Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bang Toyib Kapan Pulang ke Bawean

Bang Toyib Kapan Pulang ke Bawean

Posted by Media Bawean on Kamis, 23 Mei 2013

Media Bawean, 23 Mei 2013

Oleh : Sugriyanto (Guru SMAN I Sangkapura)

Malin Kundang Durhaka Atau Pangling? 
Sinkronisasi Terhadap Budaya Rantau Warga Bawean 

Dongeng atau cerita rakyat berjudul Malin Kundang (red: bukan Maling Kundang) yang berasal dari daerah Sumatera (Minangkabau) pada masanya dulu ramai menuai perhatian dan kegemparan karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya cukup kompleks dan universal yakni kisah anak yang durhaka kepada ibu atu ‘mamak’-nya. Benarkah demikian? Bila sejenak ditilik dari pemberiaan nama oleh orang tuanya nama Malin Kundang telah mengaburkan bagi para pendengar dari dongeng tersebut setelah masuk ke telinga pendengar kebanyakan nama yang dimaksud berubah menjadi Maling Kundang. Dari nama depannya saja sudah berkonotasi jahat. Diakui atau tidak demikian kenyataannya. Secara etimologi dan ‘makharijul huruf’ lebih ‘salpak’ atau gampang penyebutan itu karena lisan ini sudah terbiasa dengan tajwit atau logat ‘nun’ mati bertemu huruf ‘kaf’ akan dibaca idgham bigunna (dengung). Walau demikian arah tokoh yang dimaksud adalah anak durhaka kepada ibunya yakni Malin Kundang.

Bila ditelusuri dengan kajian ilmu etimologi atau ‘kirotoboso’ yakni ilmu asal usul kata nama Malin Kundang setelah ditengok dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi kedua 1991 tercantum kata Malin semakna dengan kata rapatannya Malim yang artinya 1. orang alim; ulama; guru agama islam; 2. Pemimpin; penunjuk jalan; 3. Pawang. Sedangkan kata Kundang berati bermanja; dimanjakan. Dari nama Malin Kundang yang dijadikan tokoh cerita dalam dongeng tenar itu sungguh aneh dan keluar dari kepantasannya bila kelak dewasa seorang alim atau guru yang sewaktu kecil dimanjakan oleh ibunya alias emaknya (red : biyangnya) setelah dewasa menjadi anak yang durhaka (terkutuk). Apa pun bentuk karya sastra tidak pernah terlepas dari kungkungan adat dan budaya tempat karya sastra itu dilahirkan.

Sebagai genre atau karya satra berjenis dongeng yang disampaikan dari mulut ke telinga (red: bukan dari mulut ke mulut) berlindung dari konotasi negatif akan terus bertahan hidup karena kandungan nilai ceritanya yang tetap menembus ruang dan waktu.Kerap kali guru atau ustadz khusunya guru agama dan akhlak dalam memberikan illustrasi anak yang durhaka disodorkanlah tamsil cerita Malin Kundang. Penyampaian ini tentu pada tataran kelas dasar (dikdas) yang secara psikologis mereka belajar bertumpu pada aspek estetis dan etis sepantasnya disampaiakan hal demkian. Namun, pada jenjang menengah ke atas atau pendidikan yang lebih tinggi akan tinggi pula tumpuannya yakni aspek kritis yang ditonjolkan. Jadi dongeng Malin Kundang sudah bukan sekadar anak durhaka lagi melainkan lebih dari itu (Red: Bawean anak cElaka). Dongeng kondang atau termasyhur tersebut hendak mengkritik budaya daerah tertentu yang masih kental dengan budaya merantau dengan masa begitu lama di negeri orang tak pulang-pulang. Seperti nyanyian lagu Adu buyung mengapa lupa padaku, selama engkau di rantau hatiku rindu padamu (Ine Syntia:Manis Manja Grup).

Perhatikan pendapat dari Hans-George Gadamer dalam bukunya Umar Junus Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode di sana dikatakan sebagai berikut. “Cerita Malin Kundang bila dilihat dari segi moral dapat dianggap bertemakan ‘pendurhakaan seorang anak terhadap ibu’ . Tetapi interpretasi yang lebih menyeluruh , menggunakan prinsip hermeneutik ‘memahami keseluruhan suatu karya berdasarkan unsur-unsurnya (yang terperinci) dan memahami sesuatu unsur berdasarkan keseluruhan karya, sehingga satu unsur tidak pernah lepas dari ikatannya’” (1986: 5).

