Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Kampung Boyan di Tanjungdahan

Kampung Boyan di Tanjungdahan

Posted by Media Bawean on Kamis, 24 Mei 2012

Media Bawean, 24 Mei 2012
Menelusuri Kampung Boyan di Tanjungdahan,
Galang Baru Dari Satu Keluarga Jadi Satu Kampung

Laporan: Abdul Hamid, Batam



Kampung Boyan, kampung yang dihuni warga perantau asal Pulau Bawean, tak hanya ada di Seipanas. Di kawasan hinterland, pulau Tanjungdahan, di ujung Galang Baru, juga ada. Dari satu keluarga di tahun 1960, kini jadi satu kampung.

Percakapan dua perempuan kakak-adik Selasa (22/5) sore itu terdengar aneh. Di pinggir pantai Pulau Tanjungdahan, Galang Baru, mereka tidak berbicara dalam bahasa Melayu, bahasa yang biasanya digunakan warga hinterland, Batam. Namun, berbicara dalam bahasa Bawean, Jawa Timur.

”Ramana la ekonee ka Tanjungmelagan,” kata sang kakak.

Sang kakak yang bernama Rosdaniyah, 42, memberitahu adiknya, Saenah, 40, kalau ayah mereka, Mahsuni, 70, sedang dijemput ke Pulau Tanjungmelagan. Tanjungdahan dan Melagan, dua pulau terpisah. Namun berdekatan. Kedua pulau itu berada di selatan Galang Baru.

Untuk menuju Tanjungdahan harus melewati enam Jembatan Barelang. Usai melintas di jembatan ke-6, masuk ke Galang Baru menuju ke Kampung Baru. Dari Kampung Baru, menyeberang lagi dengan perahu bermesin tempel atau pompong, sekitar 15 menit. Tak ada penyeberangan rutin. Namun, kita bisa menyewa pompong ke penduduk setempat, sekitar Rp150 ribu.

Tanjungdahan diapit pulau-pulau kecil di sekitarnya. Ada Pulau Nipah, Melagan dan lainnya. Sebagian besar pulau-pulau di hinterland itu dihuni warga Melayu dan Tionghoa, sebagian lagi dihuni suku laut. Maka, rasanya aneh, ada yang menggunakan bahasa Bawean di kawasan hinterland tersebut.

Mahsuni yang ditunggu, baru datang sekitar 20 menit kemudian. Perawakannya kecil, kurus. Tingginya sekitar 155 sentimeter. Ia mengenakan celana panjang yang sudah dipotong sebatas lutut. Kemejanya warna krem, robek di bagian lengan. Kancingnya sebagian sudah lepas.

Giginya yang kuning karena banyak merokok, terlihat sudah ompong, begitu senyumnya mengembang. Mahsuni ramah. Ia menyalami Batam Pos dan Iman Imbalo Sakti, Ketua Yayasan Hang Tua Batam, yang mengantar kami ke Tanjungdahan. Seperti kedua anaknya, Mahsuni menyapa kami sambil berbahasa Bawean.

Bagaimana ia bisa tinggal di Tanjungdahan? ”Ceritanya panjang,” tuturnya. Mahsuni mengaku meninggalkan Bawean di akhir tahun 1950-an. Dari Bawean ia menuju Tanjungpinang. Tak sampai setahun di Tanjungpinang, ia langsung ke Tanjungdahan, Galang Baru. Tak ada perkampungan di Tanjungdahan waktu itu. Mahsuni bekerja menyadap karet. Pekerjaan itu juga tak lama ia tekuni. Taoke karet, tempat ia bekerja, berpindah usaha lain. Kebun karet ditinggal.

Namun, Mahsuni yang terlanjur tinggal di Tanjungdahan seorang diri, tak tahu lagi harus bekerja apa. Ia kemudian membeli tanah di sana. Seorang diri berkebun dan melaut. Sekitar tahun 1960, Mahsuni menikah dengan Misnaja, 65. Misnaja juga gadis perantauan asal Bawean.

Pernikahan Mahsuni-Misnaja, melahirkan delapan anak. Tujuh putri, dan satu putra. M Effendi, satu-satunya anak lelaki mereka, meninggal di usia 28 tahun. ”Yang masih ada tujuh orang,” kata Mahsuni.

Dari tujuh anak Mahsuni-Misnaja, lima orang tinggal di Tanjungdahan. Dua di antaranya, Rosdaniyah dan Rumsa menikah dengan warga Tionghoa. Saenah, anak nomor tiga, malah sudah punya cucu. ”Dua yang lain ikut suaminya ke Flores,” ujarnya.

Maka jadilah, Tanjungdahan yang awalnya hanya ditempati pasangan Mahsuni-Misnaja, menjadi satu perkampungan. Ada tujuh rumah panggung di sana. Semuanya adalah anak, cucu, dan cicit Mahsuni. Mahsuni dan keluarganya hidup dengan cara berkebun dan melaut. Mereka menanam mangga, nangka, melinjo, dan kelapa. Sebagian melaut, sebagian lagi memproduksi arang dari kayu bakau.

Tahun 1960 hingga 1990-an, Misnaja, menjual hasil kebunnya ke pulau-pulau sekitarnya. Ia menjajakan nangka, ubi, dan lainnya. Misnaja berhenti berjualan ke pulau-pulau di akhir 1990-an ketika Jembatan Barelang yang menghubungkan gugusan pulau di Galang beroperasi. Warga Galang dan Galang Baru mulai datang ke Batam, belanja di sana.

Sejak tinggal di Tanjungdahan, Mahsuni mengaku baru lima kali menginjak Kota Batam. Jika dihitung, berarti ia ke Batam 12 tahun sekali. "Mau ke Batam takut tersesat, saya tak tahu jalan," ujarnya. Tak hanya jarang ke Batam, sejak menginjakkan kaki di Tanjungdahan, Mahsuni juga tak pernah pulau ke Bawean. "Sudah 50 tahun lebih tak pulang. Saudara-saudara semuanya di Malaysia," ucapnya. Cucu-cucu Mahsuni sebagian sekolah, sebagian lagi putus di bangku SD. Mayang, 10, anak Rosdaniyah dan Atan, sekolah SD di Pulau Sembur. Rosdaniyah mengaku merogok kocek Rp40 ribu untuk keperluan transportasi anaknya ke Pulau Sembur.

”Tak ada bantuan uang transportasi dari pemerintah,” tukasnya. Rosdaniyah rambutnya sudah beruban. Ia lupa umurnya berapa. Setiap kali ditanya umur, ia menjawab, ”Pokoknya 40 tahun lebih,” katanya. Namun, di KTP, umurnya genap 32 tahun, Juli nanti. ”Itu pak RT yang salah bikin,” tukasnya. Rosdaniyah tak mempermasalahkan kesalahan umur di KTP-nya. Pasalnya, saat ia lahir, Mahsuni tak pernah mencatat tanggal kelahiran anak-anaknya. Tak ada pembangunan apapun di Tanjungdahan. Satu-satunya bangunan permanen adalah Musala Taqwa, yang digagas Imbalo bersama sejumlah donatur. *** SEKIAN

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean