Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Agar Tidak Punah,
Mari Mencintai Bahasa Daerah Bawean

Agar Tidak Punah,
Mari Mencintai Bahasa Daerah Bawean

Posted by Media Bawean on Senin, 30 April 2012

Media Bawean, 30 April 2012 

Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012 
Kategori Umum

Tulisan Terakhir Sebagai Peserta Lomba Menulis
Pengumuman Pemenang (Rabu, 2 Mei 2012) di Media Bawean
Pembagian Hadiah Hari Sabtu, Tanggal 5 Mei 2012

Nama : Beny Faza Alfafa
Pendidikan : Mahasiswa STIT Raden Santri Gresik, Kampus II Bawean
Jurusan: Tarbiyah /Pendidikan Agama Islam


 A. Pengantar
Nurmulia Rekso P. dalam Tribunnews.com newscom 14-1-.2011 memberitakan bahwa pada penghujung abad ke- 21, diperkirakan hanya sekitar 10 persen saja bahasa daerah yang bisa bertahan karena bahasa-bahasa itu semakin jarang dipergunakan.

Indonesia adalah masyarakat plural yang terdiri dari beratus kelompok etnis. Setiap kelompok ini tentu memiliki kebudayaan dan bahasa sendiri. Secara umum, Indonesia terbagi atas dua kelompok bahasa besar yakni rumpun Austronesia dan Non-Austronesia, dari sekian banyak bahasa yang ada, diperkirakan 169 Bahasa Etnis di antaranya terancam punah.

Ancaman kepunahan bahasa daerah cenderung terjadi pada rumpun non-Austronesia, khususnya terletak di Indonesia bagian timur.

Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdul Rachman Patji menyebut, jumlah bahasa daerah yang terancam punah menurut referensi penelitian adalah 169 bahasa etnis.

Setidaknya, ada 13 faktor penyebab suatu bahasa daerah itu bisa punah. Pendapat ini dirangkum dari berbagai sumber.

Faktor-faktor itu adalah :

1. Urbanisasi;

2. Perkawinan antaretnis;

3. Para orang tua tidak lagi mengajarkan kepada anak-anaknya dan mereka juga tidak secara aktif menggunakannya di rumah atau dalam berbagai ranah komunikasi;

4, Para penuturnya berpikir tentang dirinya sebagai inferior secara sosial;

5. Terikat pada masa lalu;

6. Sisi tradisional;

7. Secara ekonomi kehidupannya stagnan;

8. Kebijakan pemerintah, penggunaan bahasa dalam pendidikan;

9. Tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa yang berdampingan;

10. Kurangnya ‘rasa bangga’ menguasai bahasa daerah;

11. Perkawinan antardua mempelai yang berbeda bahasa lebih memilih jalan tengah berupa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alternatif relevan bahasa sehari-hari demi kelancaran komunikasi;

12. Adanya anggapan sebagian orangtua bahwa berbahasa Indonesia lebih maju dibanding berbahasa daerah. Ramai-ramai mereka mengajarkan anak-anaknya bahasa asing; dan

13.Kurangnya perhatian pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dalam melestarikan bahasa daerah. Tidak adanya mata pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum pemerintah yang mencantumkan penguasaan bahasa daerah.

Dari faktor-foktor penyebab punahnya bahasa daerah di atas, apakah bahasa daerah bahasa Bawean akan punah juga?

Penduduk Pulau Bawean yang suka merantau dan sebagian penduduknya mencari nafkah di luar Pulau Bawean--entah ke luar negeri atau merantau ke pulau-pulau lain di dalam negeri-- kepunahan bahasa daerah Bawean bukan tidak mungkin akan terjadi pada beberapa dekade yang akan datang. Sebagian besar ke-13 faktor penyebab punahnya suatu bahasa daerah itu akan bersentuhan langsung kepada sebagian besar penduduk Pulau Bawean yang"nota bene" suka merantau itu.

Urbanisasi, perkawinan antaretnis, hilangnya rasa bangga akan bahasa daerahnya, lemahnya dukungan orang tua dalam menuturkan bahasa daerah kepada anaknya, serta tidak adanya kebijakan pemerintah daerah dalam pembinaan bahasa daerahnya akan mempercepat punahnya bahasa daerah.

Bagaimanakah fungsi pemerintah daerah dalam pelestarian bahasa daerah? Tentu saja, fungsi pemerintah daerah sangat penting dalam pelestarian bahasa daerah.

B. Fungsi Bahasa Daerah
Sejak 1975, dan sampai sekarang belum pernah ada upaya untuk mengubahnya, ditetapkan Politik Bahasa Nasional (Halim, 1981:151) yang mendudukkan fungsi bahasa daerah seperti berikut ini.