Hampir seluruh guru atau pendidik pada tingkatan dikdas hanya melihat cerita Malin Kundang sebatas menggunakan kacamata moral dan etika keagamaan. Belum sampai kepada kajian atau telaah yang lebih mendalam dan menyeluruh ‘hermeniutik’ dengan segala aspek kehidupannya.Mau tidak mau cerita Malin Kundang diterima dengan saklak atau dogmatis tanpa ada kompromi sedikit pun yang tetap menyetempel kuat dengan sumpah serapahnya bahwa Malin Kundang anak yang durhaka sedurhak-durhakanya anak di dunia ini. Pantaslah Malin Kundang dikutuk menjadi batu bersama perahunya atau kapalnya setelah ibunya yang berstatus nenek memeras air susunya sebagai usaha pembuktian untuk memantabkan keyakinan pengakuan seorang nenek –yang notabene susu kedaluwarsa –membuat Malin Kundang biar tahu rasa menjadi anak durhaka. Dulu di masa Malin Kundang menggegerkan panggung perdongengan belum ada tes DNA (Dioksi Ribonuclead Acid) atau kala merantau tak pernah sms- an atau face book-an (red : pacebukan) apalagi tri-G-an seperti saat ini dengan ibunya.

Mungkin saja kutukan itu terjadi karena bagaimana pun ibu memliki kekeramatan yang tak diragukan lagi. Sebagaimana dendang lagu dari Sang Raja Dangdut Rhoma irama yang bertitel “Keramat” dengan lirik-lirik sebagai berikut.

Keramat
Hai manusia hormati ibmu
Yang melahirkan dan membesarkanmu
Darah dagingmu dari air susunya
Jiwa ragamu dari kasih sayangnya
Dialah manusia satu-satunya
Yang menyangimu tanpa ada batasnya

Reff. Doa ibumu dikabulkan Tuhan
Dan kutukannya jadi kenyataan
Rida Ilahi karena ridanya
Murka ilahi karena murkanya

Bila kau sayang pada kekasih
Lebih sayanglah pada ibumu
Bila kau patuh pada rajamu
Lebih patuhlah pada ibumu

Buakanlah gunung tempat kau memita
Bukan lautan tempat kau memuja
Bukan pula dukun tempat menghiba
Bukan kuburan tempat memohon doa
Tiada keramat yang ampuh di duia
Selain dari doa ibumu jua
(Rhoma Irama)

Ada beberapa faktor yang mengharuskan penduduk Pulau Bawean hidup merantau di negeri orang atau negeri jiran (red: tetangga) di antaranya Malaysia dan Singapura serta kota-kota besar lain di Indonesia yakni faktor budaya dan ekonomi. Sudah menjadi kultur atau tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu sebagai pelaut sekaligus sebagai pengembara dengan berbagai maksud dan tujuan. Faktor selanjutnya yang paling dominan pemicu penduduk Pulau Bawean sebagai pemilik jiwa perantau berat adalah faktor ekonomi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan ekonom dunia Thomas Robert Malthus alumnus dari University of Cambridge , Inggris (1776-1834) mengatakan bahwa “ Sumber psimisme adalah dari kenyataan bahwa tanah sebagai salah satu faktor produksi utama tetap jumlahnya. Kalaupun pemakaian tanah untuk produksi pertanian bisa ditingkatkan, peningkatannya tidak seberapa. Dengan pengamatannya bahwa manusia berkembang jauh lebih cepat dibanding dengan produksi hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur /progresif geometrik ( 1,2, 4, 6, 16, 32, dan setrusnya). Sedangkan pertumbuhan produksi makanan meningkat sesuai dengan deret hitung/progresif aritmatik ( 1,2, 3,4,5, dan seterusnya)’( Pratama Rahardja, 2000:7-8).

Jadi, wajar dan masuk akal bila warga Pulau Bawean mayoritas penghidupannya berasal dari usaha merantau. Tak perduli dengan ungkapan lawas yang mengatakan “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang”. Memang hal ini sebagai akibat logis dari luas wilayah dengan keliling lingkar jalan Bawean (JLB) yang hanya 55 km serta jumlah penduduk diperkirakan mencapai 65 ribu jiwa yang berkehidupan sebagai petani dan nelayan harus merantau untuk mencapai keseimbangan dalam hitungan pakar ekonomi di atas.

Sedari dulu nenek moyang warga Bawean sudah menekuni kehidupan sebagai perantau. Perjalanan menuju perantauan masih menggunakan jasa pengawal (baca: pangawel). Umumnya mereka merantau ke malaysia dan selebihnya ke Singapura, Riau, Batu Ampar (Batam), Bangka Belitung, Tanjung Pinang. Paling sengsara dulu bila hendak ke Malaysia karena tidak ada biaya maka harus transit di Kijang atau Tanjung Pinang. Biasanya dikawal oleh pengawal (baca: taekong) menembus wilayah malaysia. Sudah kerasan dan mendapatkan pekerjaan yang upahnya menjanjikan enggan untuk cepat-cepat balik kampung. Sampai beranak pinak dan bahkan kebanakan ikut program naturalisasi dengan mendapatkan legalisasi berupa pemberian IC (baca: aisi) atau Idenity Card istilahnya kartu identitas semacam KTP di Indonesia berwarna biru. Sedangkan yang masih memiliki IC berwarna merah belum syah sepenuhnya menjadi warga Malaysia. Rata-rata setelah kehidupannya lebih mapan semakin tipis kemungkinan untuk pulang ke tanah kampung asalnya. Paling datang ke Pulau Bawean untuk melancong saja.

Betapa tidak dikatakan saja Malin Kundang sebagai anak yang pangling (red: bukan anak durhaka) bila kisah cerita atau dongeng ini disinkronkan dengan narasi sepintas tentang Malin Kunang versi ringkasnya (sinopsis). Masa kanak-kanak Malin Kundang kerap kali diajak ibunya atau “mamak”-nya ke sawah atau berkebun. Kala itu wajah ibunya begitu muda dan cantik rupawan. Paras wajahnya seperti tanpa dosa saja (baby face) dan keibuan sebenarnya. Kulit pelapis seluruh tubuhnya kuning langsat tanpa noda serta “kencang” alias ‘tarek’. Badan sintal penuh berisi dengan tinggi semampai. Hidung ‘bangir’ (red: tak mergeng) dan wajah senduh menyejukkan kalbu bagi yang menatapnya. Alis lebat bak dimes atau dipupuk saja. Rambut panjang lurus tergerai hitam pekat. Bibirnya basah merekah bak mangga muda. Setiap hari bercanda berlari berkejaran di pematang sawah dengan anak semata wayangnya yakni Malin Kundang hingga ia beranjak dewasa. Kebahagiaan masa mudanya itu mulai pudar saat Malin Kundang hendak menggantikan posisi bapaknya yang telah tiada kabar beritanya selama di rantau. Malin Kundang untuk merantau mencari nafkah buat ibunya.

Sebagai seorang anak yang terlahir dengan kecerdasan di luar anak rata-rata pada umumnya (cerdas dalam dongeng) hendak mencari tahu keberadaan Bapaknya di ranatu. Sekian tahun lamanya Malin Kundang tidak bersua dengan Bapak yang dirindukannya. Dia mencoba mengadu nasib bekerja di perusahaan perkapalan. Setiap melihat pekerjaan orang kapal selalu ditelisik dan diperhatikan dengan sungguh-sungguh hingga akhirnya seluk beluk perkapalan dikuasainya. Dia sudah tidak canggung lagi untuk menakhodai kapal-kapal milik perusahaan majikannya. Dia dipercaya oleh majikan peimlik kapal (baca: kompeni). Karena kepiawaiannya dalam mengelolah untuk memajukan perusahaan perkapalannya, Dia dipercaya sebagai kaki tangan sang majikan. Majikan merasa tertarik kepada Malin Kundang untuk meneruskan roda usahanya. Satu-satunya jalan untuk kelanggengan perusahaan perkapalannya sebagai penerus, Malin Kundang disuruh kawin dengan anak bungsu Sang majikan. Bak gayung bersambut, bertepuk kedua tangan maka jadilah Malin Kundang menantu kesayangan dari majikan pemilik perusahaan tersebut. Hampir kurang lebih 35 tahun di rantau Malin Kundang berjaya menjadi seorang yang kaya raya. Mulailah terjadi suatu pergeseran status sosial dari orang miskin awalnya menjadi orang kaya yang prestise atau gengsinya naik. Pulang kampung atau mudiklah ia dengan segala kebanggaan dan kecongkakannya sampai tak mengenal ibunya yang sudah mengalami ‘metamorfosis’ karena tergerus dimakan waktu. Semua berubah 180 derajat bahkan lebih.Keriput pol dan ubanan merata putih “pettak”. Di sinilah malin Kundang mengatakan bahwa “Ibu saya tidak seperti ini rupanya! “. Dengan menggeleng-gelengkan kepala serta menolak nasab yang senyatanya nenek itu adalah ibunya. Perangai dan tabiat inilah yang menjadi bahan mentah untuk menjustice Malin Kundang sebagai anak durhaka.

Tema kedua dapat diterangakan sebagai berikut. Malin Kundang memang tak mengenali ibunya lagi. Dia tidak percaya setua dan semiskin perempuan tua yang mendakwah sebagai ibunya (Malin Kundang) istilahnya ‘ngako-ngako’ atau mengaku.Dia masih membayangkan ibunya sebagai seorang perempuan yang cukup muda semuda yang ditinggalkannya. Dia membayangkan ibunya dalam kaca mata kanak-kanak, tanpa menyadari perantauannya yang telah begitu lama. Dalam buku yang sama Umar Junus memberikan interpretasi tema pada cerita Malin Kundang sebagai berikut.

1. Masa perantauan yang lama bagi seseorang yang mula merantau pada usia meningkat dewasa menyebabkan jurang pemisah masa kanak-kanak dan dewasa.Ini tidak disadarinya.Dia masih melihat kampung halamannya dengan kaca mata romantik seorang kanak-kanak. Padahal segalanya telah berbeza (beda). Dia dan kampungnya telah berubah.

2. Keadaan tragik ini disebakan oleh perantauan yang lama, sesuatu yang dianggap tidak baik, yang disebut oleh orang-orang Minangkabau sebagai perantauan Cina meskipun banyak dilakukan.(1986:5-6).

Lengkap sudah pandangan kesemestaan cerita dari Sumatera (Minankabau) Malin Kundang dengan cerita kehidupan budaya merantau warga di Pulau berjarak 80 mil laut atau sekitar 120 km wilayah utara Kabupaten Gresik yakni Pulau Bawean.

Sisi perbedaan dengan cerita Malin Kundang sebagai perantau berakhir dengan sebuah kedurhakaan atau pangling sedangkan bagi warga Pulau Bawean merantau sebagai suatu tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan dalam meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Titik pandang keunikan dari gaya merantau penduduk Pulau Bawean sama-sama dikuatkan atau bertahan meninggalkan anak istri dalam kurun waktu yang relatif lama. Patut bangga dan takjub tatkala seorang ibu muda ditinggal suaminya merantau masih bertahan menjalin keutuhan. Tentu yang menjadi pertimbngan adalah budaya dan norma masyarakat setempat yang masih kuat mengontrol terutama norma susila dan adat, serta agama.Tak ayal lagi jika Pulau Bawean dijuluki Pulau Puteri. Romantisnya peristiwa merantau menjadi penumbuh ‘gairah’ dalam merajut pertemuan bak ‘penganten baru’ atau ‘panganten anyar’ saat sang pahlawan devisa (suami) kembali ke pangkuan anak dan istri tercintanya. Sambil membuka oleh-oleh terbukalah luapan kasih sayang dalam kerinduan.

Belajar dan mencari hikmah dari cerita Malin Kundang ini, dapat menjadi cambuk bagi penduduk Pulau Bawean agar tidak terlalu lama meninggalkan kampung halaman untuk merantau mendulang ringgit di Malaysia dan Singapura. Ingat pada sighat taklik pada saat awal ikrar suci di depan penghulu. Merantau tetap merantau, namun hindari waktu yang terlalu lama di perantauan. Mereka merantau tentu bukan keinginan yang diidamkan karena tuntan keluarga semata istilah latahnya “Bukan keinginan untuk merantau melainkan ketidak punyaan” dalam terjemahan bebas “Benne katerroan untuk merantau hanya karena tak ka’andiken”. Katanya lirik lagu Bawean jika terlalu lama merantau tak pulang-puang takut ‘betong sabek-sabekna”. Bukan menjadi suami yang durjana bagi anak dan istrinya melainkan sebagai pahlawan keluarga untuk menggapai bahagia. Kerrong !!!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean