Media Bawean, 3 Februari 2012
Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012
Kategori Umum
Kategori Umum
Nama Penulis : Buhari
Nama Pena : Boeboyan
Penulis adalah Mahasiswa S1 Jurusan Antropologi Budaya, UGM Jogjakarta.
Alamat Asal : dusun Alastimur, desa Daun, kec. Sangkapura
Alamat tinggal : jalan Selokan Mataram, Karang Asem Baru, CT X, Depok, Sleman, DIY.
Ponsel : 085646894988
Bawean. Entah mengapa pada tengah malam menjelang pagi ini, nama pulau tempatku dilahirkan itu begitu lekat dalam pikiranku. Seperti sedang teringat pada seorang kawan lama yang aku jatuh hati padanya, nama itu terus terngiang sehingga membatalkan kantuk yang hendak berpesta bersama mimpi-mimpi. Dan secara berurutan tiba-tiba tergambar di depan mataku sebuah kapal motor yang bertambat di pelabuhan Gresik yang siap berlayar setiap pukul 09:00 pagi membawa warganya pulang, atau membawa beberapa pelancong bertandang. Aroma khas mesin kapal itu seperti begitu jelas baunya. Lalu terbayang, aku duduk di dek atas bagian belakang, berdesak-desakan bersama penumpang yang berjubel di bawah matahari yang bersinar terik, di atas lautan yang menghampar luas, seolah tanpa batas.
Di tengah perjalanan, saat gelombang tinggi, kapal itu bergoyang-goyang dihempas ombak. Di dalam kapal ramai sekali orang-orang menyebut nama tuhan, “Allahuakbar! Astaraghfirullah!” dan semacamnya. Juga tak sedikit yang muntah-muntah akibat mabuk laut. Aku sendiri biasanya cukup duduk diam memangku lutut, menundukkan kepala, memejamkan mata.
Setelah kisaran waktu tiga jam-an, kapal berlabuh di dermaga tak bernama. Belum juga kapal merapat ke pangkalan, orang-orang sibuk berdesakan di pintu kapal, seolah tak sabar segera menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Sedang aku. Ah! Aku memilih turun belakangan, aku lebih asyik menyaksikan pulau itu dari atas kapal. Juga, aku lebih senang menyaksikan kesibukan orang-orang di dermaga, yang turun dari kapal, yang bersalam-salaman, yang histeris karena lama tak bertemu, yang sibuk menurunkan barang, yang sibuk naik ke kapal menawarkan tumpangan. Yang jelas, sebagian besar dari mereka menampakkan roman muka bahagia.
Masih di atas kapal, biasanya aku menatap satu-per-satu dari mereka yang di atas pangkalan, mencari wajah yang ku kenal, seseorang yang biasanya menjemputku. Bila ketemu, kulambaikan tangan, dan memberi kode untuk menunggu sebentar. Bila tidak, aku mencarinya setelah aku turun dari kapal.
Pohon-pohon nyiur berlambaian, seolah mengucapkan “selamat datang di tanah kelahiranmu!”. Lambainya yang tenang, membuatku senang. Lalu, dengan sebuah motor bebek biasanya aku dijemput oleh salah seorang kawanku, bertemulah dengan sebuah gapura bertulisan “Selamat Datang di Pulau Bawean” yang dibangun oleh salah satu bank yang beroprasi di Bawean. Melihat tulisan itu biasanya aku tersenyum sendiri, “akhirnya aku kembali” kataku dalam hati.
Pada perjalanan menuju rumah, jalan aspal yang bentuknya sudah tidak karuan, benjol-benjol di mana-mana yang kata orang ibarat sungai kering itu adalah pemandangan khas yang sesekali membuatku menggerutu. Selalu aku celingak-celinguk ke kanan-kiri, memperhatikan barangkali ada beberapa perubahan. Kemudian, ada perasaan tak sabar ingin segera sampai di rumah, bertegur sapa dengan tetangga, bersalaman dengan kedua orang tua, memeluk ibu dan mencium kedua pipinya, lalu Ibu membalas hal serupa.
Begitu sampai di tanjakan ‘Tengel’ biasanya perasaan mulai deg-degan. Sebab, ini adalah batas kampungku, dan aku mulai bertemu dengan wajah-wajah yang aku kenal. Bila ada yang melihatku biasanya ia melambai tangan dan berucap “kamma uy… la deteng…”, kemudian aku membalasnya dengan melambai dan menjawab sapaannya, “engghi…”, sambil tersenyum tentunya.
Tiba di rumah, orang-orang rumah tampak berkumpul di halaman depan dengan wajah riang. Masuk ke dalam, menuju dapur, membuka tutup makanan, mencicipi masakan ibu yang selalu mengundang rindu. Itulah saat-saat luar biasa yang selalu terkenang dalam ingatanku, seperti tengah malam menjelang pagi ini.
Baweanku, aku merinduimu.
Jogjakarta, Pada satu malam menjelang Pagi