Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Alangkah Indahnya Jika…
Sebual Usulan Tentang Shalat Jum’at

Alangkah Indahnya Jika…
Sebual Usulan Tentang Shalat Jum’at

Posted by Media Bawean on Jumat, 08 Februari 2013

Media Bawean, 8 Februari 2013 

Oleh : Ali Asyhar 
(Dosen STAIHA dan 
Wakil Ketua PCNU Bawean)

Suatu hari, dua tahun yang lalu. Saya diminta hadir di sebuah kampung kecil, Borne, Kebuntelukdalam. Saya menduga akan diminta memberi ceramah agama. Ternyata saya didaulat menjadi khatib jum’at pertama di masjid. Dua hari sebelumnya masjid mungil ini baru saja diresmikan. Ada kegetiran menyelinap dihati, mengapa di dusun kecil ini harus berdiri jum’atan sendiri?

Dari sisi fiqh, Empat madzhab sepakat bahwa mendirikan dua jum’atan di satu desa diperbolehkan sepanjang tempatnya sudah berjauhan. Bahkan as-Syafi’i memberikan kelonggaran lagi jika ada pertikaian di desa tersebut dan jamaahnya sudah mencapai 40 orang meski jaraknya berdekatan. Bila ingin pendapat yang murah lagi ada pendapatnya al-Muzani dan As-Suyuti yang memperbolehkan jumatan meski kurang dari 40 orang. Keduanya adalah pengikut madzhab Syafi’i. Bila masih menawar lagi ini ada pendapat termurah yaitu Ismail az-Zain yang memperbolehkan mendirikan dua jumatan di satu kampung meskipun berdekatan dan tidak ada pertikaian.

Hari ini di tiap dusun berdiri jum’atan sendiri. Alasannya yang pakai adalah sudah sesuai dengan ilmu fiqih. Yaitu tempatnya berjauhan dan jumlah jama’ahnya sudah mencapai 40 orang. Hemat saya memakai fiqh tanpa sosiologi adalah tindakan yang kurang bijaksana. Islam bukanlah fiqh. Fiqh adalah satu bagian dari ilmu-ilmu keislaman.

Dari sisi sosiologi manfaat shalat jumat yang pertama adalah silaturahim. Diharapkan umat islam satu desa bisa berjumpa sepekan sekali yaitu di hari jumat. Mereka bisa tersenyum dan bertegur sapa. Dengan silaturahim maka rasa persaudaraan sesama muslim akan terjaga dan permusuhan cepat mereda. Manfaat kedua adalah menumbuhkan kewibawaan umat islam. Bila satu desa hanya ada satu tempat jum’atan maka akan kita lihat ratusan bahkan ribuan berkumpul. Pulang dan pergi berbarengan. Suatu pemandangan yang menyejukkan.

Bila tiap dusun mendirikan jumatan sendiri-sendiri maka dua manfaat diatas tidak terpenuhi. Dalam satu dusun biasanya sudah bertemu tiap hari. Sehingga hari jumat tidak memiliki makna lagi. Dilihat dari kewibawaan umat islam juga tidak ada karena dalam satu masjid hanya diisi puluhan orang dari kampung yang sama. Menurut saya bibit-bibit perpecahan umat islam dimulai dari kemalasan umat islam untuk berkumpul di satu masjid desa.

Penyebab kemalasan tersebut adalah pertama individualisme. Sikap nafsi-nafsi adalah penyakit yang mewabah di kalangan muslimin. Seseorang sudah cuek dengan tetangganya bahkan sanak sudaranya. Contoh gampang saja betapa kita merasa asing jika naik bis yang penuh. Semuanya asyik dengan ponselnya masing-masing. Mereka sudah tidak peduli dengan orang-orang disekitarnya. Kaitannya dengan shalat jumat mereka malas berkumpul karena merasa bahwa dia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Penyebab kedua adalah materialistic. Semua hal dihargai dengan materi. Mencari teman, tetangga, pasangan, sekolah dan seterusnya selalu dipetani dengan rumus harta. Saya mendapat bagian apa dan berapa. Baginya berkumpulnya semua orang dalam satu masjid tidak mendatangkan keuntungan materi. Bahkan ia merasa rugi karena harus jauh. Semakin jauh jarak tempuh berarti semakin dalam merogoh kocek. Faktor ketiga adalah perbedaan faham.

Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengajak bicara masyarakat dari hati. Menanamkan pengertian tentang pentingnya berkumpul satu desa dalam satu masjid. Silahkan banyak masjid tetapi yang dipakai shalat jumat cukup satu. Jika mayoritas sudah menyetujui maka langkah kedua adalah segera merealisasikan. Tantangan yang muncul harus dihadapi dengan kekompakan Karya besar ini harus segera dimulai dengan langkah terkecil yakni meyakini pentingnya bersatunya umat islam dalam shalat jum’at.

Khusus untuk perbedaan faham, hemat saya tidak perlu diperuncing. Karena titik bedanya hanya dalam hal teknis bukan subtantif. Persolan furu’iyah silahkan dilaksanakan masing-masing. Silahkan adzan jumat dua kali atau cukup satu kali. Silahkan pakai tongkat, pedang, tombak atau tidak usak pakai. Ketika berdo’a silahkan diangkat tangannya se-leher, se-dada, se-perut atau cukup di hati. Setelah shalat silahkan berdzikir dengan pengeras, tanpa pengeras atau bahkan dengan suara lirih. Semuanya bisa didialogkan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean