Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Cerbung Eson: Dhurung

Cerbung Eson: Dhurung

Posted by Media Bawean on Selasa, 14 Agustus 2012

Media Bawean, 14 Agustus 2012

Tulisan : Abd. Rahman Mawazi (Wartawan Tribun Batam)


Sekolompok ibu-ibu sedang asyik berbual dan berita di dhurung samping rumah paman Bahar. Mereka sedang asyik membicarakan kabar-kabari yang lagi beredar di pasar sambil membantu memilih la’as (butiran gabah pada beras, red) milik pamah Bahar yang baru saja di giling kemarin. Pagi itu, mereka baru saja pulang dari pasar dan mampir sebentar untuk sejenak melepas lelah sebelum kembali ke rumah masing-masing. Rumah paman Bahar itu di tepi jalan masuk ke kampung memang sering menjadi tempat peristirahatan warga sekitar untuk menunggu atau pun yang baru turun angkutan. 

Dhurung ialah bangunan dari kayu yang biasanya ada di depan atau di samping rumah orang. Ini khas Bawean. Dhurung milik paman Bahar yang berukuran dua kali tiga meter itu juga adalah model baru. Bangunannya terbuat dari batang bambu tua. Di bagian lain ada lumbung padi beserta perkakas sawah. Dhurung ini berbeda dari sisi ersitektur dhurung zaman dulu. Jika dulu, lumbung terdapat di bagian atas bangunan, namun yang ini di buat sejajar dengan tempat duduk. Material yang digunakan juga berbeda. Model lama, biayanya di dominasi oleh kayu dengan beberapa ukiran kecil di sudutnya. Yang sama adalah fungsinya, selain sebagai lumbung tempat perkakas, yakni sebagai tempat berkumpul dan ngerumpi. Dari sini kabar berita beredar.

Eson baru saja mandi. Ia kesiangan. Kantuk yang menyerang membuat kehilangan kesempatan melihat mentari pagi di hari pertama menginjakkan kaki di Bawean. Hari itu, Hanafi berencana mengajak Eson jalan-jalan jika perkerjaan di rumahnya sudah usai. Ia adalah remaja yang setiap harinya membantu orang tuanya mengurusi sawah. Setiap sore ia harus mencari rumput untuk sapi-sapinya. Terakhir ia sekolah hanya di bangku Tsanawiyah.

“Eson ada bik?” tanya pria yang biasa dikenal dengan panggilan Pipi itu kepada istri paman Bahar, Muidah, yang masing di dhurung bersama beberapa orang lainnya. Hanafi biasa memanggil bibik meskipun mereka tidak memiliki hubungan kekeluarga. “Ada. Di dalam lagi makan,” jawabnya. “Sanalah masuk, makan sekalian,” lanjutnya lagi. Pipi da

tang dengan jalan kaki. Mereka bertetanggaan. Ia pun langsung memasuki rumah. “Pi, katanya kamu mau jual sapi ya? Berapa?” ujar seorang pria yang juga duduk dhurung.

“Gak tau juga, tanya sama bapak sajalah,” jawab Hanafi yang masih belum beranjak dari keruman itu.

“O. Sapi yang mana?” lanjut pria itu.

“Tak tau juga. Bapak yang tahu. Tanya ke bapak sajalah,” ucapnya. Ia pun beranjak meninggalkan mereka menuju bagian belakang rumah berbentuk huruf L itu.

“Enak makannya ya?” tegus Pipi begitu memasuki pintu rumah dan melihat Eson sedang asyik dengan piringnya.

“Enak. Sini lah makan juga. Ini ada kella-kella,” jawab Eson. “Wuih… Nikmat sekali. Ikannya segar. Sinilah, ampil piring itu.”

“Aku sudah makan tadi. Mau kemana kita hari ini?” ujarnya pula.

“Makan dulu lah, nanti baru kita pikir mau kemana. Tapi aku pengennya ke tempat obek di Tengghen dulu,” jawab Eson.

Pipi tetap saja tidak mau bergabung pada sarapan pagi itu. Ia hanya memilih duduk di samping sambil mengisap rokok. Kebiasan anak remaja mengisap candu itu. Sudah lumrah remaja yang tidak lagi sekolah mengisap rokok, baik di Bawean maupun daerah-daerah lainnya di negara ini.

“Sebentar ya. Bentar lagi selesai nih,” ujar Eson sembari mempreteli ikan dipiringnya.

“Beh… enak benar nih kayaknya,” tanya Pipi lagi setelah melihat dua kepala ikan di piring Eson. Eson memang terlihat lahap dengan sarapan paginya.

***

Pipi dan Eson larut dalam obrolan. Mereka seperti hanyut dengan nortalgia masa lalu. Cerita-cerita masa sekolah dasar dulu pun terangkat kembali dari memori lama Eson. Iya, dia tidak memiliki memori lain di Bawean selain masa sekolah dasar. Ketika suatu penanda bisa memunculkan rekaman dalam otak, maka akan terus terangkai sederatan peristiwa masa lalu. Bangunan, teman, music, dan lainnya bisa merangsang otak memutar kembali memori.

“Tidak usah tanya-tanya terus, lebih baik kita datang saja ke sana. Biasanya si Ila ada di dhurung-nya,” tiba-tiba Pipi berujar.

“Gampang lah itu, kita ke rumah obek ku di Tengghen dulu. Aku gak enak kalau gak ke sana. Nanti baru kita maen ke rumah Ila,” jawab Eson.

“Biasanya si Puput juga ada rumah Ila. Cewek biasa ngumpul di sana. Ayo lah kita ke sana. Dari pada tanya-tanya terus,” ajak Pipi sambil tertawa.

“Gampang lah. Si Laklang sekarang kerja apa dia. Sudah nikah kah?” cecar Eson lagi.

“Dia kerja di pelabuhan. Kuli bongkat muat kapal. Nanti siang baru datang,” jawab Pipi.

“Siapa saja yang sudah merantau?” tanya Eson lagi.

Pipi yang mulai bosan duduk di ruang tamu pun enggan menjawab banyak lagi. “Udahlah, ayo kita pergi dulu. Nanti engkau tanya sama teman-teman yang lain. Sekarang kita mau kemana, ke Tengghen dulu atau ke rumah Ila dulu?” ujar Pipi sembari mematikan rokoknya.

***

Di dhurung rumah paman Bahar sudah sepi. Hanya tinggal bibi Muidah yang sibuk dengan beras di nampannya. Selain tempat ngobrol orang tua, ada juga dhurung yang dijadikan tempat ngumpul anak-anak muda. Dhurung menjadi pusat interaksi sosial bagi masyarakat. Tidak sedikit pula kaula muda yang justru menjadikannya sebagai tempat mengenal satu sama lain. Bagi banyak kalangan muda mudi, bercengkrama di dhurung lebih baik dari pada di dalam rumah.

Setiap rumah yang memiliki dhurung dan memiliki halaman yang luas, biasanya akan menjadi pusat permainan anak-anak pula. Ketika pemiliknya punya hajatan, di dhurung itulah biasanya tempat untuk ibu-ibu bekerja menyiapkan masakan. Dan kala pekerjaan ibu-ibu sudah selesai, anak-anak muda pula yang menggantikan tempatnya pada malam hari, terkadang mereka pun tidur berkumpul di situ seperti ikan paes. Dhurung menjadi sentra geliat aktivitas ringan warga, sumber informasi, tempat canda gurau, dan tempat melepas lelah sepulang dari sawah atau dari melaut.

“Bik, kami pergi dulu ya?” tegur Eson pada bibi Muidah yang masih duduk di dhurung. “Mau ke mana? Jangan lupa pergi ke rumah obekmu yang di Tengghen. Nanti dikira lupa pula sama mereka,” ujarnya.

“Tenang saja. Hari ini saya yang akan antar Eson jalan-jalan. Biar dia tahu keadaan di sini,” ucap Pipi menyakinkan sambil berlalu.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean