Media Bawean, 26 April 2012
Oleh : Rafiuddin Munistamar Sutapongkas
Mantan aktivis Pers Mahasiswa,
Tinggal di Jakarta.
Tinggal di Jakarta.
Sebelum situs-situs jejaring sosial mengalami booming di tanah air, web log atau biasa disingkat blog cukup banyak menjaring peminat. Tahun 2007 merupakan masa puncak kesenangan kaum pecinta blog. Saat itu banyak sekali dijumpai komunitas blogger di dunia maya. Mereka saling berkunjung untuk berbagi pengetahuan, sharing gagasan, atau sekadar saling sapa. Tak jarang cengkerama mereka dilanjutkan ke dunia nyata dengan menggelar even copy darat. Kegiatan darat kaum blogger ini ada yang digarap serius semisal seminar yang pada umumnya membahas optimalisasi fungsi blog. Namun ada juga yang diformat santai, sekadar kongkow-kongkow untuk temu kenal atau temu kangen di antara mereka.
Saya bukan seorang blogger. Tapi saya suka surving, mengamati blog-blog yang bertebaran di dunia maya itu. Kepentingan saya hanya untuk meng-up-date pengetahuan tentang topik-topik tertentu yang sedang ramai didiskusikan para blogger, atau iseng membanding-bandingkan desain antara blog yang satu dengan yang lain. Sekali waktu saya “tersesat” ke blog Media Bawean. Saya menganggap blog ini tidak lebih berkesan dibanding blog-blog lain. Apalagi gaya tulisannya masih amatiran. Namun kesan itu lambat laun berubah seiring mulai lesunya minat publik pada blog karena menguatnya dominasi facebook. Media Bawean justru bertahan, bahkan secara terus menerus melakukan inovasi perwajahan hingga pada akhirnya saya dibuat sadar kalau media ini telah pindah dari blog ke website.
Inovasi perwajahan Media Bawean tampak lebih maju dibanding perkembangan teknis (sesuai kaedah) penulisan beritanya. Meski demikian, kelemahan teknis ini tidak perlu dibesar-besarkan karena yang lebih penting adalah berita segera sampai kepada masyarakat dan stakeholders. Sejauh pengamatan saya, Media Bawean tidak pernah menunda-nunda pemuatan berita. Dan satu hal yang patut diapresiasi, Media Bawean secara istiqomah selalu meng-up-date berita-beritanya dari hari ke hari. Saya yakin itu bukan pekerjaan mudah, apalagi dengan tenaga yang terbatas. Tak bisa dibayangkan bagaimana awak Media Bawean mengatasi kesepian dan rasa bosan. Belum lagi jika ada tekanan dari pihak-pihak yang merasa berkepentingan atau merasa dirugikan. Biasanya, dalam pekerjaan seperti ini, benar tidak dipuji, salah dicaci maki. Sudah pasti galau! Jika sudah demikian, hobi saja tidak cukup. Yang bisa mengatasi hanyalah visi dan spirit yang tinggi untuk tetap bertahan sambil berusaha meraih kemajuan demi kemajuan.
Kemajuan demi kemajuan itu rupanya kini sudah mulai dirasakan hasilnya baik oleh awak Media Bawean sendiri maupun oleh masyarakat Bawean. Pengakses Media Bawean saat ini bukan hanya para perantau asal Bawean yang ingin bernostalgia, tetapi lebih dari itu, masyarakat Bawean dan para pemangku kepentingan juga pasti memantau perkembangan berita yang disajikan Media Bawean. Dampak positifnya pun kian nyata: persoalan-persoalan yang dialami masyarakat Bawean dapat dipublikasikan sehingga mau tidak mau harus dipikirkan oleh para penentu kebijakan di tingkat lokal. Melalui media ini, tak ada lagi persoalan yang bisa ditutup-tutupi. Inilah yang dalam teori komunikasi Jurgen Habermas disebut sebagai pecahnya distorsi. Informasi tak lagi satu arah, sehingga ada kebutuhan untuk menyelesaikan setiap persoalan berdasarkan kesepakatan dalam diskusi, dalam suasana demokrasi yang deliberatif.
Dampak positif itu semakin ke depan akan semakin dirasakan oleh masyarakat Bawean. Media ini berpotensi menjadi pusat informasi yang menjadi jembatan komunikasi berbagai kepentingan. Dari sisi kepentingan masyarakat Bawean, media ini memiliki peran sentral, terutama dalam memantik datangnya perubahan. Media ini dapat memerankan fungsi kontrol yang efektif sedikitnya terhadap dua hal. Pertama, kontrol terhadap pengambilan kebijakan publik berikut implementasinya. Dengan kontrol media yang dapat dipercaya, perubahan kehidupan masyarakat Bawean ke arah yang lebih baik, lebih berdaya, dapat distimulasi dan diakselerasi. Kedua, kontrol terhadap ekses negatif dari perkembangan teknologi komunikasi. Kehadiran media internet pada masyarakat rural biasanya membuat shock, sehingga diterima dengan pessimis, karena yang terbayang lebih dahulu adalah daya merusaknya terhadap nilai-nilai agama, tradisi, dan kebudayaan. Namun melalui Media Bawean, nilai-nilai tersebut justru bisa diangkat untuk kemudian diwacanakan dan dikembangkan. Di sinilah terdapat peluang bagi Media Bawean untuk terlibat dalam pengawalan proses transisi kebudayaan, di mana masyarakat bisa disuguhi tawaran-tawaran kreatif yang membuat mereka bisa menatap masa depan dengan optimis.
Perubahan menuju masyarakat Bawean yang sehat dan lebih berdaya itu dapat dikawal dengan baik oleh Media Bawean hanya jika media ini tetap mampu menjaga independensi dan bergerak berdasarkan visi pemberdayaan masyarakat Bawean. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah penguatan institusi media ini sendiri. Sudah menjadi hukum alam bahwa peran yang besar melekat pada institusi yang kuat dan tangguh.
Tanpa bermaksud menggurui, sudah saatnya awak Media Bawean memikirkan pengelolaan institusi berdasarkan prinsip-prinsip manajemen organisasi yang modern dan profesional. Dengan manajemen organisasi yang baik, media ini dapat melakukan inovasi-inovasi secara terencana dan terukur. Inovasi, baik di bidang konten maupun desain merupakan suatu kebutuhan. Tanpa inovasi, media ini akan terjebak pada kejumudan yang membosankan bagi pembaca. Akhirul kalam, menyitir petuah tokoh pers nasional Goenawan Moehamad: “Yang bagus bukanlah organisasi yang sempurna, tapi organisasi yang tak terlalu sulit disempurnakan, diperbaiki.” Selamat berjuang!