekat satu sama lain karena dapat menyebabkan lahirnya anak kembar siam.
Petuah-petuah itu seringkali dilontarkan para orang tua kepada anaknya untuk mengingatkan anaknya bahwa yang dilakukan itu tidak baik. Namun terkadang petuah itu di sertai dengan akibat yang tidak masuk akal, sehingga yang terjadi adalah ketidak percayaan terhadap petuah itu. Misal, men ngapotong koko jhek motong koko malemna jereak ngesto ka oreng toana. Artian dalam bahasa Indonesia_nya, jangan memotong kuku di waktu malam hari hal itu sama saja dengan mendoakan orang tua kita cepat mati.
Orang-orang yang hidup sekarang adalah pewaris dari orang yang hidup sebelumnya baik sebagai pewaris adat, tradisi, keyakinan, kerajinan dan lain sebagainya. Sebagai seorang pewaris kita tidak mungkin akan tahu akan hal yanf harus kita warisi jadi satu hal yang harus kita lakukan yakni bertanya pada orang tahu tentang apa yang kita tidak tahu dan bagi orang yang tahu wajib hukumnya untuk memberi tahu agar ilmu tidak terputus sampai disitu, ada pewarisnya.
Begitu pula sikap yang seharusnya dilakukan terhadap petuah. Tidak berbeda dengan warisan adat yang lain petuah juga merupakan warisan leluhur yang harus kita lestarikan karena petuah mengandung nasihat yang sangat berharga. Namun terkadang makna penting itu disebutkan secara tersirat. Misal, “ajjek tojuk elabeng-labeng tong bapakna lambbek datengnga. Petuah itu diambil Dari kebiasaan orang-orang Bawean yang suka merantau. Maksud Dari petuah itu adalah larangan bagi kita agar jangan duduk di pintu sup`ya bapak kita yang merantau tidak lama balik kampung. Sekilas jika dilihat begitulah maknanya. Namun masih timbul pertanyaan sampai disini. Pertanyaanya adalah petuah itu hanya menyebutkan bapak merantau jadi petuah itu hanya berlaku untuk orang-orang yang punya bapak merantau, kalau tidak punya bapak merantau berarti kita boleh duduk di pintu. Benarkah seperti itu………?. Ternyata jawabnya tidak. Mengapa? Karena jika digali lebih dalam makna petuah itu begini, dahulu orang tua kita itu sibuk bekerja dan lalu lalang melewati pintu jadi jika kita duduk di pintu itu dapat menghalangi jalan mereka. Dan mereka khawatir kaki terinjak dan lain sebagainya. Akhirnya agar kita ikut dengan larangan mereka maka mereka lontarkan petuah itu tanpa mengungkapkan makna yang sebenarnya.
Petuah yang lain “ajjhek ngakan e labeng-labeng tong tak nemo lake”. Sekilas petuah ini memiliki arti orang yang tidak punya suami itu sering makan di depan pintu dan kalau kita pengen punya suami maka jangan makan di depan pintu. Benar. Memang maksudnya seperti itu tapi petuah ini tidak hanya berlaku untuk kaum wanita. Mengapa demikian?. Nah ini dia penjelasannya, seseorang yang makan di depan pintu apalagi dia masih gadis atau perjaka hal itu bisa meperlihatkan bagaimna cara dia makan. Cara makan yang belepotan, kececeran sana sini dan aib yang lainnya. Hal itu sama saja dengan memperlihatkan aib mereka pada orang yang lewat di situ. jika kebetulan yang lewat seorang perjaka atau gadis atau orang tua yang memilki anak perjaka atau gadis maka ketidak disiplinan itu yang seharusnya makan di dapur malah makan di depan pintu akan terlihat oleh perjaka itu. Seharusnya perjaka itu suka pada sang gadis namun karena melihat tingkah lakunya yang seperti itu bisa jadi si perjaka akan mempertimbangkannya kembali. Begitulah makna petuah itu yang sebenarnya. Disiplinlah. Baik disiplin waktu maupun tempat.
Saat ini banyak orang yang tidak percaya dengan petuah. Dengan anggapan petuah ini hanya kepercayaan nenek moyang yang terpengaruh ajaran hindu budha di abad sebelum Islam masuk. Padahal sebenarnya ada nasihat penting yang ada di balik petuah itu. Selama petuah itu baik dan tidak menyalahi aturan agama kenapa tidak kita ikuti petuah itu.
Banyak sekali petuah-petuah yang seringkali dilontarkan orang tua namun seringkali kita menolak dan tidak percaya. Ajjhek menje tong menje. Sesuai dengan aturan diskusi, kita harus mendengarkan pernyataan atau suatu pendapat agar kita mengerti dan punya alasan untuk setuju dan tidak setuju dengan suatu pernyataan. Jika kurang mengerti maka kita berhak bertanya dan bagi si penyaji wajib untuk menjawab. Setelah kita mengerti kita bisa mengambil keputusan harus setuju atau tidak terhadap pernyataan itu atau tidak, begitu pula aturan yang seharusnya berlaku untuk petuah ini.
Kesimpulannya adalah petuah merupakan warisan nenek moyang yang harus kita lestarikan dengan makna-maknanya secara tersirat. Bersikaplah kritis dan teliti sebelum mengambil suatu keputusan.