Media Bawean, 23 Juli 2013
Sebuah Renungan Religiusitas Kemanusiaan
Oleh : Sugriyanto, S.Pd (Dosen STAIHA- Bawean)
Tajuk malam “ Seribu Bulan” yang akan disandangkan kepada seluruh umat Muhammad SAW. sudah tertuang dalam firman Allah SWT. yang arti terjemahannya adalah sebagai berikut. Sesungguhnya Kami (Allah SWT.) telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril (Ruhul Qudus) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al Qadar 1-5).
Bila mempergunakan hitung-hitungan matematika jelas umat Nabi Muhammad SAW. yang nota- bene usianya tidak sepanjang usia umat nabi-nabi sebelumnya dalam kegiatan amal ibadah tetap tidak dirugikan karena adanya jaminan untuk mendapatkan malam kemulian yang pahalanya sama dengan beribadah selama seribu bulan. Berarti umat Nabi Muhammad SAW. saat ini yang memperoleh malam “Lailatul Qadar” pahalanya setara dengan beribadah kurang lebih selama 83 tahun. Ini baru dalam 1 pertemuan dengan Bulan Suci Ramadhan. Tentu untuk mendapatkannya bukan dengan harapan lewat “mimpi sejati” melainkan melalui “kerja pasti” dalam wujud amal ibadah yang istiqamah. Untuk mendapatkannya pun dengan “meragap” yakni saling berlomba-lomba dalam kebaikan untuk meraihnya. Istilah kata “meragap” identik dengan kata merebut bersama-sama untuk memperoleh sesuatu dengan usaha dan tenaga yang maksimal.
Mengenai peristiwa malam “Seribuh Berkah” tersebut termaktub dalam sebuah kitab tarekh atau sejarah yang tertuang dalam kitab berjudul “Kisah Para Nabi” berdasar sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani yang artinya adalah sebagai berikut. “Maukah kalian aku beri tahu malaikat yang paling baik, yaitu Jibril, Nabi yang paling baik adalah Nabi Adam, hari yang paling baik adalah hari Jum’at, bulan yang paling baik adalah Ramadhan, malam yang paling baik adalah malam Lailatul Qadar, dan wanita yang paling baik adalah Maryam binti Imran” (Ibnu Katsir 2011: 71).
Mencermati hadits di atas menandakan adanya sifat kerendahan hati Rasulullah Muhammad SAW. sebagai penghulu para nabi (sayyidul basyar) terhadap pendahulunya. Padahal dalam kitab yang sama tatkala Allah SWT. menyampaikan kepada Adam bahwa nabi yang paling baik adalah Nabi Adam AS karena diciptakan langsung dengan “Tangan”-Nya, (red: kekuasaan) Nabi Adam merasa “tahu diri” karena melihat di tiang arsy terpampang jelas kalimat Tauhid “Lailahaillallah Muhammadurrasulullah”. (Red: bentuk tulisan dalam bahasa Indonesia yang aslinya dalam bahasa Arab). “Kemulian nama siapa yang bisa dipersandingkan dengan nama-Mu di tiang arsy itu ya Allah!” cetus Nabi Adam sambil tertunduk malu. Begitulah akhlak para nabi yang begitu mulia.
Pertanyaan yang mengemuka dan memerlukan jawaban untuk umat yang beriman adalah kapan malam penganugerahan sebagai malam dambaan atau idaman “Lailatul Qadar” itu akan turun? Kepada siapa saja akan diberikan? Dan apa tanda-tandanya, baik keadaan alam maupun kepada umat beriman yang menerima? Sebagai sandaran rujukan terhadap beberapa pertanyaan yang mengemuka di atas perlu kiranya mengambil keterangan dari hadits Rasulullah SAW. tentang kapan malam kemuliaan itu turun. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r. anhuma yang artinya sebagai berikut. “Maka barang siapa yang mencari “Lailatul Qadar”, hendaklah mencarinya pada malam dua puluh tujuh”. Tetapi lebih baik dan lebih utama untuk terus mencarinya pada malam sepuluh terakhir khususnya pada malam-malam ganjil (21,23.25.27,29) Ramadhan. (Moh. Abdai Rathomy: 212-213).
Namun, segala kegiatan ibadah di bulan suci Ramadhan tidak perlu menggunakan manajemen PMK (Pemadam Kebakaran) yang mau bertindak bila ada kebakaran akan kurang afdhal untuk mendapatkan lencana “Lailatul Qadar” hanya mempergiat amal ibadah di malam yang diincar-incar itu saja. Idealnya manajemen yang barangkali cocok untuk meragap “Lailatul Qadar” bagi umat yang beriman menggunakan manajemen “Sapu Jagad” dengan menyapu bersih waktu sejak awal puasa hingga akhirnya penuh dengan sikap sabar dan istiqamah dalam menjalankan amal ibadah. Bahkan pada malam dua puluh satu memasuki trip ke tiga dari malam sepuluh terakhir kerap kali bangsa Indonesia khusunya bangsa Kotakusuma dan Sawahmulya Sangkapura mengadakan acara “Mamaleman” berupa acara “Totolongan” sebagai miniatur kemanusiaan dalam memanusiakan manusia dalam bentuk saling memberi dan menerima. Jadi, anak-anak secara praktik diajari bagaimana memberi pertolongan kepada sesama. Semua jenis makanan dibuat liliput alias kecil-kecil untuk diantar pada malam hari ke rumah sesama. Tidak ada transaksi dan perhitungan. Mereka ikhlas memberi dan menerima. Hanya ada saja anak laki-laki yang “mbeling” menjadi pengantar makanan pertolongan berjajar rumah-rumah dengan bakinya alias talamnya mengapkir jenis makanan yang dianggap primadona dan lebih untuk dikantongi dalam saku baju dan celananya sehingga pulang mengantar makanan pertolongan dapat “laba bersih” dan “berkah” sebagai imbuhnya. Hal ini harus tetap diapresiasi sebagai wujud pendidikan solidaritas kemanusiaan yang sudah terun-temurun. Sayangnya dalam bulan suci Ramadhan ini, bangsa Indonesia menjadi momok utama bagi malaikat untuk merasa nyaman turun di bumi Indonesia. Berapa ton mercon yang menjadi bahan penggertak ke langit Indonesia yang semestinya lengang, tenang dan harus senyap dalam memasuki bulan penuh berkah ini. Menjadi tugas bersama untuk mengubah mindset ke arah yang hidmat dan bersahaja.
Bumi dan alam semesta di bulan suci Ramadhan semakin lengang dan lempang karena iblis atau syaithan dibelenggu atau dalam keadaan terpenjara. Hal ini untuk memudahkan “lalu lalang” malaikat yang akan diturunkan ke bumi semesta ini dalam mengurus semua persoalan umat manusia yang beriman. Betapa tidak, bisa dibayangkan jika syaithan berkeliaran di saat para malaikat diturunkan akan terjadi “gesekan-gesekan” yang berakibat kurang menguntungkan atau kekurang nyamanan dalam peristiwa pengunugerahan malam bergengsi “Lailatul Qadar” kepada jutaan umat manusia yang beriman. Dengan kata lain, bumi yang bentuknya bulat membuat malaikat harus dengan ekstra berat saat turun di waktu menjelang maghrib dan naik kembali di saat fajar sodiq akan menyingsing. Boleh dikatakan para malaikat akan terus bergerak ke arah bagian permukaan bumi yang lain. Sebagaimana Al Maraghi dalam buku Kapita Selekta Pengetahuan Agama Islam oleh Departemen Agama RI menyatakan bahwa malam yang sangat dimuliakan itu berlangsung dari awal malam (azan maghrib) sampai akhir malam yaitu azan subuh. (Depag RI : 2000:25).
Kepada siapa kiranya penyematan gelar kemuliaan “Lailatul Qadar” akan diberikan? Tentu akan dianugerahkan kepada semua umat manusia yang dikehendaki-Nya tanpa melihat suku, bangsa, ras, keturunan, tua- muda, yang beriman dan menghendakinya. Sudah mahfum bersama bahwa di bulan suci Ramadhan ini para malaikat diturunkan ke bumi oleh Allah SWT. sesuai dengan ayatnya dalam surat Al-Qadar. Makhluk Allah yang patuh dan taat adalah malaikat tanpa memiliki hawa nafsu. Sehingga dalam pikiran penulis pun terlintas ketaatan dan kepatuhan para malaikat tanpa kesadisan dan kekejaman khususnya kepada umat beriman yang banyak diceritakan. Tanpa terkecuali Mungkar dan Nakir pun sekadar menjalankan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. terhadap Umat nabi Muhammad SAW. menggunakan standar operasional pertanyaan (SOP) di dalam liang kubur. Istimewanya lagi pada bulan suci Ramadhan eksekusi kubur diistirahatkan alias puasa juga. Umat yang beriman di muka bumi akan meraih malam “Lailatul Qadar” dengan berbagai usaha via kegiatan ibadah. Seperti menyemangatkan shalat, baik yang wajib maupun yang sunnat, banyak membaca Al-Qur’an, puasa dengan totalitas , sedekah dengan penuh ilhlas, serta amalan-amalan lain yang pahalanya dilipatgandakan di bulan penuh berkah ini. Usaha-usaha kebaikan apa yang harus dilakukan dalam usaha “meragap” turunnya malam “Lailatul Qadar” itu?
Selengkapnya perlu dinukilkan tulisan Moh. Abdoi Rathomy terkait dengan hal tersebut.
1. Mempergiat untuk menambah amal shalih pada malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, sejak tanggal dua puluh satu (Red: malem salekor-Bawean) sampai akhir bulan sesuai dengan hadits Rasulullah Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya sebagai berikut. “Rasulullah SAW. itu, apabila telah masuk sepuluh hari terakhir (dari Ramadhan), maka Beliau SAW. menghidup-hidupkan malam harinya (maksudnya memperbanyak ibadah) dan membangunkan keluarganya (supaya ikut beribadah), juga mengikat ikat pinggang (maksudnya menyingkir dari isrtri-istrinya yakni tidak tidur bersama dan amat giat melakukan ibadah).”
2. Giat ber-i’tikaf , juga bersama ittiba’ Rasulullah SAW. sebagai mana yang diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah r. anha yang artinya “Nabi SAW. ber-i’tikaf dalam sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga diwafatkan oleh Allah.”
3. Jika mampu memberikan makan serta minum untuk saudara-saudara kaum muslimin yang tengah berpuasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Khalid r.anhuma yang artinya sebagai berikut
“barang siapa yang memberi buka kepada seseorang yang berpuasa, maka baginya adalah pahala puasa seperti orang yang berpuasa itu. Tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa.”
4. Memperbanyak membaca Al-Qur’an serta memahami isinya.
Masih banyak amalan-amalan lain yang nilainya setara dengan amalan-amalan tersebut di atas yang roh utamanya adalah berbuat kebajikan.
Apa tanda-tanda dari suatu malam turunnya “Lailatul Qadar” yang nampak sebagai fenomena alam? Manusia secara kodrati diberi keterbatasan pengetahuan oleh Allah SWT. oleh karena itu tidak patutlah bila manusia meremehkan atau merendahkan hamba Allah yang lain. Selama ini stigma yang mendarah daging pada umat manusia hanya diukur pada suatu kecerdasan intelektual yang berbuah akan rendahnya nilai keimanan. Jika semua harus mengikuti alur logika maka keajaiban atau mukjizat yang telah dianugerahkan kepada umat manusia lewat para nabi dan Rasul-Nya akan ditolak atau diingkari. Di sinilah pentingnya sebuah hidayah yang dapat mendidik bathin manusia menuju ridha-Nya. Sebagai suatu salah satu tengara tentang turunnya malam “Seribu Bulan” itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang artinya demikian.
“ Adapun tandanya “Lailatul Qadar” itu pada pagi harinya matahari tampak putih (di langit), tetapi tidak ada sinarnya.”
Sungguh hal ini merupakan suatu keagungan dan kebesaran Ilahi dengan menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya.
Berdasarkan renungan penulis yang bertambat pada nilai-nilai keagamaan (relegiusitas) bahwa umat
Islam terbesar di dunia menetap di bumi Indonesia dengan tingkat kadar keimanan yang relatif berbeda akan menjadi “Pe-Er” berat bagi Malaikat khususnya Malaikat Jibril sebagai “Komandan” bagi para malaikat lainnya yang diturunkan di bulan suci Ramadhan ini untuk mengurusnya. Terutama urusan kesejahteraan manusia. Sungguh terkesima setelah membaca habis Novel yang ditulis novelis Mesir Naguib Kaelani berjudul “Meretas Kebebasan di Mesir”. Novel tersebut bertema realita sosialis yang menceritakan kehidupan bangsa Mesir yang gaya hidupnya penuh jarak antarsesama. Harta, keturunan, tahta dan berbagai kemewahan menjadi suatu prestise atau gengsinya. Sehingga ada jarak yang menganga amat lebar antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. (Baca: gaya ala Fir’aun). Padahal telah diketahui bangsa Mesir termasuk salah satu bangsa di Timur Tengah yang pertama kali mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia. Tetapi hidup bangsanya bergelimang dengan sikap perilaku hedonisme dan bar-bar. Manusia mulia di hadapan Tuhannya hanya karena takwanya bukan karena dunia serta kemewahan yang dimilikinya. Saat ini pun Mesir dalam pergolakan dahsyat. Lewat malam “Lailatul Kadar” semoga semua dapat berlalu dengan damai penuh kesantunan berbangsa tidak diperdaya oleh iblis dan syaitan yang ujung-ujungnya tepuk tangan dan tertawa atas kesuksesan misinya mengajak manusia masuk neraka.
Berbagai dimensi masalah yang melilit bangsa Indonesia–yang mayoritas penduduknya muslim terbesar di permukaan bumi ini- segera mendapat jalan keluar yang diridhai-Nya yakni menjadi “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun ghafur” lewat pemberian “Lailatul Qadar” yang diturunkan di bulan penuh berkah dan rahmat ini. Persoalan bangsa Indonesia semakin kompleks saja, mulai persoalan moral, sosial, alam, hingga krisis ekonomi yang hampir tak berkesudahan. Teranyar, tentang hutang Indonesia yang dirilis oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) bukan untuk zakat melainkan sebuah LSM yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan mengungkap bahwa hutang Indonesia saat ini melonjak jauh dari Rp 1.850 triliun pada tahun anggaran 2012 langsung melambung menjadi Rp 2.036 triliun bulan Mei tahun 2013.(Jawa Pos: 16 Juli 2013 halaman 2). Berarti manusia-manusia Indonesia sebagian besar hidup dan makan dari hasil hutangan. Lewat misi kemanusiaan yang terkemas dalam bingkai malam “Lailatul Qadar” segera ikuti anjuran Ustadz Yusuf Mansur dalam buku berjudul “Kun Fayakun” untuk memperbanyak sedekah karena sudah dijanjikan dalam Al-Qur’an bahwa satu kebaikan akan di balas dengan sepuluh kebaikan. Termasuk di dalamnya manyantuni kaum duafa’ dan fakir miskin sebagai wujud rasa kemanusiaan akan dilipat-gandakan kebaikan itu menjadi “seribu” kebaikan bahkan lebih. Mari kita “ragap” dengan semangat keimanan yang tebal akan turunnya “Lailatul Qadar” dengan memperbanyak amal kebaikan. Semoga!