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, seperti bahasa-bahasa daerah lainnya,bahasa daerah berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan daerah,
(2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.

Di dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai:
(1) pendukung bahasa nasional,
(2) bahasa pengantar untuk sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa indonesia dana mata pelajaran lain, dan
(3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.

C Antara Kenyataan dan Harapan
Keluarga adalah benteng terakhir atas pelestarian bahasa. Penutur asli suatu bahasa daerah juga tidak kalah pentingnya dalam pelstarian bahasa daerah. Acara-acara seremonial seperti resepsi pernikahan, peringatan hari-hari besar Islam, dan acara adat adalah momentum yang tepat untuk pelestarian bahasa daerah.

Sejatinya, bahasa selain sebagai alat komunikasi sehari-hari juga memegang peran penting sebagai instrumen menunjukkan jati diri si penuturnya. Tanpa bahasa, mungkin budaya, ilmu pengetahuan dan segala kreasi manusia tidak bisa ditransformasikan ke segala penjuru. Sebuah bahasa menunjukkan identitas sekaligus tolak ukur peradaban manusia tertentu. Hilangnya suatu bahasa sama saja dengan hilangnya sebuah peradaban.
(S u a d i: 29 Feb 2012.)

Bahasa Daerah di Ambang Punah).
Namun demikian, kita masih bisa berharap banyak atas lestarinya bahasa daerah Bawean.Ada secercah harapan akan semangat pelestari dari keturunanan Bawean . Paling tidak ketiga contoh kawula muda puteri Bawean berikut ini akan menjadi benteng dan penyemangat kita dalam pelestarian bahasa daerah Bawean. Selanjutnya, dapat kita baca pernyataan mereka yang dimuat "Media Bawean" beberapa waktu yang lalu.

Ketiganya adalah
(1) Norhidawati Norhalis kelahiran tanggal 5 Oktober 1991, keturunan Bawean di Malaysia; dan
(2) Hayatul Mala (36 th.) asal Belitung, keturunan Bawean di Bangka Belitung, serta
(3) Sumiyati (Ketua Komunitas Anak Sangkapura) keturunan Bawean yang ada di Bawean,seperti berikut ini.

(1) Norhidawati Norhalis kelahiran tanggal 5 Oktober 1991 adalah keturunan Bawean di Malaysia, ibunda Fatimah Binti Kamsi berasal dari Tambak, dan ayahnya Norhalis. Bin Zainuddin dari Tanjungori menyatakan rindu dengan Pulau Bawean. The last time i went to Bawean was on 1995, so it has been 15 years. Norhidawati berstudy, "I'm taking bachelor in international business management," pertama kali berkunjung ke Pulau Bawean tahun 1995 selama dua minggu sebab menggunakan paspor Malaysia.

"Insya Allah tahun ini saya akan ke Bawean, sebab keluargaku ingin tahu perkembangan disana. But my mom tell me bila saya di Bawean pandai bercakap bahasa Bawean, tapi di Malaysia jadi tidak pandai. Saya ingin sekali pergi ke Bawean, Insya Allah this year we will go to Bawean" katanya.

Mengapa ingin sekali pergi ke Bawean? "Karena parents saya cakap Bawean tempatnya best, intersting and have nice view, so lebih aman dan damai,"

"Saya tidak malu mengaku sebagai keturunan Bawean, malah lebih bangga berketurunan Bawean sebab darah dagingku. Saya adalah generasi pertama dalam keluargaku yang ada kerakyatan Malaysia. Aku bangga dengan tradisi Bawean, serta bahasanya," ujarnya (Media Bawean, 9 Mei 2010)

(2) Hayatul Mala (36 th.) asal Belitung, dihubungi Media Bawean (Jumat, 20/1/2012) menjelaskan secara lengkap dan detail kehidupan warga asal atau keturunan Bawean di Belitung.

"Walaupun hanya satu kali ke Pulau Bawean, saat usia 5 tahun bersama orang tua, sebagai keturunan Pulau Bawean tetap mempertahankan tradisi dan budaya, termasuk bahasa Bawean di Belitung,"katanya

Warga Pulau Bawean memiliki tradisi atau budaya merantau ke berbagai daerah lain, termasuk banyak negara di seluruh penjuru dunia. Di antaranya Pulau Belitung di Provinsi Bangka Belitung, banyak warga asal atau keturunan Pulau Bawean sebagai penduduk tetap.

Keunikannya, mereka tetap mempertahankan tradisi budaya serta bahasa Pulau Bawean. Dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga menggunakan bahasa Bawean, termasuk bahasa bersama warga lain dari asal atau keturunan Pulau Bawean. (Media Bawean, 20 Janurai 2012)

(3) Sumiyati (Ketua Komunitas Anak Sangkapura)
Lalu ,kapan bahasa Bawean dipakai dalam proses belajar mengajar? Menurutku, sebaiknya dalam seminggu ada dua hari. Terserah sekolah masing-masing dalam menentukan harinya. Kalau kita hitung dalam satu minggu ada 6 hari maka dua hari memakai bahasa lokal, dua hari memakai bahasa Indonesia dan dua hari memakai bahasa internasional.

Aku ingin usulanku bisa didengar oleh semua sekolah di Bawean . Andai itu terjadi maka alangkah indahnya. Dua hari bahasa Bawean berarti belajar menghargai budaya lokal , dua hari bahasa Indonesia berarti mencintai bahasa persatuan dan dua hari bahasa asing berarti siap menghadapi globalisasi. (Media Bawean, 24 Februari 2012)

Penyataan ketiga puteri muda keturunan Bawean itu, yang kelak akan 'menjadi ibu' bagi anak-anaknya hampir dapat dipastikan akan menurunkan dan akan mengajarkan 'bahasa ibu'-nya, yakni bahasa daerah Bawean.

D, Bahasa Mati dan Bahasa Punah
Ada perbedaan antara istilah mati dan bahasa punah. Apabila bahasa itu sudah kehilangan penutur aslinya, maka dia disebut bahasa mati (dead language) dan jika tidak ada lagi yang menuturkannya, maka disebut sebagai bahasa yang punah (extinct language).

Akhir-akhir ini sudah jarang orang menyebut kata 'rangghepan, aocot, mamasar,bherres totoan ' dalam bidang pertanian karena pengaruh transisi teknologi pertanian yang dari manual ke alat-alat mesin modern.

Demikian pula bidang kelautan sudah jarang kita dengar kata-kata "adhejung,abelle,tengker seang,nyonggol,lemon-lemon" karena transisi teknik pelayaran bagi "oreng majeng-an" dari semula dilakukan serbamanual dan mengandalkan tenaga angin musiman ke pemanfaatan teknologi yang serba mekanik.

Kata-kata seperti " keraka dan keraji" juga jarang kita dengar karena tergantikan dengan kata "abang-adik" . Hal ini karena pengaruh pergaulan pekerja dari Malaysia. "Kasut, pinggan, tiwi, peti ais,bilik air, cawan, sudu,dan eikon " adalah contoh kata-kata yang biasa kita dengar di rumah tangga yang umumnya punya hubungan dengan keluarga di Malaysia atau di Singapura.

Sebagian tukang bangunan "alumnus" negeri jiran pun sudah "salpak ngocak" alias sudah akrab dengan sebutan nama- nama alat dengan bahasa negeri jiran seperti : wayar, skipe, simin, gerinde, paip, dan taletip (meteran). Ini sekedar contoh kecil saja.

Patut kita acungi jempol kepada sahabat-sahabat asal Desa Daun, Kecamatan. Sangkapra, di mana pun berada tak lepas dengan kata tegun,menyatakan rasa terkesannya dengan ucapan : "Happak,jee ! Demikian juga, peulis salut kepada teman -teman di Desa Tambak,Kecamatan Tambak yang bila akan menyatakan rasa keheranannya dengan ucapan: "Palabhbhena!"

E. Penutup
Dalam pergaulan antarmanusia kita memang tidak lepas dengan pengaruh bahasa-bahasa lain. Kita boleh saja menggunakan bahasa dengan mengadopsi bahasa asing,bahasa serumpun maupun bahasa daerah lain. Namun, mari kita jaga juga mari kita lestarikan bahasa daerah bahasa Bawean.

Usulan dari adik Sumiyati di atas patut kita dengarkan, patut kita apresiasi dengan ikut menggunakan bahasa lokal dalam berbagai kesempatan. Melalui tulisan ini, melalui media ini, sebagaimana pesan judul di atas :" Agar Tidak Punah, Mari Mencintai Bahasa Daerah Bawean!"

Rujukan:

1. Halim,Amran(Ed.).1976."Politik Bahasa Nasional I".Jakarta.Pusat Pembinaan dan Pangembangan Bahasa.

2. http://m.kompas.com/news/read/2011/07/26/03535664/10 4http://haluankepri.com/news/tanjungpinang/20607-700-bahasa-daerah-terancam-punah.html

3. http://m.voanews.com/indonesian/98538.html

4. http://tsefull.blogdetik.com/2012/02/23/bahasa-daerahakankah-segera-punah/

5. http://m.kompas.com/news/read/2011/07/26/03535664/10 4http://haluankepri.com/news/tanjungpinang/20607-700-bahasa-daerah-terancam-punah.html

6.http://www.analisadaily.com/news/read/2012/02/29/37972/bahasa_daerah_di_ambang_punah/

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean